Makanan Berbuka Pelengkap Penderita

Semerbaknya aroma nasi sudah tercium di hidungku. Aromanya yang segar bagaikan tercampur daun pandan. Pertama kali perutku yang menyambut aroma itu. Mungkin karena seharian sudah rindu dengan nasi. Rasanya, tubuhku sudah saatnya ditambah energi.   Aku pun semangat berjalan menuju aroma itu, dan tidak sabar lagi untuk aku jadikan hidangan buka puasa.
            Yah,... ternyata piring kaca yang menjadi piring favoritku masih menumpuk di atas dapur.  Kelihatannya masih kotor belum dicuci. Dan ternyata tidak hanya piring-piring yang menumpuk, ada beberapa gelas yang menumpuk di sana. Ingin rasanya aku mencuci tumpukan itu. Tapi, perut ini sudah tidak sabar lagi untuk diisi. Akhirnya aku pertimbangkan hal itu. Mungkin perut masih bisa aku tahan, tapi kalau masalah tumpukan itu yang bikin aku tidak tahan. Aku rela lapar daripada kenyang tapi melihat tumpukan yang seabrek itu di atas dapur.
            Bersabarlah, Perut! Sekadar tegukan air putih aku minum untuk mendiamkan usikan perutku. Demi kenyamanan batin, aku harus beres-beres dulu sebelum menghidangkan nasi yang beraroma segar itu. Biasanya, pada saat seperti ini aku selalu sendirian tanpa seorang teman. Tapi, kali ini ada satu teman yang kebetulan juga menunggu datangnya suara magrib untuk berbuka. Aku masih asyik mencuci piring dan gelas, sedangkan temanku masih kelihatan lelah, karena baru pulang. ”Mungkin kecapaian,” pikirku sambil mencuci tumpukan di atas dapur dan sambil memikirkan lauk yang pantas untuk menu makanan ini.
            Aku coba berpikir, masih ada banyak pilihan-pilihan yang ingin aku lakukan untuk mendapatkan lauk yang pas buat makan. Tapi di sisi lain, tidak ada sedikit pun yang pantas dijadikan lauk. Karena, lupa tidak belanja sebelumnya. Mungkin biasanya ada banyak telor dan mie instan tersedia di almari. Tapi, kali ini semuanya sudah habis. Tidak aku duga, ternyata masih ada 4 telor asin di atas piring. Sepertinya enak untuk dijadikan lauk andalan. Seperti biasanya masalah lauk seadanya. Apalagi ini telor asin. Makanan yang menjadi favoritku sejak kecil. Aku mengira ini menu yang pas untuk berbuka. Selain nasinya hangat, telornya asin dan ada temannya makan, meskipun cuma satu. “Wah, pasti seru nih,” pikirku sejenak.
            Nasi sudah siap saji. Tidak ragu-ragu aku memecah telor itu untuk aku jadikan lauk. Pasti enak, dan temanku pasti suka. Setelah melihat dalamnya isi telor asin itu, ternyata berbau busuk. Saking busuknya bau telor itu mampu membuat perutku tidak lapar lagi. Dengan nada keras, aku tertawa berbahak-bahak. Seakan aku sudah kenyang dan semangat lagi. Karena ketawaku yang bersemangat seperti ketawanya penggemar sepakbola yang melihat sang idola memasukkan bola ke gawang.
            Temanku pun kaget, dia juga tidak menduga kalau telor yang dia tawarkan itu ternyata busuk dan baunya menunjukan tidak enak dimakan. “Ya, sudahlah! Mungkin ini belum saatnya makan telor asin,” ucapku pada temanku. Aku bepikir lagi, harus menu apa yang cocok sebagai pengganti telor? Sejenak aku ingat kalau masih ada sedikit krupuk mentah yang masih tersimpan di dalam kardus. Dan, kebetulan baru saja membeli minyak goreng.
            Akhirnya salah satu menu utamaku adalah krupuk goreng. Karena, tidak memungkinkan lagi untuk keluar mencari lauk lain. Waktu hampir malewati batas magrib. Seadanya saja untuk masalah lauk. Yang penting berkah dan masih menikmati sedapnya makanan. Meski hanya dengan krupuk goreng. Tanpa sambal atupun lalapan cabe.
            Tampaknya temanku tidak mau aku ajak makan bareng dengan menu ini. Ah... aku tetap harus makan, meski apa adanya. Bagiku yang penting masih enak dimakan. Hanya sekadar untuk penghilang rasa lapar. Meski tadinya aku mengira ada teman makanku. Sekarang masih tetap seperti biasanya, makan tetap sendirian. Seperti pada awalnya aku memasak sendiri. Memang lebih enak apabila makan bersama teman, ketika makan bisa berdiskusi bareng.  Meski hanya dengan sedikit krupuk goreng. Mungkin rasanya akan seperti sate Madura, apabila makan ada temannya.
             Aku terus menikmati makanan itu. Aku teringat ini adalah hasil dari jerih payahku. Hanya ingin mendapatkan satu piring nasi dan sedikit krupuk goreng saja, harus susah payah lebih dulu. “Mungkin itu yang dinamakan usaha,” pikirku sejenak. Tetapi memang rasanya beda dibanding dengan nasi yang beli dari warung-warung. Ini hasil dari karya sendiri, rasanya lebih nikmat dan terasa sekali.
            Aku sudah selesai makan. Piring aku hantarkan ke tempat cucian, tidak langsung aku cuci. Aku taruh di tempanya dulu. Karena harus shalat magrib dan membaca Yasin sebagai pelengkap malam Jumat. Perut sudah kenyang, hati sudah tenang. Saatnya shalat dan munajat pada Allah. Bismillahirrahmanirrahim.

Post a Comment

 
Top