Logika terhadap Sertifikasi Ulama
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Peneliti di Tafsir Hadis PTIQ (perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta
Dialektika kewaspadaan terhadap pengaruh kotor memang harus digalakkan. Tetapi, tidak harus mengorbankan nilai-nilai murni sosial. Esensi seorang ulama tidak bisa diukur dengan jenggotnya yang tebal, atau yang setiap harinya tidak pernah lepas dari sarung dan songkok. Meskipun itu sudah menjadi tradisi seorang ulama, tetapi tidak bisa diambil simple seperti itu. Karena, masih banyak kriteria lain yang lebih mendominasi ulama.
                Seorang yang mendalami ilmu agama Islam, pada umumnya di Indonesia ini disebut sebagai ulama. Dan, di Negara yang mayoritas muslim ini pastinya lebih banyak orang yang mendalami ilmu agama Islam, dibanding mendalami Imu agama lain. Meskipun, banyak etnik yang dimiliki Negara Indonesia.     
                Untuk mengakulturasi identitas ulama sebagai gelar atau formalitas, itu sama saja tidak memperdulikan apa yang terjadi pada etnik ulama untuk masa kedepan. Dugaan dengan adanya kasta seperti tradisi zaman kuno akan terulang lagi. Pasalnya, ulama sebagi panutan dan penutur umat  awam. Mereka sangat disegani dan dihiraukan tutur katanya sebagai nasehat.
                 Jika seperti demikian, tidak sepantasnya yang dianggap sebagai seorang tokoh ulama kemudian diberikan lebel ulama, ataupun  simbol pengesahan dari pemerintah bahwa mereka adalah ulama. Itu artinya, setiap ada generasi yang lahir sebagai pemerjuang agama Islam, maka dia harus mendaftarkan diri untuk mengikuti sensus ulama.
                Sangat disayangkan, jika hanya disebabkan oleh segelintir orang yang berdalih jihad di jalan Allah dengan cara yang meresahkan. Tidak berpikir panjang BNPT (Badan Penanggulangan Terorisme) menberikan sangkaan bahwa penyelewengan seperti itu justru dilakukan oleh etnik orang yang mendalami agama Islam. Dengan fakta yang diberikan, para pelaku mengatas namakan jihad membela Islam.
                Meskipun, sampai saat ini BNPT terus mengupayakan penindakan preventif atau soft approach kepada masyarakat, salah satunya yakni mensosialisasikan reedukasi terkait istilah-istilah sensitif tersebut. "Reedukasi dilaksanakan, yakni membingkai ulang soal jihad. Sebenarnya arti jihad itu bagus, tetapi teroris itu haram,".
                Jihad bukan Anarkisme
Aksi terorisme yang sudah dilakukan di mana-mana, dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002. Ada beberapa sangkaan terkait tragedi tersebut. Karena, diketahui bahwa pelaku oleh kelompok militan Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-Qaeda ataupun kelompok militan yang menggunakan ideologi serupa dengan mereka. 
          Kelompok tersebut memiliki hubungan permusuhan terhadap bangsa Barat dan kelompok etnik yang sepaham dengan barat. Karena mereka menganggap bahwa dunia ini dikuasai oleh kekuatan hitam yang dimotori  Barat. Sehingga terorisme sangat mengecam keras terhadap Barat. Pada kenyataannya, obyek yang dijadikan tujuan serangan, mayoritas di kalangan orang barat.
                Meskipun di Indonesia sendiri. Tetapi, yang jadi ancuan utama untuk menyerang etnik Barat. Terorisme melakukan aksinya dengan brutal, sehingga mau mengorbankan dirinya sendiri dengan dalih mendapatkan kemuliaan di sisi tuhannya. Sebagaimana keyakinan yang mereka bangun, bahwa memerangi musuh menjadi kewajiban yang harus dilakukan.
                Secara rasional, jika itu diartikan sebagai jihad bisa jadi diterima secara kognitif saja. Karena, berjuang memerangi musuh. Tetapi, pada kenyataannya yang mereka lakukan hanyalah ngawur. Mereka tidak memperdulikan sesama seagama. Banyak korban yang mereka serang termasuk orang Islam sendiri. Bahkan, masjid yang diakui sebagai tempat ibadah orang Islam, dengan membabi buta mereka samakan dengan obyek Barat.
                Jadi artinya, aksi mereka sebenarnya tidak didasari dengan niat baik, atau pemahaman secara kompherenship. Dengan kata lain, aksi yang hanya berdasarkan emosi saja. Karena, berangkat dari sangkaan mereka yang menganggap bahwa dunia ini sudah dikuasai oleh aliran jahat. Sehingga, jalan apapun yang mereka tempuh, akan dilakukan.
                Praktik yang seperti itu tidak menggambarkan dari istilah jihad yang murni. Jihad yang menciptakan estetika Islam. Tetapi, justru sangat dominan dengan radikalisme dan anarkisme.
Kemenag pernah menyatakan bahwa, “radikalisme dan tindak terorisme merupakan tindakan terlarang.
                Melogikakan Sertifikasi Ulama
Karena dikhawatirkan akan ada pengkaderan terorisme dari kalangan ulama, sehingga Kepala BNPT Ansyaad Mbai megusulkan agar dibentuk sertifikasi bagi ulama, itu sangat ngawur dan tidak dikaji lebih dalam mengenai resiko yang akan ditimpa oleh ulama. Tugas ulama tidak seperti guru honorer yang mengincar kesuksesannya dengan mendapatkan jaminan hidup dari sertifikasi.
                Wacana yang demikian sama saja menghacurkan niat ulama dalam perjuangan mereka. Orang akan merebutkan sertifikasi tersebut demi mendapatkan penghormatan. Bisa jadi, semua etnik  akan mencalonkan diri sebagai ulama. Tidak tahu apa niat dan tujuan utamannya. Semestinya ulama tidak bisa diukur dengan kata-kata atupun penampilan mereka. Tujuan pemberian sertifikasi terhadap ulama itu tidak sebuah solusi jitu. Melainkan, akan menumbuhkan masalah kepribadian dan ketuhanan.

Post a Comment

 
Top