Bersurau dengan Cinta
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Rintikan hujan membasahi jaket coklatnya Andi. Awan hitam yang bergumpal sejak sore membuatnya khawatir, karena barang-barang bawaannya tidak lagi kering seperti semula. Terlihat memar dan layu warna kardus yang dibawanya karena terkena percikan air hujan. Sudah di depan mata bus berwarna hitam bernomor 48. Baru saja tiba dari garasinya. Penumpang siap siaga melangkahkan kakinya menuju pintu masuk bus. Bagasi siap-siap dibuka. Barang-barang milik penumpang sudah dari tadi menunggu kedatangan bus. Calo-calo berteriakkan riang memanggil penumpang yang sudah dari tadi berdiri di pinggir terminal. Andi langsung turun dari ojekan temannya. Sekardus barang dibawanya lari menuju pintu bagasi.
“Masih satu bang.” ucap Andi sambil lari menuju bus.
“Kog banyak banget nih barangnya? satu bagasi gak muat nih. Wah,,, jangan lupa uang rokonya lho!” tutur petugas bus berawakan tinggi dan berkulit hitam itu dengan terkejut melihat Andi yang membawa barang tak aturan.
“Gampang.” Jawab Andi.
            “Ini pak barang saya.” Seorang wanita muda datang. Dia tampak kecapaiaan. Mungkin lelah karena baru saja kejar-kejaran dengan target pemberangkatan bus. Andi tidak begitu mengamatinya, hanya saja dia mendengar kalau wanita muda itu turun di tempat yang sama dengannya.
            Semua penumpang sudah bersiaga sambil menikmati musik lokal persembahan bus. Andi segera memasuki ruangan bus. Dia langsung mencari kursi nomor 23. Tempatnya tidak terlalu belakang. Dilihat dari depan masih kosong, belum ada yang menduduki kursi 23 yang berjejeran dengan nomor 24. Tatapan serius menuju pada kursi itu. Dia merasa kaget, ternyata kursi 24 diduduki wanita. Tidak mengerti siapa wanita itu. Tetapi baginya sungguh mengagetkan. Kerena, seorang wanita muda sedang serius membaca kitab suci. Dan, yang nantinya semalam duduk di sampingnya.
“Permisi mbak, yang di kursi 24 ya?”
“Iya mas,” sambil menebarkan senyum manisnya, wanita muda berbaju pink itu menjawab pertnyaan Andi. Meskipun dengan muka menunduk.
“Turun di mana mbak?”
“Jl. Makam Suro.” Jawaban wanita itu membuat Andi terkejut. Dalam hatinya bertanya-tanya “siapa wanita di samping saya ini?. Kog dia turun di tempat yang sama dengan saya?.”
Bus sudah beranjak dari terminal. Memasuki jalan raya. Dan sebentar lagi akan memasuki tol dan segera tancap di jalan yang lurus tidak lagi macet.
“ Mbak kuliah di Banat?”
“Hemmm… kog nebaknya seperti itu mas?”
“Saya di Banin mbak, baru semester 3.”
“O… “
“Kalau mbak sudah semester berapa?”
“Hmmm… saya sudah semester akhir mas.”
“Berarti senior saya ya?”
“Hmmm… “
Dengan menganggukkan kepala wanita itu menjawab pertanyaan Andi yang penasaran.
Wanita itu kurang begitu transparan menceritakan identitasnya. Padahal Andi sudah berusaha menceritakan identitas yang sebenarnya. Andi sedikit merasa sungkan, karena wanita itu terlihat sekali ingin membatasi dirinya dengan laki-laki. Apalagi perawakan Andi yang acak-acakan tak karuan, seperti preman.
Untuk memalingkan penasarannya dengan wanita itu, Andi mengambil novel kesayangannya. Di saat dia asik membaca, wanita di sampingnya merespon Andi dengan bertanya padanya.
“Mas sering pulang ke kampung ya?”
“Iya mbak, saya sering pulang ke kampung. Satu bulan yang lalu saya juga pulang. Dan mungkin bulan depan saya akan pulang lagi. Saya di rumah tidak lama kog mbak. Paling dua hari lagi saya sudah harus ke sini.”
Tak karuan Andi menjawab pertanyaan singkat dari wanita itu.
“Kalau bagitu sama mas. Saya juga sering pulang kog, dan tidak lama di rumah.”
“Kenapa mbak? emangnya ada perlu apa di rumah? Kog bolak-balik dari sini sendirian?
“Saya ada penelitian di pesantren mbah Sahal mas.”
“O… emangnya mbak ambil fakultas apa di “banat”?”
“Hmm… maaf mas sebelumnya. Saya sebenarnya tidak di banat kog. Saya langsung masuk semester tujuh di sekolah tinggi swasta di sini.”
“O… di Al-Inayah mbak? atau di UT?”
“Ah… ada mas pokonya.”
“O… “
Andi tidak memaksa wanita itu untuk memberitahu yang sebenarnya. Terpenting sudah tahu kalau dia tidak anak “banat”. Andi meneruskan membaca novel yang dari tadi ada di tangannya. Sempat dia memikirkan kalau wanita yang ada di sampingnya itu anak kiai Shaleh yang belakangan ini sering dibincangkan teman-temannya.
“Maaf mas, ini ada sedikit makanan, silahkan mas.”
“Oh iya mbak, terimakasih.” Tersipu malu Andi mengambil makanan dan permen yang diberikan wanita di sampingnya. Dengan lihai dia langsung menyantap permennya. “Kebetulan untuk penyegar mulut,” katanya dalam hati.
Lampu-lampu tol terus menerangi wajah penumpang. Meskipun remang-remang Andi terus mengamati wajah wanita yang ada di sampingnya. Belum lagi jelas, karena dia tidak berani menatap wajahnya dengan seksama.
“Mbak namanya siapa?”
“Hmm… Rahma mas.”
“Kalau saya Andi.”
Wanita itu tidak menyambung perbincangannya lagi. Andi pun diam, menikmati membaca novelnya. Dua pemuda di sampingnya sedang menikmati musik ekspresnya. Telinganya terpasang handset. Sepertinya tidak menikmati musik persembahan bus. Mereka terlihat lihai, Andi melihatnya dengan sinis. Ingin seperti mereka, tetapi belum bisa. Wanita di sampingnya masih riang dengan teman dalam telfon. Mata Andi masih memandang serius pada novel. Setelah wanita yang di sampingnya menutup telfon, Andi menyapa wanita itu dengan pertanyaan.
“Mbak tau Fu’adi? Yang sekarang sekolah di STAI?”
“Yang dari Kudus? Tahu mas, tetapi tidak terlalu akrab. Hanya sebatas kenal muka saja.”
“ Apa mbak yang saudaranya Agus? Yang dulu juga pernah sekolah di STAI bersama Fua’di?”
“Hmmm… iya mas.”
“O… berarti ini yang dulu selalu diceritakan oleh Agus.” Tutur dalam hati.
 “Masih aktif di penulisan mbak?” Tanya Andi.
Wanita itu kaget dengan pertanyaan Andi yang demikian.
“Kok tahu mas?”
“Dulu sering diceritakan oleh Agus, terkait dirimu. Tetapi saya tidak begitu merespon ceritanya. Karena, saya tidak tahu siapa dirimu. Yang saya tahu hanya temannya yang bernama Laila. Itupun tidak kenal begitu jelas. Hanya saja dia masih saudara dengan teman saya. Dan sebagai kebiasaan kita selalu diungkit-ungkit nama Laila itu hanya sekadar untuk celotehan di saat kita berkumpul.”
“Hmm… mas Agus dan Laila itu teman-teman saya pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta. Tetapi, sekarang mereka sudah memiliki profesi masing-masing. Hanya saya yang masih berkeliaran di Jakarta mas”.
Rahma masih enggan untuk menyebutkan posisinya yang sekarang. Tetapi, Andi sudah mengetahui kebaradaan dua temannya. Bahkan Agus nantinya yang akan menjemput Andi saat dia tiba di tempat tujuan.
“Mas, boleh saya minta tolong!”
“Apa mbak?”
“Nanti jangan bilang ke mas Agus ya, soal diri saya. Masalahnya teman-teman tidak ada yang saya beritahu terkait posisi saya sekarang.”
“O… ok lah, beres.”
Andi pun diam. Badannya sudah terasa lelah. Ingin segera memejamkan mata. Dan menanti mentari menyambutnya. Kemudian ketika membuka mata, sudah ada embun kampung yang masih asri menghangati badannya. Perjalanan bus yang semakin kencang. Karena di perjalanan sudah sunyi. Tidak ramai lagi oleh pengendara motor-motor kecil. Hanya bus-bus besar berlawanan arah yang penuh penumpang melaju kencang.
 ***
 Semua penumpang sudah siap siaga membawa tas-tas besar. Mentari yang ditunggu sudah beranjak memerahi awan. Itu bertanda kalau tempat tujuan sudah menyambutnya. Andi pun menengok ke samping. Wanita di sampingnya juga sudah siap berdiri menyambut perkampungan yang asri.
“Sudah hampir sampai mas.”
Andi pun segera mengambil air untuk segera cuci muka. Merasa malu dengan wanita di sampingnya. Kemudian mereka pun berpisah.

***
Suasana maih sunyi, kegembiraan pada wajah Agus saat menjemput Andi. Teman baiknya yang kini sudah lama tidak berjumpa. Dia membawa Andi menuju persinggahannya. Segelas kopi hangat disuguhkan sebagai sambutan pertemanan mereka.
“Kapan acara kita dimulai Gus?” Tanya Andi mengawali perbincangan yang dari tadi semakin asik bergurau.
“Santai saja, nikmati dulu kopi Jawaku.”
Percakapan semakin seru. Ibunya Agus pun ikut andil berkata. Dan saudara kecil Agus yang akan segera berangkat sekolah pun bersalaman dengan Andi. Memang Andi sudah biasa dengan keluarga Agus. Dalam benaknya masih terlintas nama Rahma yang tadi berpesan agar tidak menceritakan dirinya pada Agus. “Ada apa gerangan?” lamun Andi.
 ***
Telfon Andi berdering. Arif yang dari tadi ditunggu baru muncul lewat telfon. Arif minta maaf pada Andi karena posisinya sekarang lagi keluar kota. Dia sempat bercerita mengenai masalahnya dengan keluarga Agus yang belakangan memberikan pandangan sinis mereka pada Arif. Karena, status Arif yang dianggap berbuat amoral. Yaitu, merebut istri orang. Padahal, cerita yang didapat Andi tidak seperti itu. Andi pun termasuk satu-satunya teman Arif yang membela. Dan membenarkan jika berhubungan lebih lanjut dengan wanita yang baru saja cerai dengan suaminya alias janda kembang.
Andi sekilas bercerita tentang wanita yang di bus tadi berpesan dengan serius agar tidak memberitahu statusnya pada Agus. Padahal dia temannya waktu pertama kali di Jakarta. Andi tipe orang yang detektif itu langsung menanyakan pada Arif. Dan ternyata Arif sudah tahu sebenarnya siapa Rahma di mata keluarga Agus.
“Rahma itu wanita pertama kali yang dikagumi oleh Agus. Dia wanita yang dikenalnya shalehah, genius dan akademikus. Dia mampu menghafal al-Quran hanya dengan waktu 10 bulan. Tidak hanya itu, bahasa Arab dan bahasa inggrisnya juga bagus. Serta pemahaman kitab kuningnya juga bagus. Hubungan mereka sudah cukup dekat. Dan itulah wanita yang selama ini diajukan oleh Agus pada keluarganya. Tetapi, keluarga belum bisa menerima Rahma. Karena, dari segi paras kurang cocok. Apalagi keluarganya yang kurang seimbang. Agus hanya mampu bersurau dengan cinta. Begitupun Rahma.”
“O… “ Andi hanya melotot tanpa bahasa. Termangu dengan cerita Arif. “Pantas saja kalau Rahma berpesan seperti itu. Kasihan benar Rahma. Dia gadis yang lugu, belum ada yang menyentuhnya. Juga pintar.” Semoga ada jalan yang terbaik untuk mereka.  Jakarta 16 November 2012. 


 
Nama : Khoirul Anwar Afa
Ttl      : Pati, Jawa Tengah , 28 desember 1990.
Riwayat Pendidikan : MI-Mts di Mambaul Ulum Grogolan 02, MA di Manahijul Huda, LPBA (lembaga pengembangan bahasa arab) Kajen Pati dan menghafal Alquran di rumah tahfiz Al-Asroriyah Pati, sekarang di PTIQ Jakarta, Fakultas Ushuludin Tafsir Hadis.
Jabatan : Ketua IKAMADA Jakarta, peneliti di pesantren kreatif Al-Kitabah Jakarta, dewan jurnal redaksi BEM PTIQ Jakarta tahun 2012-2013.

No Rek : MUHAMMAD KHOIRUL ANWAR
            0428-01-007322-53-0
HP ; 085 742 014 291



Post a Comment

 
Top