Ulama Hilang ArahKetika imperialisme dan kolonialisme menjajah Indonesia, penduduk negeri ini tidak tinggal diam untuk melakukan perlawanan. Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia memiliki peran penting dalam perjuangan melawan penjajahan. Pada mulanya perlawanan dilakukan oleh para penguasa raja, kemudian disambung dengan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh para ulama hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Begitu pula pada saat kemerdekaan
diproklamirkan, mayoritas masyarakat Indonesia sedang dalam keadaan perut
kosong, mengingat pada saat bulan puasa. Dan tentulah mereka dalam keadaan
tirakat. Sehingga se-bahagia apapunmereka tidak merayakan hasil perjuangan
dengan foya-foya.
Pada saat itu Bumi Putera masih menyimpan
banyak heroik yang dalam kepala mereka hanyalah berjuang untuk kebenaran.
Mereka tidak takut dari gesingan dan terjangan peluru yang sewaktu-waktu dapat
menembus dada mereka. Jangankan terluka, nyawa pun mereka rela demi kemuliaan.
Jargon yang mereka pakai hanyalah “hidup mulia atau mati dalam keadaan syahid”.
Ulama sebagai informal leader yang merakyat, dekat dengan rakyat,
ditampilkan oleh umat Islam sebagai pemimpinnya dalam perang melawan
penjajahan. Selain itu, semangat perang sabil sebagai penggerak umat untuk
berani melawan penjajah yang zhalim juga menjadi salah satu faktor gencarnya
perlawanan rakyat.
Para penjajah
seperti Thomas S. Raffles, letnan gubernur EIC,
yang memerintah tahun 1811-1816 di Indonesia, mereka mengakui eksistensi ulama
dan berkata, “Karena mereka begitu dihormati, tidak sulit bagi mereka untuk
menghasut rakyat agar memberontak, dan mereka menjadi alat paling berbahaya di
tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerintah kolonial”.
Terkikisnya
Ulama
Pada
dasarnya, ulama adalah orang-orang yang memiliki intelektual tinggi dan
moralitas baik dalam pandangan masyarakat. Sejak masa penjajahan, melalui
fatwa, ceramah dan rundingan menimbulkan pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat.
Sebagian mereka seperti KH Hasyim As’ari, pangeran Diponegoro, Sosrokartono, dan
lain-lain.
Mereka adalah tokoh agama dan juga
pahlawan negara yang tidak pernah getir melawan kemungkaran meskipun harus
dengan peperangan. Namun, jika dibandingkan dengan saat ini, saat yang sudah
tidak lagi membutuhkan peperangan, para ulama justru semakin terkikis.
Ulama yang diidentikkan dengan tokoh
yang memiliki pengetahuan ilmu agama, sekarang semakin jarang kita ketemukan.
Mereka terkikis seiring perkembangan zaman. Sehingga, seolah eksistensi ulama
ikut hanyut beserta lenyapnya penjajahan. Dan, kini semakin sulit kita
menemukan ulama yang benar-benar tokoh pejuang.
Jika ditilik lebih jauh, eksistensi
ulama memiliki peran urgen dalam kehidupan saat masa penjajahan. Terlebih,
dalam menegakkan persatuan NKRI ini. Bagaimanapun telah diakui dalam sila
pertama yang menyebutkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dari butir sila itulah
sebenarnya tersirat makna kedudukan orang-orang beragama. Dan Indonesia sebagai
negara yang sangat membutuhkan orang-orang agamawan.
Ironisnya, saat ini peran
besar tersebut hanya sebagai falsafah yang telah hilang rasa manisnya. Atau
hanya menjadi formalitas yang dijadikan ujung tombak untuk memerangi polemik
bersama. Tetapi, eksistensi sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah
bingiksan-bingkisan ketuhanan yang tak bermutu.
Pernyataan tersebut dapat kita lihat
dari sumpah-sumpah para pejabat kita yang di bawah naungan kitab suci mereka.
Secara keagamaan, setelah bersumpah di bawah kitab suci, mereka tidak akan lagi
berani berbuat mungkar, atau durhaka terhadap aturan Tuhan. Namun nyatanya,
yang terjadi justru berbalik. Formalitas sumpah tersebut dijadikan sebagai alat
untuk mengelabuhi masyarakat dari sistemik rencana jahat.
Betapa tidak bobrok. Ulama hanya
menjadi simbolik. Atau hanya sebagai sebutan agamawan yang hanya cakap berdiri
di atas mimbar. Tetapi, sisi intelektual mereka tidak memprioritaskan kualitas
ulama. Bahkan sebaliknya, orang-orang agamawan yang cakap intelektual, namun
krisis moral. Dengan rentan mereka ikut tergerus dalam kenakalan seperti yang
dilakoni mayoritas pejabat negara kita.
Budaya koruptor seringkali menyeret nama
tokoh-tokoh agama, karena mereka adalah aktor dibalik semua itu. Gaya hidup
metralistis dan hedonis membuat para ulama lupa dengan sebutan mereka yang
pernah meneteskan tinta emas sebagai pejuang republik ini. Demikian terbalik
dengan kiprah ulama saat masa BPUPKI, seperti Natsir dari Masyumi, dan Abdul
Mukti dari Muhamadiyah. Mereka adalah sebagian ulama sekaligus berkiprah dengan
jabatan, tetapi tetap heroik dan tidak koruptor.
Sejak tahun 1975 meskipun telah
dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), wadah para intelektual tersebut tidak
menjamin para ulama tetap eksis dan memperjuangkan titah mereka. Yang ada
justru kabar buruk terkait instansi yang tidak tahan dengan godaan. Ironisnya,
wadah tersebut rentan dijadikan sebagai mediator popularitas. Tidak heran jika
dalam lembaga MUI pun, konspirasi orang-orang pintar pun terjadi polemik moral,
seperti penggelapan uang. Singkat kata, ulama sekarang kemungkinan besar
disorientasi ketika memegang jabatan, dan nyaris hilang ke-ulamaannya jika ikut
hanyut pada arus politik.
Itu disebabkan karena keberadaan
mereka mudah berhadapan dengan proyek yang menguntungkan. Atau garapan yang mendapatkan
uang. Sehingga instansi yang berada dalam lembaga tersebut ada yang ditemukan
memiliki rekening gendut karena hasil dari tindak korupsi mereka.
Kecelakaan moral yang melibatkan agamawan seperti itu yang
menyebabkan orang memandang sebelah mata terhadap fungsi agama. Ditambah lagi
keuntungan materi yang tidak jelas, menyebabkan generasi-generasi semakin surut
untuk memperdalam ilmu agama. Jikapun ada, bukanlah benih dari ulama yang
heroik, melainkan hanya ulama abal-abal. Atau, memakai formalitas ulama demi
meraih segudang reputasi. Wallahu alam.