Makna Tradisi Satu MuharamMuharam merupakan salah satu dari dua belas jumlah bulan hijriyah yang memiliki kiestimewaan. Sampai saat ini bulan tersebut populer sebagai bulan yang penuh enigmatis. Karena menyimpan banyak hal yang telah melekat dalam budaya masyarakat dan dianggap sebagai bulan yang memiliki beberapa keajaiban.
            Satu Muharam atau disebut Satu Suro, bagi orang-orang yang memiliki pemahaman mistis akan menyambut malam Satu Suro dengan berbagai ibadah, yang sering dianggap sebagai ritual. Budaya ritual dilakukan dengan macam-macam cara, di antaranya melek semalaman atau “Pati Geni” yang diiringi dengan memanjatkan doa-doa tertentu. Kemudian melakukan puasa “mutih”, hanya makan nasi putih sampai tanggal sepuluh Muharam.
            Bagi sebagian orang Jawa, Satu Suro dianggap sebagai hari yang penuh larangan. Mereka meyakini kalau hari pertama pada bulan Muharam mengandung makna sakral yang hanya boleh dilakukan untuk beribadah. Tidak untuk kerja mencari uang atau yang berhubungan dengan duniawi. Dengan dalih, jika sengaja tidak meninggalkan hal-hal duniawi, mereka akan ditimpa musibah yang merupakan laknat dari Satu Suro.
            Sebenarnya, itu merupakan implikasi dari pesan Nabi kepada para sahabatnya agar tidak berperang ketika bulan-bulan haram, salah satunya Muharam. Imam Shawi dalam tafsir As-Showi menegaskan bahwa pada bulan Muharam nabi melarang para sahabatnya agar tidak berperang dan dianjurkan untuk memanjatkan doa.
            Kemudian, seiring dengan kreativitas manusia, pesan Nabi berkembang hingga menjadi budaya seperti yang dilakukan sebagian orang Jawa. Aplikasi sudah pasti berbeda. Tetapi, substansi tetap sama dengan pesan Nabi Muhammad. Maka dari itu, jika tradisi Satu Suro masih saja dianggap sesuatu yang sesat karena tidak dilakukan oleh Nabi, maka pandangan seperti itu belum kafah.
             Di sisi lain, tradisi Satu Suro merupakan etnik budaya yang ikut mengharumkan nama Indonesia sebagai negara yang memiliki beragam budaya. Dan, sekaligus memberikan sebuah makna besar terhadap persatuan negeri ini. Karena, pada dasarnya, ritual yang dilakukan dengan memanjatkan doa-doa untuk mendapatkan keselamatan,agar dapat terhindar dari mudarat yang dapat merugikan diri sendiri dan bangsa.
            Sebagai bangsa Indonesia, sudah seharusnya meng-imani terhadap panjatan-panjatan doa yang bersifat mistis. Karena, Indonesia bisa lepas dari dekapan penjajah juga berkat dari peran anak bangsa yang berani bertirakat. Rela mengurung hawa nafsunya demi mendapatkan ruang khusus di sisi Yang Maha Kuasa.
            Jika dinilai dari segi rasional, senjata bambu runcing sangat jauh dari akal pikiran manusia yang dangkal. Atau jika disebut itu tidak dilakukan Nabi, maka itu merupakan bid’ah yang nyata. Namun, justru dengan inovatif rakyat Indonesia kala itu, mampu mereaktualisasikan doa-doa kenabian dengan menggunakan sarana bambu runcing.
            Untuk melihat peristiwa tersebut lebih lengkap, yang seharusnya diperhatikan bukan karena bambu runcingnya, melainkan karena sebab apa bambu runcing mampu mengaktualkan kehendak yang mengendalikan. Itu karena berkat para pejuang yang rela menahan hawa nafsu mereka demi mendekatkan diri dengan Tuhannya. Sehingga bisa mendapatkan kekuatan supra natural.
            Allah berfirman, “Aku akan memperlihatkan tanda-tandaKu kepada mereka yang Aku letakkan pada ufuk-ufuk dan dalam diri mereka sendiri.. “(QS. Fushilat 53). Kemudian dikuatkan dengan Hadis yang disampaikan Nabi, “Siapa yang mengetahui dirinya, maka dia akan mengetahui Tuhannya.”
            Al-Ghazali menuturkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk merepresentasikan kekuatan supra natural. Dan, beliau merincikan beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk meraih kekuatan tersebut, salah satunya membersihkan diri dari perkara buruk. Dan seperti itulah yang dilakukan oleh para pejuang dengan bamburuncing.
            Maka dari itu, kita sebagai warga Indonesia, sebagai wujud patriotik kita memiliki kewajiban untuk berdoa dan mengikuti jejak para pejuang. Apalagi dalam keadaan Indonesia yang sedang carut marut seperti saat ini. Koruptor dan tindak kriminal telah merajalela. Semuanya sudah tidak jelas. Antara yang baik dan yang batil sudah membaur, dan bercampur layaknya gado-gado.
            Satu Suro dengan melakukan ibadah mendekatkan diri kepada Tuhan adalah indikator membersihkan diri. Kemudian memanjatkan doa meminta keselamatan serta kejelasan kepadaNya agar dapat diberikan petunjuk, itu merupakan sebagaian upaya gerakan untuk menumpas kemungkaran.
             Artinya, jika dipahami lebih jauh memaknai dan sekaligus melestarikan tradisi Satu Suro sebagai hari penuh ibadah menjadi sangat urgen. Dan patut dijaga selamanya. Karena, mengandung berbagai nilai perjuangan untuk menjaga jiwa manusia serta negara kita jauh dari tindakan buruk.
            Sejatinya untuk melakukan ibadah apapun tidaklah harus menunggu hari-hari khusus. Namun, hari-hari istimewa dalam Islam bahkan dalam agama apapun mengakui eksistensi keistimewaan tersebut. Bahkan, selalu mengaitkan dengan sejarah-sejarah luar biasa yang terjadi bertepatan pada hari istimewa. Seperti bulan Muharam atau Suro dikaitkan dengan mukjizatnya nabi Musa.
            Itu juga berlaku pada peringatan hari-hari besar di Indonesia, seperti hari Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada tanggal 17 agustus dan 28 oktober diadakan kegaitan memanjatkan doa untuk para pejuang. Jadi, apapun dalihnya, melestarikan Satu Suro untuk menyelenggarakan panjatan doa-doa tetap harus dilestarikan. Untuk menciptakan negeri ini aman dan sejahtera. Waallahu alam.

 
Top