إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ (1)
“Saat seorang merasa genting,”

Kata al-waqiahsemula sama dengan kata sebelumnya, waqaa. Dan, al-waqiah sendiri merupakan belahan kata dari waqaa.Secara leksikal atau arti kamus, kata awal atau waqaa tersebut memiliki makna “terjadi” atau “jatuhnya sesuatu”. Untuk pemaknaan kata al-waqiah sebagai "hari kiamat" karena kejadian (Hari Kiamat) sebuah kejadian yang daat mencampur baurkan seluruh makhluk, (Maqayis).
            Di ayat-ayat lain telah kita dapati tentang keterangan tanda-tanda hari kiamat yang dapat kita asumsikan sebagai sebuah kejadian dahsyat, sebagaimana pada QS. Al-Zalzalah, atau ayat-ayat lain yang mendisripsikan kejadian Hari Kiamat. Imam al-Razi menguraikan tentang hari kiamat sebagai sebuah kejadian yang dahsyat karena pada saat itu memang benar-benar terjadi goncangan besar yang dapat merubah tatanan alam semesta ini. Bahkan, sampai merubah posisi. Yang bawah menjadi atas dan yang atas menjadi bagian bawah.
            Pada ayat ini yang sebenarnya ingin disampaikan hanya pesan dari substansi “Kiamat”. Pemahaman ini dapat dilihat dengan membedakan kata yang dipakai tidak menggunakan kata al-qiyamah. Dalam kaidah penafsiran, perbedaan tersebut dapat difungsikan. Bukan hanya sekadar wacana tanpa bahasa, tetapi sebagai wacana yang menyimpan berbagai bahasa.
            Al-waqiah tampaknya menekankan untuk menbaca pada meta kedahsyatan yang benar-benar terjadi pada suatu hari akhir nanti. Sedangkan, al-Qiyamah, memberikan gambaran yang lebih kompleks terkait hari pembalasan. Contoh yang mendasar, al-waqiah memberikan bacaan terhadap kemelut, hriuk-pikuk, dan kegentingan lain yang tidak dapat dipungkiri siapa saja. Dan, al-qiyamahmengarah pada panggung kejadian seluruhnya, atau merupakan tanggung jawab dari perbuatan siapa saja.
            Lebih mudahnya jika diimplementasikan pada mukhatabnya, al-waqiahberbicara tentang keterkoyakan seorang diri. Maka dapat digambarkan pada arti, diri sudah benar-benar terkoyak, amat genting, merasa dirinya akan berakhir dan sebagainya. Dan, penulis sendiri memiliki terjemahan kata al-waqiah diartikan sebagai “kegentingan pribadi”.


 لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ (2)
“kegentingan yang pasti mengancam,”
Ayat yang ke-dua ini memberikan catatan terhadap sebuah kejadian yang dahsyat tadi. Pada kejadian tersebut dikuatkan dengan ayat ini, sekaligus menegaskan bahwa kejadiaannya memang benar. Tidak dapat didustakan. Para mufasir setuju bahwa ini menjadi penegasan pada hakikat sebuah kejadian dahsyat. Yang pada intinya, kejadian tersebut pasti ada.
            Sebagaimana sebuah keterkoyakan, kegentingan seseorang pasti terjadi. Entah ini merupakan jawaban atas perilaku maupun warna dalam kehidupan. Bagi siapa saja yang sering menghadapi tantangan, seperti sedang mengejar target, terlilit hutang, keadaan genting dan merasa terancam pasti ada.
            Dan, yang ingin disampaikan pada ayat ini, mengacu pada eksistensi genting yang besar. Atau jika pada konteks terpuruk, keadaan yang sangat terpuruk. Maka ini merupakan kriteria pada ayat sebelumnya.
           

 خَافِضَةٌ رَافِعَةٌ (3)
“yang semua menjadi serba berbalik.”
Ayat ke-tiga ini sebagai gambaran sifat sebuah kejadian itu. Yang antara lain, mewujudkan keadaan yang serba berbalik. Menurut Al-Razi, kondisi demikian yang dapat dikatakan sebagai kondisi dahsyat. Karena, yang di atas menempati bagian bawah dan sebaliknya. Begitu juga mufasir al-Samarqandi yang memberikan uraian sama dengan al-Razi, yaitu diangkat amal-amal manusia dan dimasukkan surga. Yang lainnya direndahkan amal-amal manusia lalu dimasukkan neraka.
            Imam Qatadah memberikan gambaran lebih umum lagi pada ayat tersebut, yaitu melorongkan manusia pada siksa Allah, dan mengangkat yang lain pada karamahNya. Artinya, pada tahap ini sudah terlihat keadaan selanjutnya yang dimiliki manusia. Misalkan sedang terlilit hutang. Orang yang terlilit hutang akan cenderung membolak-balikan keadaan, dari yang baik menjadi tidak baik. Dari yang semula  nikmat untuknya, menjadi tidak nikmat lagi.
            Jadi, ada opsi baik dan opsi buruk yang tidak dapat dihindari akibat dari perbuatan semula. Maka pada tahap ini akan kentara sebagai sebuah pembalikan dari yang nikmat menjadi tidak nikmat. Misalkan orang yang telah bangkrut dan terlilit kemiskinan, akan terpaksa mengakui nikmat rasa makan tanpa lauk, meskipun semula tidak mau menyentuhnya.
            Dapat ditangkap pesan dari ayat tersebut antara lain, sangat tidak terpujinya berlaku sombong, berbuat semena-mena pada saat masih memiliki kesempatan untuk baik. Pada kejadian yang dimaksud ini sebagai titik klimaks melihat hasil dari buah perilaku sebelumnya. Maka terjemahan yang penulis tawarkan pada ayat ini sebagai bentuk pembalikkan.
 
Top