Selama ini yang menjadi target Kemendikbud dalamUjian Nasional Siswa adalah ilmu eksak. Ilmu
ekasak memang menjadi pelajaran favorit dalam sekolah-sekolah negeri, bahkan
menjadi mapel prioritas unggulan daripada mapel lain. Semua ini sudah tersistem
rapi, dan dilegitimasi oleh pemerintah jika yang menjadi nilai penentu lolos
dalam ujian akhir ialah unggulnya nilai eksak dan bahasa asing. Bahasa sendiri
tidak diikut sertakan menentukan standarisasi keunggulan nilai.
Tidak heran lagi, parktek pendidikan
saat ini terbukti banyak siswa dasar yang masih kesulitan memahami bahasa
sendiri. Dan, animo untuk mempelajari bahasa asing sangat besar, bahkan kurang
puas dengan jam pelajaran di kelas hingga rela mengeluarkan biaya tambahan
untuk memanggil guru privat. Ini didominasi karena prioritas UN yang ditetapkan
oleh negara memprioritaskan pada ilmu eksakta dan bahasa asing.
Serta tidak ada stimulus untuk siswa
dalam mapel bahasa Indonesia dan ilmu sosial. Lalu, kemana arah bahasa Indonesia dan Ilmu Sosial? Dengan beberapa pertimbangan,
pertimbangan utama karena tidak di-UN-kan. Ini sangat memasung keotentikan
sebagai bangsa tanah air yang seharusnya kaya pengetahuan terkait kebangsaan
sendiri. Belum lagi ilmu budaya, ilmu tentang alam, bahasa daerah dan agama.
Sistem seperti ini sama saja mengajari
siswa tidak menghiraukan dengan wawasan yang terkait tanah air. Hal ini terjadi
karena pola pikir siswa hanya tertuju pada materi yang diikutkan dalam UN. Yang
merupakan hasil akhir dari pembelajaran siswa selama menempuh jejang
pendidikan. Dan, pelajaran yang tidak diikutkan dalam UN menjadi second
matery, materi sekunder.
Selama ini, kurikulum hanya
membatasi diri untuk menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan iptek.
Sebagai contoh, kurikulum 2004 dulu memberikan jam pelajaran lebih besar pada
mapel matematika, sains, dan tekhnologi. Tetapi, tidak memperhatikan mapel ilmu
sosial dan pengetahuan.
Eksak dan mapel lainnya yang masuk
pada ujian nasional sangat mendiskriminasikan peran rumpun ilmu sosial. Di
jenjang SMP tak satu pun mata pelajaran ciri khas studi IPS masuk dalam UN.
Akibatnya guru dan siswa di SMP berjuang keras agar siswa dapat lulus untuk
mata pelajaran yang di-UN-kan. Sehingga, mapel lain yang tidak termasuk dalam
UN tidak menjadi perhatian serius dari pihak guru maupun siswa.
Kemudian dampak soisal dan
psikologis bagi guru IPS dan mapel lain yang tidak diikutkan UN adalah
meredupnya semangat untuk mengajar karena merasa tidak dipentingkan. Dan begitu
juga siswa tidak semangat mempelajarinya. Hal ini sangat mengenaskan, tetapi
hingga saat ini pun, kurang adanya perhatian dari pemerintah terhadap dampak
buruk diterapkannya mapel tertentu dalam UN.
Kondisi seperti ini sudah terbukti
mengurangi semangat siswa untuk menjadi
ahli dalam bidang ilmu sosial, agama, seni dan lain-lain. Padahal, bagaimanapun
ke depan negara ini masih tetap membutuhkan ahli di bidang apa saja. Bukan
hanya eksakta dan bahasa asing yang dapat membawa negara ini menuju garda
depan.
Pemerintah mengambil tindakan tersebut karena
ingin menyamakan potensi akademik pelajar tanah air dengan negara-negara maju. Selama ini pendidikan hanya mementingkan kualitas
intelektual belaka. Pendidikan budi pekerti tidak lagi menjadi prioritas karena
lembaga pendidikan lebih mengejar world class-education supaya bisa bersaing dengan negara industri maju.
Sistem ini mengabaikan moral, dan
cenderung koruptif serta intoleran atas perbedaan. Sekolah seharusnya bisa menjadi
pusat pembudayaan pembangunan pribadi manusia Indonesia. Sekolah semestinya
menjadi taman budaya tempat peserta didik dibina kepribadiannya, bukan hanya
intelektualnya, tetapi pelajar juga ditanamkan nilai-nilai Pancasila
seutuhnya. Yang mengarahkan mereka memiliki jiwa sosial dan berpengetahuan
luwes, bukan hanya berkutat pada pengalaman eksakta saja.
Sejarah pendidikan tumpang tindih
seperti ini berlangsung cukup lama menghiasi wajah tanah air. Meskipun,
beberapa kali sistemasi pendidikan berganti. Namun, pada ujungnya tidak ada
bedanya antara yang dirubag dan yang mengubah. Dapat dilihat pada potret basis
pendidikan pada tahun 2004. Bobot mapel Pengetahuan Sosial di SMP lebih rendah
ketimbang Pengetahuan Agama.
Terlihat pada dua mapel yang
memiliki kualitas sama pentingnya, terdapat diskriminatif dalam memberikan
waktu. Satu minggu diberi porsi empat jam untuk empat kajian yang pada kurikulum
sebelumnya merupakan mata pelajaran tersendiri. Sendangkan, Pendidikan Agama
memperoleh waktu lima jam untuk tiga kajian materi.
Jika ini terus menerus berlangsung
dan tidak ada perhatian serius dari pemerintah, negeri tidak lama kan mengalami
kegersangan dalam nilai-nilai dan pranata ilmu lain, selain eksakta. Sehingga
penyakit dan kerawanan intelektual semakin bermunculan di negeri ini. Dampaknya
antara lain, mencuatnya tawuran pelajar, pertikaian tidak bermoral pejabat, dan
aksi-aksi anarkis dalam kalangan akademis.
Semestinya, ada pertimbangan lagi jika selama
ini memang yang terjadi bukanlah ilmuan yang bermoral, melainkan ilmuan yang
jauh dari moral. Begitu juga, motivasi siswa yang cenderung mengabaikan moral
karena hanya mengejar bagaimana bisa sukses ketika menghadapi materi UN.
Padahal, jika masyarakat mau sadar
secara total, UN hanya merobotkan pendidikan. Karena, siswa hanya digiring
menuju pada gerbang materi yang di-UN-kan. Dan, melewati materi-materi lain.
Bahkan, dominan tidak mengenal jauh terkait materi yang tidak di-UN-kan. Yang
ada hanya siswa yang mengenali ilmu eksakta.
Sehingga siswa tidak mengenali
ilmu-ilmu lain yang bisa menjadikan dalam diri siswa sebagai seorang patriotik,
dan berkebangsaan. Misalkan, mengenali kajian budaya daerah. Bahasa-bahasa dan
peninggalan leluhur dari daerah-daerah di tanah air. Ini akan lebih memiliki
bobot nilai sebagai siswa yang cinta tanah air. Bukan, kajian ini yang melirik
dari pihak asing, melainkan sudah dotetapkan oleh pemerintah bagi setiap siswa
dasar harus mengenal budaya daerah. Wallahu alam.