Surat al-Waqiah Sumber Rezki. Allah memberikan pintu rizkiNya khusus ada di surat tersebut.
فِي
جَنَّاتِ النَّعِيمِ (12)
“Maka posisi mereka berada di tempat yang nyaman.”
Pada
tahapan ini telah ada definisi yang jelas terkait titik akhir pada ayat sepuluh
tadi. Artinya, tiga diskripsi mulai ayat 10-12 merupakan sebuah ungkapan utuh.
Dan pada yang terakhir ini adalah hasil dari orang-orang yang telah
mempercantik dirinya dengan mengantongi bekal lebih dulu. Maka karena bekal
yang kuat, saat kejadian dahsyat itu datang dia tetap berada pada surga
(tempat) yang nyaman.
Di sini tidak ditegaskan menggunakan
ungkapan jannah khuld atau surga yang abadi. Penulis berasumsi dengan
berbagai pertimbangan bahwa tujuan ayat ini untuk merepresentasikan tempat
nyaman dan penuh kenikmatan. Bukan tempat nyaman yang utuh selamanya. Ini tidak
menampik adanya surga yang bersifat khuld. Melainkan, ini terlepas dari
sifat surga yang telah lazim.
Dan, ini merupakan sifat mausuf yang
mencerminkan gambaran kenikmatan serta suasana yang harmoni antara tempat indah
dan suasana nikmat. Sebagaimana ungkapan hotel berbintang lima, atau puncak
yang asri. Kedua contoh tadi identik dengan tempat nyaman dan tenang.
Al-Quran memberikan gambaran tentang
surga mungkin sudah dimengerti siapa saja. Semua orang ketika diajak
membicarakan tenang surga, pasti yang diasumsikan adalah sebuah tempat nikmat
yang kenikmatannya tidak pernah ditemui ketika di dunia. Kurang lebih pada 60
ayat, al-Quran memberikan diskripsi tentang surga. Misalkan pada al-Baqarah 25,
dst. Maka penerjemah memberikan arti sebagai tempat nyaman.
ثُلَّةٌ مِنَ الْأَوَّلِينَ
(13)
“Ada kelompok mayoritas lebih dulu mendapatkannya.”
Pada redaksi ini merupakan bentuk pembayanan dari ayat sebelumnya.
Yaitu, diantara orang-orang dahulu yang telah dekat dengan surga ada sebagaian
mereka yang seperti pada ayat ini. Mereka kelompok besar yang lebih dahulu
menikmati surga. Ada yang mengatakan maksud dari ayat ini adalah umat dahulu
sebelum Nabi Muhammad. Karena, mereka sebelum Nabi Muhammad ada banyak nabi
bersama para pengikutnya yang lebih dahulu beriman dengan Allah.
Tetapi, ada
pernyataan Nabi Muhammad yang menguatkan gagasan yang awal. Suatu ketika Nabi
pernah bersabda, “Para alim dari umatku sama dengan para nabi dari Bani
Israil.” Menurut al-Razi, pernyataan tadi menasakh dari pendapat para mufasir
awal yang mengatakan orang-orang dahulu masuk surga itu umat sebelum Muhammad.
Dapat digambarkan
ketika orang akan menggapai posisi nyaman ketika suatu tragedi besar itu sedang
terjadi, pasti ada orang-orang yang mampu meraih posisi nyaman dengan kadar
berbeda. Meskipun, ini merupakan sunatullah yang harus ada dan pasti ada.
Sebagaimana firmanNya dalam QS. Al-Baqarah 236 dan An-Nisa 34.
Dan, pada redaksi
ini, yang ingin disampaikan bahwa ada mayoritas mereka yang lebih dulu meraih
tempat nyaman karena persiapan mereka lebih dahulu mumpuni sehingga ketika kejadian
dahsyat itu datang, mereka langsung dapat menggapainya. Untuk itu terjemahan
yang penulis tawarkan, “Mayoritas ada yang lebih dulu mendapatkannya.”
وَقَلِيلٌ
مِنَ الْآَخِرِينَ (14)
“Kemudian datang kelompok minoritas yang lebih siap mendapatkannya.”
Beberapa
mufasir memberikan definisi pada konteks ini sebagai kelompok terakhir yang
masuk surga. Yaitu, dinisbahkan pada kelompok umat Muhammad Saw. Karena,
merupakan golongan umat yang terakhir. Tetapi, ini dikuatkan oleh beberapa
pendapat mufasir yang mengatakan, meskipun terakhir merupakan umat yang
terpilih dan berkualitas, (Shawi).
Analoginya, meskipun para golongan
kanan ada yang masuk surga, tetapi mereka masuk karena dibawa oleh sebagian
amal baiknya, dan masih diberatkan oleh amal buruknya. Sebagaimana gambaran,
mereka yang telah bersiap banyak bekal, tetapi masih ada beberapa beban yang
belum kuat ditinggalkan. Atau urusan yang masih menyibukkan mereka, dan ini
dilakukan oleh mayoritas mereka yang lebih dulu masuk surga.
Dan, kelompok minoritas yang masuk surga
terakhir umat Muhammad. Sebagai umat yang sedikit dan berada pada posisi akhir.
Akan tetapi, ini tidak menampik pada argumen yang mengatakan bahwa umat
Muhammad meskipun akhir tetapi berada pada garda depan di surga.
Justru argumen yang terakhir menjadi
penguat bahwa umat Muhammad sebagai kelompok yang berkualitas dalam surga.
Penerjemah menawarkan ayat ini sebagai imbuhan dari ayat sebelumnya, bukan
merupakan bandingan. Maka terjemahannya sebagai kelompok minoritas yang lebih
siap mendapatkannya, karena tingkat kualitasan mereka.
عَلَى سُرُرٍ مَوْضُونَةٍ (15)
“Lalu mereka semua berada di wilayah peristirahatan yang indah.”
Jika
dilihat dari segi bahasa, surur adalah jamak dari sariir dari
kata dasar sarra yang memiliki arti bahagia. Tetapi pada ayat ini
berawal dari bentuk mufrad yang sariir yang artinya tempat tidur. Atau
tempat yang menyenangkan bagi siapa saja yang ingin beristirahat atau sudah
terlelap ngantuk.
Sebagian mufasir itu diartikan
sebagai empat duduk yang panjang, yang bisa dijadikan untuk bersandar.
Sebagaimana Sayid Thantawi, dia berpendapat itu sebagai tempat yang panjangnya
mencapai 300 zira’ (ukuran Arab zaman dulu), sehingga ketika orang ingin duduk,
maka tempat itu merendah. Dan ketika ingin naik tempat itu menjadi naik.
Dapat tergambarkan, secara mufaradat
ayat ini berarti tempat tidur yang ditenun dengan sutra dan mutiara atau
perhiasan lain. Namun, sebagaimana yang telah penulis singgung jika dilihat
dari konteks kebahasaan, maka makna yang dikehendaki agar meraih kebahagiaan
pada tempat itu.
Korelasi dengan ayat sebelumnya,
sambungan dari orang-orang yang dekat yang berada di tempat nyaman. Lalu mereka
ada yang lebih dulu dan ada yang terakhir tetapi mereka memiliki lebih banyak
bekal dan memperoleh tempat atas. Kemudian, pada ayat ini ditegaskan bahwa
mereka sama-sama duduk di atas tempat istirahat yang ditenun dengan sutra.
Penerjemah menawarkan arti sebagai wilayah istirahat yang indah.
مُتَّكِئِينَ عَلَيْهَا
مُتَقَابِلِينَ (16)
“Mereka menikmatinya dengan penuh rasa damai,”
Pada ayat ini menggambarkan bagaimana keadaan mereka di surga
ketika menduduki tempat peristirahatan yang indah. Digambarkan pada ayat ini,
mereka menikmatinya dengan bersandar di atas tempat itu serta saling
berhadap-hadapan. Diceritakan, mereka duduk di atas dipan sutra yang lebar,
tetapi mereka mengira bagaikan duduk di atas kursi keci seukuran mereka,
(Arrazi). Sehingga mereka tidak dapat melihat bagian belakang yang lainnya,
tetapi jika yang menduduki menghendaki untuk melihat bagian belakang yang
lainnya, maka dipan itu memutar sesuai kehendak yang menduduki, (Shawi).
Posisi seperti
ini biasa disebutkan al-Quran dalam suasana damai, tentram dan untuk
menghilangkan kedengkian, sebagaimana QS. Al-Hujurat 47. Di sana telah
disebutkan kondisi ketika orang-orang berada di surga. Allah telah mencabut
perasaan dengki dari benak mereka dan saling duduk berhadap-hadapan.
Seperti halnya
orang-orang ketika sedang berdiskusi atau sedang rapat terbuka. Jika posisi
mereka saling membelakangi, biasanya yang belakang tidak menggubris pemaparan
sidang, bahkan bergunjing sendiri. Lain kejadiannya apabila dalam keadaan
saling berhadapan, saling bertatapan wajah, maka dominan orang tidak akan
berbicara dengan memalingkan muka atau bergunjing.
Posisi
“berhadap-hadapan” telah lazim dimengerti. Tetapi, pada ayat ini makna tersirat
yang ingin disampaikan yaitu suatu keadaan yang saling sapa, saling bahagia,
saling memandang wajah kebingaran mereka atas nikmat yang telah mereka dapat. Penerjemah
menawarkan posisi menikmati tempat dengan penuh kedamaian.
Post a Comment