Memaknai
Politisi Muda
Oleh :
Khoirul Anwar Afa
Peneliti
di Tafsir Hadis PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta
Impian para politisi bukan lagi ingin menjadikan makmurnya negeri
ini. Melainkan saling bermimpi untuk menumpuk investasi dari kekayaan negeri. Setinggi mungkin mereka menumpukkan harta.
Tidak ada batasan ataupun target pribadi. Selama masih ada yang dapat mereka
gait, pastilah dengan rasa aman dan tenang para politisi menggendutkan
rekening.
Berangkat
dari awal bangkitnya mereka untuk duduk di kursi DPR atau meraih jabatan,
sangat membutuhkan banyak pengorbanan. Baik materi maupun energi. Dia antaranya
dana untuk kampanye, dana cari pendukung secara personal, dana cari fasilitas,
dana cari relasi dan lain-lain. Jika dihitung tidak cukup menggunakan dana yang
sedikit.
Bisa
dikatakan, mereka yang sudah mencalonkan dirinya menjadi politisi dituntut
harus berduit. Sebab, anggaran yang harus mereka jatuhkan tidak cukup terbilang
sedikit. Jika berani bersaing di lapangan dengan musuh-musuh dari politisi
lain. Dan, untuk membuat benteng yang kuat, mau tidak mau mereka merabuk
relasinya dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Begitu juga
energi yang mereka kerahkan untuk tampil
sebagai super hero. Dan harapan mereka agar mendapat respon baik dari
masyarakat. Orasi-orasi mereka sangat manis, dan pemikiran mereka terhadap
rakyat sangat menginterpretasikan kapabilitas dan kredebilitas mereka. Seakan
tak ada niat profan sedikit pun untuk melukai negeri ini.
Siapa yang
tidak tergiur dengan gaya mereka yang herois dan berjanji manis? Bahkan mereka
yang berkarir artis dan bergaya paris. Dengan modal demikian bisa dijadikan
sarana untuk merangkul masa. Maka, bagi mereka yang masih muda dan menyakini
memiliki kekuatan untuk menarik masa, mereka tidak meragukan lagi untuk
berkuasa.
Pasalnya,
memegang kekuasaan itu hal mudah. Tugas-tugas dianggap sebagai tugas ringan.
Karena memang semua bisa gampang diatur meskipun banyak aturan. Mereka bisa
duduk di balik layar, dan tugas selesai. Jika itu yang terjadi, maka tidak ada
yang tampak berat dalam tugas DPR. Padahal, seharusnya kemakmuran Negara
menjadi tanggung jawabnya.
Nyatanya,
mereka duduk lihai dan tidur nyenyak ketika diajak berdiskusi mengenai Negara. Seakan
dedikasi dan misi mereka sebagai pemegang peran penting terhadap Negara telah
sirna. Janji manis yang mereka ucapkan saat orasi tidak terbukti. Mereka tampak
lesu saat diajak konsolidasi. Tetapi, akan segar bugar saat diajak berbagi
rezeki.
Rezeki
Politisi
Jabatan para politisi yang mendominasi untuk menjadikan mudahnya
rezeki. Buktinya, saat Negara merencanakan proyek perbaikan wilayah atau untuk
fasilitas rakyat kecil. Mereka berebutan tender. Dan pastinya, yang lebih
memiliki relasi dan berani bernegoisasi dengan pihak atas lah yang akan
menguasai. Rezeki berlimpah akan mereka dapatkan sebagai tumpukan investasi dan
ganti rugi saat mencalonkan diri menjadi politisi.
Diakui atau
tidak, akibat dari sistem pemilu terbuka dengan suara
terbanyak yang menyebabkan kaderisasi parpol macet. Sehingga kader yang bersih
malah tak lolos karena tak punya cukup modal. Itu karena, sudah tradisinya
negeri ini mendewakan money politic. Maka jangan heran apabila ketika sudah
menjadi politisi dan berwenang memegang kekayaan negeri, mereka sisihkan untuk
ganti rugi dari modal awal.
Yang
menjadi permasahan adalah saat pileg dengan sistem daftar pemilih terbuka dan
suara terbanyak, banyak kader yang melalui proses pengkaderan justru tidak
masuk sebagai anggota legislatif, yang masuk mereka menumpang perahu, nomor
sepatu tapi punya uang yang banyak. Mereka yang punya uang banyak mampu
berkampanye sehingga bisa duduk sebagai anggota DPR.
Kaderisasi Korupsi
Secara obyektif, lahirnya
para politisi yang bisa duduk di DPR karena pintar orasi dan mampu membeli, itu
bisa dijadikan sebagi wacana oleh para calon politisi. Sehingga, tidak menjadi
heran lagi apabila mereka yang tiadak berdidikasi berani mencalonkan diri. Itu
berarti, tugas politik dianggap sebagai tugas roti. Yang anak kecil pun bisa
memakannya.
Belum mengenal ilmu dan
godaan berpolitisi, sudah berani memasuki ranah bahaya itu. Karena itu bukanlah
tugas sepele. Seakan-akan yang menjadi incaran mereka hanyalah investasi dan
rezeki. Karena, melihat para politisi yang mampu membangun gedung rumahnya yang
tinggi dan kendaraannya yang bergengsi. Ironisnya, itu sudah menjadi tradisi.
Akibatnya, berpolitisi itu
dianggap sebagai ajang memanen rezeki. Bagaikan menyebar investasi yang sangat
menjanjikan. Secara tersirat, itu sama saja mengkaderisasi korupsi. Karena,
apabila itu sudah menjadi tradisi, maka tidak rahasia lagi hal itu dilakukan.
Jadi, tidak heran apabila sekarang maraknya politisi muda yang berambisi
memiliki banyak investasi.
Penyakit seperti itu tidak akan terobati apabila tidak
ada tindakan tegas. Karena, jika hanya dikenai hukuman 5 tahun, itu sangat
ringan. Belum lagi, dipotong dengan remisi. Mereka bisa lebih leluasa menikmati
hasil korupsinya. Karena sisa umurnya pun masih bisa dijanjikan. Dan hasil
korupsi mereka sudah diamankan lebih dulu. Untuk dijadikan bekal di kemudian
hari. Bisa jadi, karena usianya yang masih muda, bisa mendasari niat kokoh
mereka berkorupsi. Wallahu ‘alam.
Nama : Khoirul Anwar Afa
Ttl : Pati, Jawa Tengah
, 28 desember 1990.
Riwayat Pendidikan : MI-Mts di Mambaul Ulum Grogolan 02, MA di
Manahijul Huda, LPBA (lembaga pengembangan bahasa arab) Kajen Pati dan menghafal
Alquran di rumah tahfiz Al-Asroriyah Pati, sekarang di PTIQ Jakarta, Fakultas
Ushuludin Tafsir Hadis.
Jabatan : Ketua IKAMADA Jakarta, peneliti di pesantren kreatif
Al-Kitabah Jakarta, ketua redaksi BEM PTIQ Jakarta tahun 2012-2013.
No Rek : MUHAMMAD KHOIRUL
ANWAR
0428-01-007322-53-0
Bank BRI cabang Cinere.
HP ; 085 742 014 291
Post a Comment