Berakit ke
Politik Suci
Oleh:
Khoirul Anwar Afa
Mahasiswa PTIQ (Perguruan
Tinggi Ilmu Quran) Jakarta. Serta peneliti di pesantren Al-Kitabah Pamulang
Barat, Tangerang Selatan.
Bukan
rahasia lagi, imbas dari money politic yang sekarang menyeruak di negeri
ini sangat meresahkan rakyat. Milyaran, bahkan triliunan harta negeri ini mereka garong hanya untuk kepentingan pribadi.
Diakui
atau tidak, akibat langkah politisi ketika hendak berdiri dalam
pengkaderan, ingin menduduki kursi jabatan, mereka harus berjuang keras
mengerahkan segala energi serta materi. Sehingga seolah-olah mereka tokoh
berkualitas dan bisa menarik simpati massa.
Bahkan, tidak tanggung-tanggung sering kali mereka menyeret-nyeret nama tuhan
dan berorasi mengibarkan teologi (agama). Begitu juga materi yang mereka
keluarkan, meskipun menguras harta untuk membeli massa agar bisa duduk di kursi
jabatan.
Sudah
jelas, langkah yang mereka ambil sangat berrisiko tinggi. Ada dua risiko besar yang akan mereka hadapi setelahnya. Apabila gagal,
akan menjadi gharim (banyak hutang). Atau jika sukses, mereka harus
berupaya keras untuk menutup hutang. Anehnya, praktik politik uang seperti ini
sudah mentradisi.
Jika itu
yang masih dijadikan senjata ampuh oleh politisi untuk mengejar mimpi, maka
wajar saja, jika korupsi melanda negeri ini. Sudah seharusnya paradigma dan
tradisi seperti itu dihilangkan. Politik yang dibangun dengan pondasi uang
harus ditumbangkan. Dan dihapus dari negeri ini. Demi menciptakan the pure
of politic.
Seperti
yang dikatakan oleh pengamat sosial politik dari IAIN Sumut, Drs. Ansari
Yamamah, MA bahwa “Sudah seharusnya pemerintah dan pemuka agama menanamkan
pemahaman bahwa menggunakan politik uang adalah sesuatu yang bersifat
"najis". Dengan begitu, akan
muncul rasa jijik di kalangan masyarakat untuk menerima sesuatu dalam sebuah
proses demokrasi rakyat,".
Pada kenyataannya,
selama ini masyarakat kurang peduli terhadap risiko politik uang, bahkan
terkesan mengharapkan sesuatu dari seorang tokoh yang sedang
"bertarung" dalam proses demokrasi rakyat, seperti Pemilu dan
pilkada. Masyarakat menganggap itu adalah musim panen uang. Karena, suara
mereka dapat ditukar dengan uang.
Hal itu
disebabkan masyarakat tidak menyadari bahaya politik uang serta menganggapnya
sebagai sesuatu yang lumrah. Itu karena, masyarakat belum menganggap poilitik
uang sebagai najis yang harus dijauhi. Dan, akan menghilangkan kesucian dan
estetika politik. Serta bahaya dari najis itu sendiri yang menjadikan negara ini kacau balau.
Salah satu dari penyebab munculnya fenomena itu,
karena tidak adanya larangan yang tegas dari pemerintah dan pemuka agama, yang
sering kali berorasi membawa nama tuhan dan mengaitkan dengan masalah teologi.
Sekaligus menjelaskan hukum politik uang dalam pandangan UUD dan agama.
Sejatinya,
faktor keterlibatan tokoh masyarakat juga sangat berpengaruh pada merebaknya
fenomena ini. Seperti sebagian pemuka agama yang menganjurkan masyarakat untuk
bersedia menerima uang sogokan, namun tidak harus memilih kandidat yang memberi
sogokan.
Tetapi, malah
justru sebagian pemerintah dan pemuka agama mendukung boleh menerima pemberian
seorang calon pejabat atau politisi, meski pilihan politik yang diberikan
tergantung pada hati nurani masing-masing. Langkah seperti itu, sangat tidak
baik dan membawakan efek negatif bagi masyarakat. Karena, sama saja langkah itu
mengajari masyarakat untuk bersifat munafik.
Jadi,
pemberian uang atau suatu benda yang dilakukan dalam sebuah proses demokrasi,
dikategorikan sebagai upaya riswah (penyuapan) terhadap masyarakat.
Padahal, sebenarnya yang dibutuhkan rakyat bukan pemberian secara instan yang
mudah habis dan tidak memberikan manfaat untuk jangka panjang.
Ketua umum
PBNU, Prof. Said Aqil Siraj mengecam keras hal itu. Karena, benar-benar melukai
agama. Sebenarnya, yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah kepedulian dan
rasa tanggung jawab pemimpin. Masyarakat menanti bukti dari kebijakan politisi
yang berpihak pada kepentingan khalayak ramai jika berhasil mendapatkan mandat
jabatan.
Paradigma
Kotor
Belakangan,
para politisi lebih tercermin sebagai pengincar dan penumpuk investasi materi
belaka. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan modal saat mencalonkan diri
sebagai pemangku jabatan politik.
Sudah
seharusnya, masyarakat memilih kandidat yang berdedikasi dan berkualitas, meski
tanpa uang. Demi mewujudkan kepemimpinan yang bersih lebih dapat dipercayakan
kepada orang yang memiliki jati diri yang suci. Dan, politisi seperti itu bisa
diharapkan untuk dapat lebih fokus dalam mencari dan menerapkan kebijakan yang
peduli masyarakat kecil. Karena, mereka benar-benar bangun dari paradigma suci.
Dan bukan lagi mengedepankan materi.
Tidak cukup dengan sedikit perjuangan, atau
hanya mengeluarkan sanksi yang tidak direalisasi. Hukum Negara juga harus
bertindak keras dan melakukan pengawasan yang ketat. Undang-undang larangan
politik uang pasal 117 ayat (2) UU pemda, yang hanya menjatuhkan hukuman 2
bulan dan paling lama 12 bulan, itu saja tidak cukup. Karena, imbas dari
praktik politik uang tidak seimbang dengan tindak pidana. Itu artinya, perlu
ditambah lagi hukuman tersebut, dan paling penting ditindak seadil-adilnya.
Selain
itu, pemerintah harus secara intensif memberikan stimulus pada mereka agar
tidak tergiur praktek politik uang. Menyatakan dengan tegas kepada rakyat, bahwa
politik uang itu tidak benar, dan sangat berbahaya bagi masa depan.
Untuk itu,
pemerintah dan pemuka agama harus memperkuat pola pikir dan sudut pandang
mereka terhadap politik uang. Pemerintah harus membuat aturan khusus terhadap
politisi yang masih mendewakan uang sebagai senjata ampuh. Dan hukuman berat
bagi yang mencoba mempraktikkannya. Begitu juga, harus mengajarkan cara
berpikir yang baik, dan berpondasi kesucian. Artinya, tidak menyuap massa
dengan uang, dan berlaku demokratis.
Maka demi
kemakmuran negeri ini, sudah saatnya, masyarakat yang tengah terjerembab dalam
“samudera politik kotor” segera berakit menuju praktek politik suci. Karena di
sanalah negeri yang dikatakan sebagai baldatun toyyibatun warobbun ghafur berada. Wallahu ‘alam.