Gambar Miyabi tak Sajikan Pendidikan
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Mahasiswa PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta, serta peneliti di pesantren Al-Kitabah Pamulang, Tangerang Selatan.
Minimnya pekerti pendidikan untuk siswa sangat meresahkan, terkait merebaknya modul siswa yang tidak mendidik. Belum lama ada LKS kelas 2 SD yang berjudul “Bang Maman dari Kali Pasir”. LKS itu telah dinilai oleh banyak kalangan, bahwa tidak layak untuk modul pendidikan, serta mendapatkan respon pahit dari Mendikbud (menteri pendidikan nasional dan kebudayaan).  Karena, materinya mengandung unsur-unsur yang tidak layak dibaca oleh anak SD.
Sekarang ini muncul lagi modul Bahasa Inggris Kelas III SMP yang bergambar miyabi. Meskipun ditujukan agar buku LKS bergambar artis porno itu untuk membantu siswa belajar dengan paradigma (pola pikir) baru, yaitu cooperative learning, active learning, dan mandiri serta dalih akan membawa siswa berpikir kritis dan mencari informasi sendiri sesuai dengan tingkat perkembangannya.
            Penyusun melihat materi itu sudah sesuai dengan konteks dengan dalih demikian. Tetapi, dalam segi lain tidak memperhatikan terkait isi dan pengaruh buruknya yang keluar dari ranah pendidikan. Karena, menyuguhkan gambar miyabi sama saja memancing siswa untuk berpersepsi yang erotis. Itu sama saja tidak mencitrakan pesan pendidikan. Atau ada modus lain sehingga berani membuat dan mengedarkan materi LKS seperti itu. 
              Apakah tidak diperhatikan bahwa pendidikan dapat membentuk pola pikir murid? Itu artinya, pendidikan menjadi bibit utama terhadap perkembangan keilmuan serta pembentukan terhadap budi pekerti bagi generasi muda anak bangsa. Justru yang paling berpengaruh adalah bacaan atau materi yang diserap oleh siswa.
Harus diperhatikan! Karena dari aspek pendidikan lah yang nantinya dapat diharapkan terciptanya generasi yang tangguh dalam keilmuaan serta luhur dalam moral (akhakul karimah). Efek yang paling dominan, saat ditanamkan di masa pendidikan. Yaitu di masa saat sekolah. Bukan saat sudah tidak sekolah.
            Untuk itu, perlu adanya perhatian lebih bijak terkait fenomena tersebut. Memperketat dalam pengawasan serta mempertimbangkan atas  kelayakan untuk dikonsumsi anak didik atau tidak. Pengawasan tersebut bisa dari badan khusus yang dibentuk oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, atau dari pihak sekolahan.
Pihak sekolahan sebaiknya mempelajari buku yang masuk lebih dulu, sebelum diterima untuk membantu pembelajaran siswa. Serta memfilter terhadap buku-buku yang disajikan untuk pendidikan. Pasalnya, banyak buku-buku yang dicetak kemudian diedarkan hanya untuk proyek tertentu. Atau kurang menghiraukan kesantunan isi buku tersebut.
Jika pondasi para penyusun sudah seperti itu, sama saja meracuni siswa dan tidak mau bertanggung jawab. Karena, tidak memikirkan seperti apakah nantinya pola pikir dan intelektual yang di miliki siswa setelah menelaah pelajaran tersebut. Jika itu untuk menghibur, tentu demikian merupakan hiburan yang tidak berdedikasi. Semestinya mencari hiburan lain dan ide kreatif lain yang lebih membawa ke ranah pendidikan.




Pendidikan Membentuk Kualitas 

Pendidikan sangat mempengaruhi kebijakan berperilaku dan memiliki moral luhur. Untuk itu, pendidikan sebagai pondasi utama, dan materi pendidikan sebagai bangunannya. Jika pondasi kuat, tetapi bangunan tidak cantik, maka tidak kelihatan pondasi yang kuat itu. 
Jadi, kualitas sebuah pendidikan sangat terkait dengan bahan pendidikan. Itu artinya, kualitas serta kuantitas sangat dititik beratkan kepada penanam dan bahan tanaman. Secara otomatis, pendidikan adalah sarana untuk menentukan paradigma dan pembentukan ideologi praktis.
            Untuk itu, sangat disayangkan apabila ingin menjadikan anak didiknya sebagai generasi bangsa yang moralis, tetapi dengan wawasan dan wacana yang tidak mempertimbangkan moral. Dengan dalih apapun tindakan seperti itu harus dihilangkan. Jika menginginkan hasil paradigma yang baik dan pendidikan berkualitas.
            Pemberian materi dalam upaya memperkembangkan cakrawala sangatlah perlu, dan tidak sebatas pengetahuan statis. Karena, perkembangan zaman menuntut agar pendidikan lebih diupayakan sebagi benteng yang dapat menjadi tembok kuat anak didik. Tetapi, hal itu harus mempertimbangkan dua hal.
            Pertama, melihat sisi konteks anak didik, apakah sudah layak menerima materi itu sebagai pelajaran yang mengembangkan dedikasi, atau justru akan mengarahkan pada hal yang konyol. Karena, bisa saja tujuan materi itu baik, tetapi pesan tersirat dari materi tersebut mengandung unsur-unsur yang tidak baik. Seperti gambar miyabi dalam LKS dan lain-lain.
            Kedua, penyampaian tidak mengarah pada khalayak umum. Artinya, bisa saja materi itu diberikan secara penyampaian lisan. Atau diberikan secara spesifik. Untuk mengantisipasi moralitas anak didik dari hal-hal yang berbau erotis. Karena, selain akibat dari sajian materi tersebut, menjadi pesan kuat yang ditanam oleh anak didik. Terlebih ketika anak didik masih dalam usia SD atau SMP.
             Jadi, moralitas serta ideologi yang di miliki anak didik tidak jauh dari apa yang mereka serap. Singkatnya, materi ataupun penyampaian secara umum harus melihat konteks. Karena, materi sangat mencitrakan pesan yang kuat terhadap pembentukan pola pikir siswa. Jika menginginkan pendidikan yang baik dan menciptakan anak didik yang berkualitas, harus memilihkan materi yang lebih berkompeten dan berdedikasi santun. Wallahu ‘alam.

Post a Comment

 
Top