Menbidik Hikayat Agraria
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Pegiat di pesantren Al-Kitabah Pamulang, Tangerang Selatan
Sebagai Negara agraris, Indonesia tidak bisa lepas dari pangan hasil bumi. Meskipun, rata-rata petani di negeri ini hanya mengandalkan hasil pertaniannya saja untuk memenuhi kebutuhan primer, dan sebagian hanya memiliki tanah yang tidak luas. Maka dari itu, kebanyakan petani mudah mengalami depresi apabila ditimpa problem pertanian. Seperti serangan hama, kekurangan air, terkena banjir, dan mahalnya harga pupuk urea.
            Kecenderungan petani menekuni pekerjaannya itu semata-mata bukan karena tidak ada lapangan kerja lainya yang dianggap layak bagi mereka, atau tidak memiliki keahlian di bidang lain. Tetapi, bagi para petani menganggap bahwa dalam pertanian terdapat banyak pelajaran tentang kehidupan, melatih kesabaran, rendah hati dan tabah. Dalam sejarah pertanian merupakan warisan nenek moyang. Maka dari itu, pertanian di Indonesia sampai kapanpun tidak akan pernah hilang, meskipun sering kali jatuh Pada kenestapaan.
            Jika kita mengingat para pejuang pada zaman kolonial, semestinya ingat betapa sedihnya petani yang tidak pernah merasakan hasil panennya. Tidak disebabkan gagal panen atau mahalnya pupuk urea. Tetapi, hasilnya yang dirampok oleh orang-orang tak bermanusiawi dari kalangan militan Belanda. Kita harus mengenang riwayat mereka tidak hanya sekadar cerita masa silam yang memilukan dan membuat kita berang. Tetapi, memaknai perjuangan pahlawan demi kemakmuran negeri ini.
            Kita tentu mengingat derita petani sejak kolonial Raffles pada abad 19 yang menerapkan sistem pajak bagi kaum feodal jawa di daerah-daerah taklukan dan merubah kepemilikan tanah secara paksa, hingga mengakibatkan perang besar-besaran yang masyhur dengan julukan perang Diponegoro. Kemudian datang era tanam paksa (cultur stelsel) oleh Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) hanya untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Kemudian hasilnya dijual kepada kolonial dengan harga yang telah ditetapkan mereka.
            Sedangkan bagi warga yang tidak memiliki tanah, harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah sebagi pajak. Meskipun pejuang kita bekerja keras, tetapi sama saja tidak dapat menikmati hasilnya sendiri dengan senang. Karena, masa itu adalah era yang paling eksploitatif, tidak untuk kemakmuran rakyat bangsa Indonesia.
            Begitulah sejarah singkat masa silam. Kini Indonesia masih dipenuhi oleh penduduk yang tidak bisa hidup tanpa agrarian. Hal itu perlu diakui, bahwa mayoritas kemakmuran negeri ini didorong oleh pertanian. Oleh karena itu, sungguh ironisnya pemerintah negeri ini jika meng-anaktirikan petani. Seharusnya pemerintah mensinergi untuk tidak membuat resah petani. Karena, selain bencana kultur yang meresahkan petani, juga mahalnya harga pupuk urea yang selama ini sangat mendominasi kegagalan mereka.
Sepanjang tahun ini penderitaan akibat konflik agraria, tak sedikit petani yang menjadi korban kriminalisasi, tergusur dari tanahnya hingga jatuh korban kematian, tidak sedikit  petani yang didominasi dengan kasus pelanggaran hak atas tanah dan teritori, serta hak untuk menentukan harga pasar untuk produk pertanian
Semakin banyaknya kasus yang dialami oleh kelompok tani, menyebabkan mereka depresi terhadap profesinya.  Maka tidak heran melihat Jumlah petani yang semakin menurun, dari tahun ke-tahun. Bahkan, jika terus menurun drastis seperti itu, bisa diprediksikan tidak lama profesi petani di negeri ini akan punah.
            Demikian seharusnya menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk tidak menaikkan harga pokok pertanian tanpa adanya pertimbangan matang dan persetujuan dari rakyat. Jika yang dilakukan untuk mengimbangi pasar dunia, seharusnya tidak hannya menaikkan harga pupuk saja. Tetapi. Harus menaikkan harga eceran hasil tani atau HPP (Harga Pembelian Pemerintah).
            Dunia sedang semangat melawan krisis pangan global yang menyebabkan kelaparan. Tetapi, keputusan menaikkan harga pupuk,  tentu tidak hanya tidak konsisten dengan upaya memerangi kelaparan, tetapi sekaligus menyakiti hari rakyat tani yang sudah kesekian kalinya dikebiri dan dipasung hidupnya.

Pilar Agraria

Kembali pada cerita sejarah pertanian nenek moyang kita yang mempertahankan kemakmurannya dari jajahan belanda. Meskipun, dengan mandi darah tetap mereka bina demi tanah air beta. Ingin menduduki negeri tercinta dan menikmati hasil alam. Tetapi sampai sekarang hasil alam kita masih di bawah kekuasaan setan.
            Masih merebaknya bahan pangan ekspor dengan harga yang mematikan pasaran. Sehingga tak ada ruang yang luas untuk para petani kita terhadap penjualan hasil taninya. Padahal, dengan modal besar mereka keluarkan hannya untuk penghidupan. Tetapi, semena-mena setan hadir mengacaukan pikiran, mereka diam-diam hadir dengan abal-abal yang penuh simpatisan.
            Seharusnya ada tindakan lebih ketat dari pihak yang berwenang. Bukan hanya preman, atau pengaman banyaran, tetapi pemerintah harus mewasdai barang-barang selundupan bagaikan setan yang merusak pasaran bangsawan Indonesia.
            Serta memberikan keluasan bagi rakyat yang ingin bertani di negeri sendiri. Hal itu sangat mencitrakan kecintaan bangsa ini, menyayangi tanah air dan mengenang masa keemasan serta tidak melupakan masa silam yang suram.
            Kejayaan dan kenestapaan petani zaman dulu sebagai prototipe perjuangan, yang tidak patah semangat meskipun harus berlumur darah. Keberaniaannya menggambarkan bahwa tanah Indonesia ini mengandung banyak emas dan mutiara, sehingga tidak tanggung-tanggung para pejuang merelakan jiwa raganya demi kemakmuran bangsa. Maka, sungguh rugi apabila masih mengundang bangsa lain untuk menguasai negeri ini, meskipun dengan dalih kemakmuran ataupun persaudaraan.  
            Begitu pentingnya UUPA yang menyerahkan seluruh tanah negeri ini sepenuhnya hanya untuk warga Indonesia. Sangat unik untuk kita hayati. Karena, mengandung kecintaan yang tinggi. Apabila semua itu diterapkan, maka pemerintah Indonesia akan sadar dengan makna hikayat agraris yang sangat membawa arti penting untuk bangsa ini.

Post a Comment

 
Top