Boneka kebahagiaan
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Putri memandangi beberapa boneka yang ada di kamarnya. Hadiah dari ayahnya itu menjadi kebanggan Putri. Menjadi teman Putri ketika hanya bibi Minah saja yang dilihatnya di rumah. Putri sudah tahu kalau Papa Putri setiap hari sibuk dengan pekerajaan kantor, juga Mama Putri. Mereka berdua hanya menemui Putri di saat Putri sudah ngantuk berat, atau Putri sudah tidur.
“Bik, foto papa lebih cakep dari pada foto mama ya bik?” Tanya Putri pada bibi Minah sambil mendayu sepeda kecilnya di kamarnya, dan menggendong si Acha boneka kecil kesukaan Putri.  
“Iya… dulu Papa Putri itu, yang diidolakan banyak orang. Selain cakep, pintar dan baik hati.” Celetus bibi Minah. “Masih kecil kog sudah tahu wajah cakep.” Batin bibi Minah. Bibi Minah pun kaget mendengar ucapan Putri yang demikian, kalau melihat umur Putri  yang masih kecil. Tetapi, dia mengagumi kecerdasan Putri yang selama ini dia lihat. Bibi Minah merasa kalau Putri tidak secerdas teman-teman sebayanya. Anak yang selalu kritis dan detektif itu, membuatnya selalu waspada. Terlebih dengan masalah papa dan mama Putri.
Bel rumah berbunyi. Dilihatnya Papa Putri yang datang. Bibi Minah membukanya. Kali ini Papa Putri pulang dari kantor agak sore. Di tangan Papa ada sepasang boneka yang berwarna ungu dan merah muda.
“Putri tidak sedang tidur kan bik?” Tanya Papa Putri pada Bibi Minah.
“Tidak pak, dia sedang asik di kamar dengan boneka-bonekanya kog pak.”
“Putri… Putri… sayang… , “ teriak Papa Putri dari luar. “ini Papa bawa apa coba?” Putri menjemput papa. Dengan bahagia Papa Putri menciumi Putri dan menggendongnya. Kali ini Papa Putri memeluk badan Putri dan mengelus-ngelus rambut Putri yang lurus itu. Putri pun merasakan kebahagiaan itu. Seingat Putri pelukan dan ciuman Papa yang seperti itu baru dirasakannya yang pertama kali.
“Papa, kog pulang sendirian sih? Mama mana pa?,”
Serentak wajah Papa Putri pucat mendengar anaknya bertanya seperti itu. “Baru di jalan sayang” Papanya pun menjawab dengan singkat. Tanpa teka-teki papanya tidak memperpanjang perkataan itu.
“Putri baik-baik ya sayang. Tadi sudah makan atau belum sayang?”
“Putri sudah makan Papa. Tadi sama bibi Minah. Pa, boneka Putri makin banyak ya pa? mereka teman tidur Putri pa. Mama kog gak pernah beliin boneka ya pa?”
Hanya senyum di luar, dan rasa sendu yang tak tertahankan lagi dari hati papa Putri.
“Kan sudah beliin baju untuk Putri. Itu yang dipakai Putri, dari mama kan?”
Putri hanya mengangguk dan memandang dalam-dalam wajah papa. Kata-kata celetusan Putri pun meramaikan suasana sunyi kamar itu.    

***
Mentari pagi membangunkan Putri. Badan Putri masih terasa hangat, bekas pelukan papa tadi malam. Baju papa yang biasanya tergantung di lemari kamar tidak lagi dilihatnya. Putri kaget, masih dikira papa berada di sampingnya.
“Papa… “ teriak Putri. Dia kira yang sedang di kamar mandi itu ayahnya. Dalam hatinya sedikit tenang. Diam-diam dia Putri pun menghampiri pintu kamar mandi. Ingin menyambut papa.
“Papa… Papa… Papa.. “ teriakan Putri tampaknya tidak ada hasil apa-apa. Bibi Minah yang menjawabnya dari dapur.
“Putri sayang, papa sudah pergi tadi pagi.” Putri merasa kecewa karena jawaban bibi Minah. Ingin rasanya menangis. Tapi, masih tertahan dengan boneka barunya.   

***
Putri hanya menunggu malam. Menantikan oleh-oleh yang dibawakan papa lagi. Kali ini Putri berharap ada boneka dan baju baru. Tapi, semuanya dari papa.
“Bik, Putri menunggu papa. Putri ingin boneka baru lagi.”
Bibi Minah hanya merenung saja. Merasa sangat kasihan dengan Putri. Ingin dikasih tahu. Tetapi tidak habis pikir seperti apa nanti respon Putri kalau mendengar berita ini. “Ya Allah, kuatkanlah hati anak baik dan cerdas ini” bibi Minah mendoakannya dalam hati.
“Papa pulang pa. Jangan lupa boneka barunya untuk Putri ya pa. Bila papa dan mama tidak ada dirumah, Putri bisa bermain dengan teman-teman Putri yang papa belikan untuk Putri.”
Dari luar rumah mama Putri mendengar celotehan Putri yang mengharukan itu. Ingin menjerit. kesal mendengar kata-kata Putri yang selalu memanggil papa. “Huh… sungguh menjengkelkan anak kecil ini.” Tidak sabar mamanya pun menyantap Putri, “Huh… Putri, mulai sekarang jangan panggil papamu lagi. Mama sudah ceraiin papamu yang miskin itu”   

Post a Comment

 
Top