Ilmuku masih Kerdil
Oleh : Khoirul Anwar
Afa
Saat dia menjadi mahasiswa baru di Jogjakarta, dirinya masih
pendiam, pemalu dan enggan untuk bergaul dengan teman-teman barunya. Masa OSPEK
di kampus membuat dia merasa jenuh. Bayangan kedua sahabat karibnya mengaji, Agus
dan Rahman masih terkenang di benaknya. Ingatan Saiful semakin menjadi dengan
kenagan-kenangan yang dia bagun bersama mereka. Belum lagi Nia yang selama ini
menemani ruang heningnya. Umi, abah yang selalu mencintainya. Dia membaca
lukisan dalam hatinya di kamar kosnya. Hanya ditemani dua bantal dan almari
barunya yang penuh foto-foto berharganya itu dipajang.
“Permisi mas!”.
“Geh, monggo”[1],
Iful membuka pintu dan mencari tahu siapa yang datang.
“Ma’af Mas mengganggu, tadi ada teman saya yang memberitahu
kalau ada temannya yang di kos ini kamar 3.”
“Oh… geh saya ini yang di kamar 3 mas. Saking
sinten sampeyan[2] dapat info itu?”
“Dari Deni, dia tadi ketemu saya di kampus, dia minta agar
saya menemani Mas Iful di kos sini. Mas Iful kan?”
“Iya Mas, Sampeyan temannya Deni ya mas? Namanya
siapa?” Tanya Iful dengan rasa sedikit bahagia, karena dia merasa ada pengganti
teman-teman dekatnya lagi.
“Saya Efendi,
lengkapnya Ronald Efendi.”
“Hmm…”. Iful dengan lihai Sambil menganggukkan kepala.
“Kenapa Mas? Aneh ya? Tanya Efendi pada Iful.
“Oh… mboten[3],
nama yang bagus kog mas. Oh ya asalnya dari mana Mas?”.
“Saya dari Bekasi Mas, tetapi sejak kecil saya diasuh nenek
saya di Sumatra. Kalau Mas Iful dari Pasuruan Jawa Timur ya? ”
“Iya e Mas, silahkan masuk dulu Mas”
“Iya terimakasih Mas
Iful” Efendi menuruti ajakan Iful. Dia melihat ruangan yang aneh di kamar Iful.
Selain ada gambar kedua orangtuanya dan
gadis cantik yang ada di samping foto itu, juga dipajang gambar-bambar
orang berjenggot putih, memakai surban. Di sebelah pojok atas almari ada gambar
yang tidak asing baginya. Dia mengingat wajah siapa itu. Di bawahnya ada
namanya “Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani”. Oh iya, itu seperti yang di rumah Pak
Marwan, batin Efendi.
“Monggo Mas, ini diminum. Seadanya ya Mas” Iful
menyuguhkan secangkir kopi produk Gresik.
***
Pagi hari Iful keluar mencari panasnya mentari pagi. Dia
menoleh ke kamar 5. Lampu masih menyala. Dengan suara lirih tipe recorder masih
berbunyi tembang Barat. Entah, tidak
tahu itu lagu siapa. Yang penting lagu Barat yang bisa membikin orang mabuk
kepayang karena modelnya yang ala setan. Kira-kira Efendi masih tidur atau baca
buku ya? Pertanyaan hadir di benak Iful.
Ingin membangunkan kalau dia masih tidur, sekalian menanyai
dia sudah shalat subuh atau belum. Kalau dia sedang baca-baca sekalian saya
ajak keluar pagi-pagi sambil mencari sarapan di warung.
“Assalamu’alaikum, Mas Efendi, ini saya Iful”.
“Iya Mas, sebentar” Efendi membuka pintu dan menyambut Iful.
“Baru bangun ya Mas” Tanya Iful sambil melihat wajah Efendi
yang masih membekas karpet menunjukkan kalau Efendi baru bangun tidur.
“Hmm… Iya Mas” Jawab Efendi sambil mengucek mata. “Oh iya
silahkan masuk Mas, kita ngopi dulu”
“Iya Mas” Iful masuk, dia kaget melihat kamar Efendi yang
penuh dengan hiasan, gambaran-gambaran yang dulu pernah ia haramkan untuk
dilihat. Di depan pintu ada Salib terpampang Yesus dipasung, ada gambar Paulus.
Dan ada banyak yang dia tidak kenal, hanya namanya saja yang dibaca, seperti Marthin
Luther, Sam Ratulangi, Robert Wolter Monginsidi, Pendeta H.L Senduk, Gilbert
Lumoingdong. Tetapi, dia senang ada beberapa gambar yang sama dengan miliknya,
gambar Gus Dur, Syekh Hasim As’ari, Ahmad Dahlan, Wali Songgo, Syekh Yasin
Al-Fadani, Sekh Muhammad Al-Maliki.
Bahkan, dia memiliki silsilah Nabi Muhamad. “Ah… aneh anak
ini. Untung tidak saudaraku, bisa dihajar sama abah jika punya saudara seperti
ini,”. Dalam benak Iful semakin digeruduk pertanyaan-pertanyaan tradisionalnya.
“Silahkan Mas diminum kopinya, ini kopi Malioboro lho Mas,
he… he… ”.
Secangkir kopi panas di suguhkan ke Iful. Tak dirasa Iful
terlihat termenung, dihujamkan dengan pertanyaan agamisnya.
“Hmm… lho Mas monggo, kog bengong, masih
mengingat ceweknya ya?” canda Efendi ke Iful, karna sejak masuk tak sedikit
suara pun yang keluar dari mulutnya.
“Oh… iya Mas,” sempat kaget, tetapi Iful menngeluarkan jurus
jitunya dengan mengalihkan pembicaraannya terkait kopi. “Mantap Mas kopinya.
Tetapi lebih mantap ini foto-fotonya”.
“Ma’lum Mas, gak ada fotonya ceweknya.” Jawab Efendi sambil
setengah canda. “Ini semua gambar idola saya Mas,”
“Termasuk yang ini?” Tanya Iful sambil menunjuk gambar Yesus
disalib dan Paus.
“Iya Mas, itu salah satu yang saya puja sejak kecil”.
“Jadi, sampeyan bukan muslim tho?”
Post a Comment