Di mana Cinta?
Oleh: Khoirul Anwar
Afa
Pegiat di Al-Kitabah
Pamulang.
Di sudut terminal Terboyo masih dipenuhi gemuruhnya suara
bus yang hendak kabur. Para sopir yang bergema keras mencari-cari mangsanya.
Detak jantung yang semakin keras dan keringat mengguyur tak terasa karena
teriknya sang surya. Pedagang asongan yang setia membawakan secangkir kopi dan
sebatang rokok untuk sopir dan kondektur. Pedagang kaki lima terlihat piawai
meramaikan pinggiran terminal. Meski, jalan yang dipenuhi debu tanah pasir
mencemari desus pernafasan, tak menjadi penghalang untuk para pencari makan.
Bus 05 arah Poncol sudah hendak melaju, Salim bersiaga dengan tas kecil yang
berisi sarung dan satu baju.
“Poncol pak?”
“Iya Mas, ayo naik”
Dengan gerak cepat Salim menaiki bus mini berpintu dua itu.
Di dalam bus hanya ada 2 wanita dan tiga pria seumuran ayahnya. Salim mengambil
posisi di belakang sopir, karena ingin mengetahui jalan menuju Poncol.
***
Jam 15: 30 sudah tiba di station. Dilihatnya jadwal tiket
kereta, ternyata pemberangkatan masih jam 19:10.
“Wah, sialan. Mau jadi apa lama-lama
di station ini?”
Di depat loket Salim menyedot sebatang rokok yang masih
tersisa dari acara malam kemarin. Pesta band papan atas yang digelar di Simpang
malam itu masih teringat dengan jelas di benaknya. Belum lagi Ida sosok manis
bergaya Saudi yang malam itu selalu bergandengan dengannya.
“Sudah sampai mana Mas? Jadi jam berapa keretanya
berangkat?” sms dari Ida.
“Sial… harus jawab apa nih?” Salim bertanya dalam hati. Mau
dijawab yang sebenarnya dia merasa kalau dirinya tidak berpengalaman, karena
sudah beberapa kali pulang pergi dari Jakarta.
“Iya, ini sebentar lagi keretanya akan berangkat.” Jawab
Salim.
Sambil menghisap rokok dengan lihai dia duduk di teras depan,
tanpa alas apa-apa dia menikmati kelelahannya dengan mengenang kejadian
semalam.
“Ida, kamu memang cantik. Tidak rugi kalau aku mengorbankan
waktuku untuk datang ke Semarang dan berkencan denganmu. Tidak rugi aku
mengeluarkan ratusan ribuku untuk jajan bareng denganmu.” Salim menggelutkan
ceritanya dalam hati. Dengan memainkan Hp ekspres musiknya, dia melihat
foto-foto semalam. Dia ingat dengan Susi yang dulu pernah jadi pacarnya. Dia
sempat termangu dengan keadaan Susi yang sekarang. Setelah dapat cerita dari
Hardi. Meski katanya sudah semester 7 di universitas Jogja, tetapi
penampilannya kian mengenaskan.
"Gila kamu Sus, mana almamater madrasahmu yang dulu
dibanggakan ayahmu itu? Katanya sekarang kamu berpacaran dengan anak pengusaha
batik dari Pekalongan. Tapi gayamu semakin tak jelas bagai gadis jalang yang
tak pernah aku bayangkan. Kamu sekarang jauh dengan yang dulu ya Sus? Bagaimana
respon ayah ibumu nanti jika kamu sekarang seperti ini?”.
Salim merasa khawatir. Karena, dia paham jelas bagaimana
biground keluargan Susi. Tidak jauh dari adat kiai di kampung. Salim merasa
kasihan dengan keadaan Susi yang sekarang. Tetapi, apa boleh buat wanita
kelahiran Sunda itu sudah tega menyakiti hatinya. Saat berpacaran dengan Salim,
dia masih menerima Rudi. Meskipun, hanya untuk mainan. “Ah… pikir pusing. Siapa
dia?” kesal Salim. “Mungkin karena Susi saking cintanya dengan pemuda gagah nan
tampan itu, hingga berani berpenampilan seperti itu. Bahkan, hiburan malam pun
tidak jarang dia kunjungi dengan teman-temannya dan pacarnya. Astagfirullah…
”.
Salim mulai menebak-nebak apa motif gadis hitam manis itu
sehingga berani nekat bergaya ala Barat. Karena, dia tahu dari cerita temannya
saat bertemu di Simpang.
***
Pukul 02:30, dia sampai tempat kosnya. Di Jl. Mampang Gg.
Hasim No 5. Sesampainya depan pintu gerbang, dia mendengar suara Bang Iman
masih bertasbih di dalam kosnya. Tidak heran, karena Bang Iman itu seorang
agamawan, yang sering kali bangun malam untuk bertahajud. Bahkan, di kosnya sering
ada perkumpulan para dai. “Bang Iman begitu mencintai Islam. Hingga tidak kenal
lelah dia berjuang untuk Islam.” Salim melamun dalam hati, sambil berjalan menuju
kamar kosnya.
“Asalamu’alaikum… “
“Wa’alaikum salam. Ma’af, siapa ya?”. Serentak Salim sempat
kaget, tiba-tiba ada pemuda separuh baya yang menyapanya dari samping kamar kos
Bang Iman. Dia mengira itu Bang Yusuf penjual nasi goreng yang setiap malam
lewat depan kos.
“Saya Dikin mas. Adiknya mas Iman. Mas siapa?”
“Saya Salim mas. Mas darimana aslinya?” meskipun Salim
sempat kaget, tapi dia mencoba untuk tidak memperlihatkan kekagetannya.
“Saya juga dari Pacitan. Sama dengan mas Iman. Saya
sebenarnya di sini sudah lama kog mas. Tetapi, kemarin tinggal di
Rawamangun. Paling nanti pagi saya harus kembali ke sana. Oh… iya, darimana malam-malam seperti ini?”
“Saya dari Semarang mas, tadi turun di station Senen.” Salim
hanya merespon secukupnya saja dari obrolan adiknya bang Iman. Karena, tubuhnya
sudah terasa lesu, mata sudah tak kuat menahan ngantuk. Ingin tidur bertemu Ida
lagi, meski dalam mimpi. Toh, besok sudah berangkat kerja.
Sebelum tidur, Salim tidak lupa untuk memberi kabar untuk si
cantik Ida. “Aku sudah sampai kos sayang.” Sms singkat yang diberikan untuk Ida
dengan rasa penuh bahagia mengenang masa kebersamaan dengannya, meski sebentar.
***
Alarm berbunyi. Dilihatnya sudah menunjukkan pukul 09.00
pagi. “Astaghfirullah,,, sudah jam segini, berarti saya telat kerja
dong?. Wah… Bisa gawat ini kalau tidak segera izin.” Salim kebingungan, tidak
langsung ke kamar mandi untuk cuci mulut. Tangannya meraba-raba mencari hp.
Dipegangnnya dan dilihat ada 20 pesan masuk dan 5 panggilan tak terjawab.
Semuanya itu dari Ida, yang hendak membangunkannya, karena Salim harus masuk
kerja. “Sialan… harus bagaimana ini?”. Kebingungan Salim semakin menjadi. Mendengar
suara sirene yang ada di luar, Salim langsung keluar, dan melihat apa yang
terjadi. Tidak menyangka, kos pak Iman telah dikerumuni banyak polisi dan tim
Densus. Dia sangat kaget. Tidak menghiraukan kerjanya yang telat lagi. Karena
paniknya dengan peristiwa itu.
“Pak, ini ada apa?” Salim mencoba bertanya pada salah satu
polisi yang berdiri di depan kamarnya.
“Saudara Iman terduga sebagai jaringan teroris dik. Adik ini
siapanya terdakwa?”.
Salim sempat gugup. Karena, selama Iman di situ dia juga
pernah mengikuti pengajian di kosnya. “Jangan-jangan namaku tercantum dalam
daftar teroris.” Salim termenung dalam lamunan. Tapi, dia tetap harus tegas.
“Saya hanya tetangga kosnya pak. Tidak tahu persis soal mas
Iman.”
Hampir saja keceplosan bilang kalau mas Iman itu suka ngajar
ngaji di kosnya.
“Anehnya hidup ini. Bang Iman yang selama ini saya kenal
sebagai guru ruhaniahku, kini terdakwa sebagai jaringan teroris. Istrinya yang
cantik itu, kini harus dia relakan selama berada di dalam jeruji. Itu hanya
demi agama. Saking cintanya dengan agama hingga rela berkorban seperti itu. Ah…
cinta.” ### Pamulang 16 oktober 2012.
Nama : Khoirul Anwar Afa
Ttl
: Pati, Jawa Tengah , 28 desember 1990.
Riwayat Pendidikan : MI-Mts di Mambaul Ulum
Grogolan 02, MA di Manahijul Huda, LPBA (lembaga pengembangan bahasa arab)
Kajen Pati dan menghafal Alquran di rumah tahfiz Al-Asroriyah Pati, sekarang di
PTIQ Jakarta, Fakultas Ushuludin Tafsir Hadis.
Jabatan : Ketua IKAMADA Jakarta, peneliti di
pesantren kreatif Al-Kitabah Jakarta, ketua redaksi BEM PTIQ Jakarta tahun
2012-2013.
No Rek : MUHAMMAD
KHOIRUL ANWAR
0428-01-007322-53-0
Bank BRI Cabang Cinere.
HP ; 085 742 014 291
Post a Comment