“Pemimpin dalam Kaca Mata Muid”
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Pemimpin adalah manajer bagi dirinya sendiri dan manajer bagi bawahannya. Jika pemimpin memanajeri kondisi bawahnnya untuk kedepan menuju sebuah hasil yang ingin dicapai, maka dibutuhkan sebuah pemimpin yang bisa menutupi seluruh kekurangan dan kekosongan yang ada dalam jalur area kepemimpinannya.
Namun, seorang pemimpin yang ideal atau manajer yang baik harus memiliki ambisi yang berlian dan difollow up dengan tindakan nyata. Sehingga untuk keterjaminan berhasilnya tujuan tersebut benar-benar berada di tangan pemimpin. Dan baik tidaknya kerja bawahan juga tetap dalam kontrol pimpinannya.
Menurut Dr. Muid Nawawi, terkait isu yang baru muncul belakangan ini mengenai terpilihnya pasangan Jokowi-Ahok termasuk hal yang menarik. Meskipun sebuah kemenangan hal seperti itu adalah wajar., tetapi patut kita sukuri dan banggakan. Karena melihat keunikan dari sikap kesederhanaan yang dimiliki Jokowi membuat dirinya cepat dikenal oleh masyarakat. Bahkan, sejak langkah kepeduliannya terhadap cinta produk dalam negeri yang dikembangkan oleh anak-anak SMK membuat jati dirinya semakin masyhur dan naik daun.
Meskipun ada perbedaan yang agak keras terkait agama dari pemimpin itu, dosen filsafat itu menekankan bahwa faktor agama tidaklah begitu berfungsi dalam sebuah pemilihan. Hal ini sudah terbukti di lapangan, bahkan bukan hanya hari ini semata. Semenjak pemilihan pertama yang terjadi di negeri ini, partai-partai Islam tidak begitu mendapat respek yang baik di masyarakat atau dianggap sebagai wadah yang full. Oleh karena itu, Muid mengangap bahwa di sini lah letak demokrasi yang sesungguhnya.
Dan untuk makna pemimpin ideal pada saat ini, beliau juga mengatakan kalau masyarakat lebih cenderung melihat pemimpin yang ia kenal dan yang disukainya.  Sebenarnya dalam hal ini, masyarakat tidak terlalu peduli dengan “ideal” itu. Karena, semua berawal dari watak orang Indonesia lebih gampang terpikat dengan perkenalan yang akhirnnya berujung dengan sikap kepedulian.
Masyarakat merasa kesulitan jika harus menentukan atau mencari pemimpin yang ideal tanpa mengetahui dan mengenal siapa pemimpin itu. Karena ideal sendiri masih bersifat global, serta susah untuk ditebak. Bahkan problem seperti itu sering kali bersifat misteri. Di sisi lain, jika kita mendengar suara masyarakat Islam, sebenarnya masyarakat Islam pasti menginginkan pemimpin yang berlatar belakang sama dengannya, yaitu Islam. Tetapi, pada kenyataanya masyarakat tidak menemukan apa yang diinginkan. Sehingga mereka penuh dalam keadaan terpaksa harus memilih yang ada. Dan cenderung merasa bosan dengan pemilihan yang telah lalu.
Walaupun sering kali pemimpin seperti Jokowi melantunkan janji-janji barunya, kemudian masyarakat merasa itulah yang ideal menurut mereka. Menurut Muid, hal itu sebenarnya  hanya bentuk ke-indahan demokrasi yang ada di tanah air ini.
 Untuk kategori pemimpin ideal, Muid tetap berpegang teguh bahwa faktor agama lah yang harus diutamakan dalam kepemimpinan. Walaupun, fakta di lapangan yang terjadi tidak begitu menyatu dengan keinginan. Kategori selanjutnya adalah pemimpin harus mempunyai kebijakan. Karena, dari situ bisa kita laporkan atau menilai keberhasilan kepemimpinan yang dijalankan dengan tegas atau tidak. Serta di situlah dinilai kekuatan pemimpin itu. Namun, tidak lepas dari karakter, seorang pemimpin harus tetap memiliki karakter yang kuat, yang keselurahan nya bisa menjadi modal besar dalam setiap langkahnya. Tetapi, sedikit disayangkan di negeri kita ini, sungguh berhamburan pemimpin yang berkarakter, namun kekarakterannya tidak bersinergi. Singkatnya, tidak menggunakan jiwa kepemimpinannya yang ideal.
"Ada banyak faktor yang mengurangi bahkan menghilangkan jiwa kepemimpinan, sehingga ada kelemahan yang sampai saat ini masih melekat di Indonesia, yaitu masalah pencitraan. Diakui atau tidak, di negeri kita ini sungguh berhamburan watak yang berkarakter. Namun di lain hal mereka tidak begitu peduli terhadap pencitraan, padahal jika kita mengamati bahwa separuh kesuksesan pemimpin itu ada pada pencitraan," papar Muid.
Selain itu, pemimpin juga dituntut bagaimana memanfaatkan waktu untuk publik, karena di situlah kesempatan untuk mencitrakan diri. Publik sebagai mediator yang dapat digunakan untuk bertampil pada masyarakat. Dan itu sebagai letak kecerdasan pemimpin yang harus dibuktikan. Jadi, dia harus memanfaatkan waktu untuk mengenalkan bahwa jiwa kepemimpinannya bisa terbukti. Dan dalam hal ini media lah yang harus kita lirik.

 
Top