Buaya dalam Istana
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Tekat Ari sangat tinggi ingin melanjutkan belajar di pesantren. Tetapi apaboleh kata, dia berada dalam kondisi tidak banyak memiliki harta. Ayahnya sudah lama meninggalkannya. Sedangkan ibunya hanya bekerja mencari rombengan. Tetapi niat berlian itu terus dia perjuangkan. Hingga, dia pun pergi ke Ponorogo Jawa Timur untuk nyantri di pesantren As-Salam atas saran dari tetangganya.
            Tekat itupun diwujudkan. Dia hanya berbekal pakaian dan sedikit uang hasil pemberian dari saudara-saudaranya di rumah.
            Kedatangan Ari disambut pengasuh pesantren dengan baik. Ari pun menceritakan yang sebenarnya. Dan siap untuk bekerja apa saja yang penting masih bisa belajar pada Kiai. Dengan riang, Ari menerima tugas dari Kiai untuk menjaga lahan pesantren yang selama ini tidak terawat.
            Lahan itu terletak sekitar 25 km dari pesantren. Tanah lahan itu sering gersang karena jarang sekali hujan. Cukup lapang dada Ari menerima segala permintaan Kiai itu. Meski masih petang selekas subuh sudah berangkat dari pesantren dan pulang malam hari, itu pun harus Ari jalani demi meraih cita-cita yang sudah dia rajut kuat.
Saat bulan bersinar terang, Ari dengan sengaja pulang agak malam. Baginya yang penting masih sempat shalat, makan tidak jadi urusan. Setelah sampai pesantren, Ari tak sengaja menuju arah dapur untuk mencari makan. Tak disangka, di sana ada santriwati yang sedang mencuci piring, nampaknya dia baru saja selesai makan.
Sekejap Ari terkagetkan dengan sosok manis yang berdiri di hadapannya.
“Cari apa kang?” Tanya santriwati itu dengan menatap wajah Ari yang terlihat kusam, karena seharian belum terkena air bersih.
“Maaf mbak, hanya sekadar ingin ke dapur saja kog.” Jawab Ari sembari menunjukkan rasa rikuhnya.
Santriwati itu pun tahu, apa sebenarnya yang sedang diinginkan Ari. Raut mukanya tampak jelas pucat, energi badannya pun hanya tinggal berapa persen saja.
“Kang, silahkan makan sini, ini masih ada lauk, dan masih banyak nasi. Santri-santri sudah makan kog.” Perhatian santriwati itu sepenuhnya mengarah pada Ari. Sedangkan Ari masih terkerumuni dengan rasa malu yang menindih. Tetapi, di sisi lain Ari sudah tak tahan kegetiran yang dirasakan. Seharian tak menyantap apa-apa, hanya sedikit sarapan yang diberikan pak Hasan pemilik lahan sebelah.
Dengan pelan Ari menghampiri nasi yang ada di periuk. Serta lauk yang tadi ditawarkan santriwati yang belum dikenali namanya.
“Ini kang lauknya.” Santriwati itu pun mendekati Ari dan menyuguhkan lauk di hadapannya. Bagi Ari itu sesuatu yang menakutkan. Dirinya belum pernah kenal dengan wanita, kini di malam yang tak ada santri maupun santriwati beraktifitas, dia dipaksa suasana bertemu berduaan dengan santriwati.
Santriwati itu pun semakin mendekat. Ari tak menyangka jika masih ada wanita yang memperdulikannya. Ingin membalasnya dengan senyuman, tetapi tak lama santriwati itu pergi meninggalkannya. Juga belum berkesempatan tahu namanya. Tetapi Ari merasa ada tumpuan salju di dadanya.
“Mbak Sulis, kamu dimana? Dipanggil ibu nih.”
“Iya, nih baru saja selesai nyuci piring mbak.”
“ Suara santriwati lain sedang memanggil nama Sulis. Dan santriwati tadi yang menyahut panggilan itu. Berarti namanya Sulis?” Batin Ari semakin menebak-nebak siapa sebenarnya gadis periang baik hati itu. Dan hanya nama Sulis yang sekarang menjadi penghias hatinya.

***
 Pergantian cuaca yang tidak teratur di bulan Febuari membuat tubuh Ari terkadang tidak sehat, hingga terpaksa dia tidak rutin lagi berangkat ke lahan pesantren. Pak Yai pun tahu dengan keadaan Ari yang demikian. Karena seorang ustadz yang sengaja memberi tahu pak Yai kalau keadaan Ari sedang tidak sehat. Kemudian pak Yai menjenguknya. Pak Yai pun antusias melihat tubuh Ari yang kelihatan compang camping.
“Kang, sekarang kamu tidak usah kerja lagi di lahan ya? Kamu sekarang saya minta membantu di pesantren saja. Nanti biar ustadz Ilham yang memberi tahu tugas kamu.”
Tawaran Kiai membuat Ari bergegas dari ranjang reyotnya yang dibangun dari kayu bekas bangunan. Serta beralas tikar kusam layaknya bertahun-tahun tak pernah dibersihkan.
“Iya pak Yai, insya Allah saya akan bersedia menjadi pekerja di pesantren.” Dengan rasa hormat dan wujud sumpah setia, Ari mengiyakan tawaran pak Yai itu.
Ari segera membangunkan tubuhnya yang sebenarnya masih lemas. Kemudian dia beranjak menuju kantor pesantren. Di sana sudah disambut baik oleh ustadz Ilham.
“Gimana Kang kabarnya? kamu nanti pengganti ustadz Fahmi membimbing anak-anak dalam materi bahasa Arab ya?”
Tawaran ustadz Ilham itu membuat dirinya tercengang. “Apa yang harus aku ajarkan? Ilmu saja belum punya. Selama di sini saya hanya tukang lahan yang sehariannya berjumpa dengan belalang dan hama-hama sawah. Aku harus mengajarkan apa? Materinya saja bahasa Arab.” Batin Ari. Semakin bingung Ari menanggapi tawaran ustadz Ilham.
“Tapi ustadz? Saya belum bisa apa-apa. “ Ari mencoba menyanggah tawaran ustadz Ilham.
“Tidak apa-apa. Saya yakin kog kang, kalau kamu bisa dan materinya juga pasti sudah menguasai. Silahkan, waktunya nanti siang jam 02.00 setelah anak-anak pulang sekolah.”
Ari harus menerima tawaran itu. Dia yakin kalau keajaiban pasti akan datang. Siapa tahu ilmu pak Kiai nantinya akan merasuk sendiri di tubuhnya. Tak ada yang tahu. Dengan bismillah dia terima, dan meminta buku materi itu sebelumnya untuk dipelajari lebih dulu.

***
Seusai ngajar, ada seorang santriwati sedang sendirian di kantin. Ari tidak tahu kalau langkahnya dikutip semua oleh santriwati itu. Tak sadar, Ari menolehkan bola matanya ke arah santriwati itu. Sekilas dia mengenalnya. “Tetapi, siapa dia?” Sosok manis jelita dan anggun. Ari beranggapan dengan santriwati itu begitu dekat dan seringkali dia melihatnya. Wajah Ari begitu riang, gembira sampai memasuki kantor pesantren.
“Kenapa ustadz? Kog wajahnya riang begitu? Itu namanya Sulis ustadz.” Ari kaget kenapa ustadz Ilham menembaknya dengan kata-kata seperti itu. Sepertinya dia tahu tentang keadaannya yang sedang berbunga.
“Ustadz harus berjuang keras kalau ingin mendapatkannya. Lawan ustadz tidak sembarang orang.”
“Ah… ustadz Ilham ini. Biasa saja kog”
“Jangan kamu pungkiri ustadz, itu perasaan.”
“Benar juga, apa kata ustadz Ilham. Aku memang sedang merasakan mawar mekar di hatiku, saat melihat wajah santriwati itu. Tetapi, saya di sini hanya ingin mencari ilmu. Dan saat ini saya dipercaya pak Yai sebagai seorang ustadz di pesantren ini.” Batinnya semakin terbentur dengan hipotesanya sendiri.
“Beranikan saja ustadz kalau itu yang ustadz Ari inginkan.” Bisik ustadz Ilham di telinganya.
“Sebenarnya dulu teman-teman kita sudah memiliki pilihan semua di sini ustadz. Hanya ustadz Roni yang tidak suka sama sekali dengan santriwati sini, karena sudah memiliki calon yang mesantren di Tulungagung. Tetapi, kebanyakan ustadz-ustadz sini menikah dengan santriwati sini kemudian pulang ke kampungnya. Dan ada sebagian yang menetap.” Tutur ustadz Ilham.
Tidak lama berita itu sengaja disampaikan ustadz Ilham pada Sulis, setelah mengerti kalau ustadz Ari juga menaksirnya. Beberapa kesempatan mereka pun ditemukan oleh ustadz Ilham. Di sela-sela itu juga, ustadz Ilham berbagi cerita tentang riuhnya pesantren terhadap percintaan, dan di balik kemegahan pesantren As-Salam ini.
Dia juga menceritakan tentang Kiainya sendiri yang tidak beres dengan perilakunya. Sering santriwati yang kehilangan moralitas akibat ulah Kiai. Sudah banyak korban dari santriwati yang hingga sekarang tak jelas kemana dirinya. Serta kebanyakan mereka yang sudah dinikmati tubuhnya oleh Kiai, kemudian dinikahkan dengan ustadz pesantren yang kebelet nikah. Dan konon, saat ini yang sedang diincar pak Kiai adalah Sulis.
            Ari tampak bingung menanggapi cerita ustadz Ilham. Tetapi, tidak bisa dia menghakimi siapa-siapa sebelum mengetahui sebenarnya. Dia hanya bersiap apabila nantinya Sulis yang kini dia taksir menjadi korban pak Kiai.
            Hubungannya dengan Sulis semakin rekat. Hampir setiap hembusan nafas, dia berbagi cerita dengannya lewat sms, telpon atau ketemuan langsung dengannya. Suasana pesantren sangat mendukung untuk dijadikan ajang pertemuan santri dan santriwati. Dan itu pun sudah membudaya ketika sang Kiai sudah tidak lagi keluar atau sudah keluar rumah.
            Menurut cerita ustadz Ilham juga, pak Kiai keluar rumah apabila ada santriwati yang izin pulang. Hal itu sudah tidak rahasia lagi bagi ustadz Ilham dan teman-temannya dulu yang kini sudah kabur entah kemana, gara-gara tidak tahan dengan perlakuan setan di pesantren. Hanya ustadz Ilham dan ustadz Roni yang masih mampu membutakan mata dan menulikan telinga dengan kenyataan itu.
             Berjalannya waktu, Ari semakin menumpuk mawar-mawar indah di hatinya dengan Sulis. Begitupun Sulis yang terpesona dengan gaya lugu Ari dan kecerdikannya sebagai santri.
  Suatu saat, Ari didengarkan berita yang tak sedap dari Yani teman Sulis terkait Sulis yang disangka sedang berkencan dengan pak Kiai. Seolah Ari tak percaya kalau itu fakta. Kini hatinya terobek dengan tajamnya pisau. Api asmara berkobar membakar dada yang dulunya jernih. Hingga malam hari Sulis tiba-tiba nelfon dirinya dengan tangisan yang bersendu. Dengan garang dia mendatangi kamar Sulis. Lantang dia mengajak berbicara berdua. Tiba-tiba Sulis berkata pada Ari.
“Mas, kita disuruh menikah oleh pak Yai.”
“Untuk apa aku menikah denganmu yang sudah dirasakan orang lain? Aku saja belum pernah tahu seperti apa warna tubuhmu. Sekarang setelah semuanya dirasakan orang, kini aku yang harus menerima sisa itu. Aku ini bukan laki-laki yang mudah menerima dengan gampang.” Tak sadar, kata-kata kotornya pun dilontarkan. Ari sangat marah besar.
Sulis hanya diam dan air tangis terus membanjiri. Tak sepatah kata dia menjawab cercaan Ari yang kesal dengan murahnya dirinya.
Sejak itu, Ari sudah menduga apa yang dialami Sulis seperti dialami santriwati lainnya. Sulis kini sudah kehilangan kehormatan. Keperawanannya sudah tak lagi ada. Tak tau harus bagaimana. Sejak itu pula Ari  terpaksa memutuskan hubungan asmara mereka.

***
 “Ustadz Ari, kamu dipanggil pak Kiai untuk datang ke rumah.” Tutur ustadz Ilham.
Ari sudah menebak pertanyaan apa yang nanti akan diintrogasikan padanya. Ari mendatanginya dengan lihai. Ternyata di sana sudah ada Sulis, dikamar pribadi pak Yai yang tidak sembarang orang boleh memasukinya. Ari digelendeng dulu masuk di kamar sebelah oleh pak Kiai.
“Kalian kapan menikah?” Tanya Kiainya pada Ari.
“Saya belum ingin menikah pak Yai.”
“Lho kenapa? Takut miskin? Jangan takut miskin kalau masalah nikah. Jika kamu beristri satu belum kaya, nikah lagi hingga dirimu benar-benar kaya. Atau mau saya sarankan untuk nikah dan jadi kaya selamanya? Kalau kamu mau ada pilihan kog. Kamu bisa menikah kajinan (Menikah dengan jin) atau kamanungsan (menikah dengan manusia). Dan untuk yang kajinan, kamu akan jadi kaya selamanya, hidupmu akan mulia di dunia ini.”
“Tidak pak Kiai, saya belum memikirkannya.”
“Iya sudah, pikirkanlah dulu. Temui calonmu, ustadzah Sulis yang sudah menunggumu. Aku tinggal ngajar ngaji anak-anak dulu ya?” Tutur Kiai itu.
Ari menghampiri Sulis. Dia hanya terlihat diam. Dan Ari cukup memberi senyuman sembari bertanya.
 “Untuk apa kita di sini? Aku sudah tahu kalau ini hanya trik pak Kiai menemukan kita. Jika aku mau, mungkin aku bisa menikmati dirimu di ranjang ini.”
Sulis hanya diam tersipu malu karena kedoknya sudah dibongkar Ari. Senantiasa Ari pun meratapi sejak awal kedatangannya di pesantren ini. Dia tidak menyangka jika dihadapkan dengan hal konyol seperti saat ini ditemukan.
“Sayang, pesantren ini memang megah. Kaianya pun berkedok baik di masyarakat. Kekayaannya juga melimpah.Tetapi isinya tersimpan sampah-sampah busuk. Dia begitu rakus dan buasnya dengan anak asuhannya sendiri .” Batin Ari.
Dirinya kini mejadi detektif tajam tentang semua ulah pak Kiai terhadap santriwati. Ari pun tidak jarang membuntuti pak Kiai ketika sedang keluar rumah. Hingga suatu saat membuntutinya sampai hotel tempat pak Kiai menelanjangi sasarannya. Ingin membongkar topeng buruk itu. Tetapi, dia harus menghimpun banyak kekuatan. Baginya, cukup dengan membulatkan tekat untuk belajar.
Tidak lama dia pun pamit dari pesantren untuk pulang dan tidak kembali lagi kepesantren, dengan alasan ingin melanjutkan kuliah. Meski berbohong, hanya itulah satu-satunya cara supaya diterima oleh Kiai. Hingga kini, Kiaianya terlukis di benak Ari sebagai sosok “Buaya dalam istana.”  Jakarta, 27 Desember 2012.


Post a Comment

 
Top