Mencari ilmu di pesantren memang
menjadi sakral bagi masyarakat yang berwajah Islami. Kebanyakan mereka memiliki
asumsi besar terhadap pesantren sebagai sarana pembelajaran yang mampu
membentuk karakter penerus Islam yang bijak dan memiliki ketaatan terhadap
Islam. Serta pesantren dianggap sebagai wadah yang memiliki terobosan untuk
membesarkan calon orang-orang pintar yang pantas masuk surga. Bahkan,
ketika disandangnya busana pesantren memiliki aura bijak memikat kesucian.
Sehingga ketika dikibarkan di tengah-tengah kerumunan orang akan menjadi
pencerah bagai rembulan di kegelapan malam.
Hal
demikian termaktub dan mentradisi dalam benak masyarakat pada umumnya. Dan
mungkin saja anggapan tersebut terjadi turun temurun dari sejak mulainya di
gelar dunia kepesantrenan yang sudah ada di Indonesia sejak tahun 1700-an, yang
berada di Jawa. Pada mulanya pesantren itu didirikan oleh para pemuka agama
Islam. Yaitu berdirinya pesantren Sidogiri di Pasuruan Jawa Timur (1718). Dan
setelah itu, berkembanglah lembaga pembelajaran dengan nama pesantren hingga merabah
di Indoensia.
Tujuannya
tetap sama, untuk membentuk para generasi muda yang paham dengan kaidah-kaidah
Islam sepenuhnya. Karena, mulai dari sistem pembelajaran dan materi yang
diajarkan memiliki kesinambungan yang terangkum untuk mencetak generasi Islam
yang memiliki kredibilitas dan integritas, serta berakhlak baik.
Santun
Secara normatif, sikap (attitude) santri
(pelajar di pesantren) berbeda dengan sikap pelajar di tempat lain. Masih melekat tradisi foedal yang membedakan
antara santri dengan kiai, keluarga kiai, atau ustad yang mengajar di
pesantren. Karena hal itu yang menimbulkan adanya sekatan yang kuat sehingga
ada jarak jauh bagi santri yang ingus pada kiai. Tak seserakah ketika ingin
mendekat pada orangtua atau orang lain yang tidak kiainya. Hingga menyapapun
harus menundukkan kepala setunduk-tunduknya. Bahkan berjalan berlutut ketika
memberikan suguhan di hadapan kiainya.
Kiai memang menjadi acuan utama, dan seringkali dijadikan mazhab bagi
santri-santrinya. Celotehan-celotehan kiai pun berubah menjadi fatwa bagi
santri-santrinya. Meskipun ada permasalahan yang muskil dari fatwa kianya, tak
pernah berani menanyakannya. Dengan dalih taklid atas dasar menghormati guru.
Mencari keberkahan dari guru tersebut, dengan menerima apapun yang disuguhkan.
Cara
belajar demikian sudah pasti berbeda dengan gaya anak mahasiswa, atau yang
belajar di lembaga-lembaga lain selain pesantren. Mereka akan cenderung lebih
dekat dan mengajak guru layaknya teman belajarnya. Tidak ada jarak yang jauh,
sehingga murid pun tidak memiliki keengganan ketika bertanya. Dan tak ada
masalah ketika hendak berekspresi. Ketika bertemu pun tidak harus menundukkan
kepala.
Perbedaan
dari beberapa corak demikian karena dilatarbelakangi oleh tradisi atau
perbedaan manajemen pada mereka. Bahkan keterbelakangan berpikir sehingga
tidak mau berpijak pada sistem yang lebih memanusiakan. Yang memberikan
transparansi pada semua khalayak. Sehingga tidak ada sekatan-sekatan yang
memurungkan sekelompok pihak ketika ingin bersama. Dengan dalih, kebersamaan kaum santri pada kiai menimbulkan klaim sebagai tindakan lancang, dan bahkan tidak mengenal
etika.
Karenanya
kerelatifan normatif dalam problematika tersebut masih ambigu. Kesantunan yang
justru sudah melekat, tampaknya tidak sesuai dengan keberuntungan yang akan
dicapaianya. Bagaimana bisa beruntung
lebih banyak, mereka tidak menerima perkembangan lebih lebar, dan hanya menelan
mentah-mentah dari tutur kata pendidiknya? Bahkan tidak boleh tahu menahu lebih
dalam masalah keseharian gurunya? Dan bagaimana kesantunan sebenarnya?
Patuh dan taat (saman wa toatan)
Dua kata tersebut sebagai jargonisme
kiai untuk melambangkan sikap untuk santrinya yang menginginkan berkah ilmu
darinya. Kedua-nya tersebut harus menjadi dasar utama oleh santri dalam
menghadapi apapun dari kiai. Dan juga sebagai konstitusi paten yang hubungannya
dengan komitmen untuk menuai keberhasilan.
Solgan tersebut dianggap memiliki ruh yang mampu menembus pada jalan cerah
menuju keberhasilan dalam meniba ilmu. Dan merupakan kunci untuk membuka gudang
ilmu yang disediakan oleh kianya. Maka, apabila kedua kunci tersebut patah,
atau berkarat, keberhasilan akan menjadi jauh di sana, serta mustahil lagi
dapat membukanya. Karena inti dari keberhasilan itu tergantung pada kedua
pijakan tersebut.
Ironisnya, mitos yang penting patuh dan taat, tanpa belajar pelajaran pun akan bisa
menjadi pintar layaknya mereka yang belajar bertahun-tahun. Anggapan seperti
itu yang menjadikan kuatnya orang dalam mempertahankan kedua prinsip tersebut,
meskipun kepahitan seringkali dirasakannya. Seringkali cerita-cerita pahit
muncul dari kalangan santri yang merasakan pahitnya intervensi atau
terrampasnya hak yang dimilikinya.
Misalkan, yang masih bertebaran hingga sekarang ini dalam masalah romantika. Dalam
permasalahan yang seharusnya hanya dilakoni orang-orang tertentu saja, sang
kiai tidak mau ketinggalan. Karena dirinya merasa memiliki hak untuk
berkecimpung dalam masalah itu. Kiai sudah merasa melebihi orangtua yang
melahirkan santri. Sehingga pada permasalahan itu pun sang kiai merasa wajib
mencampuri urusan tersebut, atas dalih sangat perhatiannya dengan anak didik.
Pengaruh feodal masih saja melekat. Nilai
kemanusiaan santri seakan hilang demi mementingkan jargon-jargon klasik yang
mentradisi. Hingga banyak yang meimbulkan bumerang karena hal itu. Maka, dari
itulah kesembiluan pesantren akan selalu terpancar jika masih saja jumud dan
menganggap sistemasi pesantren seperti itu sebagai sistem yang lebih relevan. Wallahu
alam