Sebelum Indonesia didaulat sebagai negara merdeka, yaitu sebelum 68 tahun yang lalu, masyarakat Indonesia terus-menerus mendapatkan perilaku yang tidak manusiawi. Perampasan, pembunuhan, pemerkosaan mendera rakyat sehari-hari. Ulah tersebut akibat dari tindak bejat penjajah. Setelah Indonesia merdeka, derita yang berabad-abad lalu menimpa rakyat telah dihapus dan difalsafahkan dalam UUD, seiring dengan diproklamirkan kemerdekaan.
Momentum yang indah itu membuat seluruh masyarakat bisa menghembus nafas dengan lega. Karena besar harapan mereka yang bertumpu pada kemerdekaan. Dengan kemerdekaan, rakyat berambisi akan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Dapat melihat lahan-lahan hijau yang telah lama gugur akan bersemi. Dan tanah-tanah mereka yang ditahan oleh kolonial akan segera mereka garap kembali. Dibawah kemerdekaan, masyarakat berharap besar bumi pertiwi ini akan menjadi subur makmur, gemah ripah loh jinawi.
Wilayah luas, tanah yang subur dan keadaan tentram ternyata bukanlah harapan yang dapat dipadukan. Keduanya justru dualisme yang berbeda. Dampaknya, membuat rentan perdamaian. Karena, semua pihak ingin merebut dan berangkara menguasai hak-hak orang lain. Sehingga berakibat melebarnya perpecahan.
Seiring berkembanganya perseteruan internal, siapa yang berkuasa di negeri ini silih berganti. Hal itu mengakibatkan adanya orde lama, orde baru, dan masa refomasi hingga saat ini. Tetapi yang belum tampak ada ubahnya adalah memanusiakan dan sulitnya meretas keangkaraan. Baik dalam bawahan pemimpin autokratif maupun demokratif.
Wacana tersebut hanya sebagai berita sesaat saja. Pihak-pihak yang pernah bersikap pedas terhadap ketidakadilan pemerintah, seusai menduduki jabatan terjerumus pada ampas kritikannya juga. Para aktivis, relawan, yang dulu pernah menggemborkan formula-formula keadilan, setelah menjadi pejabat justru mengotori keadilan.
Itu sebenarnya menjadi persoalan yang kronis, dan tampaknya sulit disembuhkan. Koruptor merajalela, kriminalitas dimana-mana. Bahkan, lazimnya para aktor kriminal telah terorganisir sehingga dapat menjual jasa mereka terhadap oknum yang berkepentingan. Begitu pula tidak ada bedanya dengan koruptor. Mereka juga terorganisir serta menjalankannya dengan sistematis.
Dengan bukti kasus kejahatan korupsi proyek Hambalang dan suap Wisma Atlet yang dilakukan orang-orang penting pejabat negara dan dikoordinatori oleh Grup Permai. Bagitu juga dengan kasus suap impor daging sapi yang menyeret mantan presiden PKS. Serta sekarang, kasus suap MK yang melibatkan banyak pihak dari orang-orang penting daerah.
Tindak koruptor yang dilakukan oleh orang-orang terdidik tidak jauh bedanya dengan kasus perampokan, pemerkosaan, pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak menyandang pendidikan. Bahkan, ada beberapa organisasi yang menyewakan jasa kriminal dibekingi oleh pejabat, atau oknum-oknum tertentu. Sistem seperti itu merupakan strategi organisasi agar menjadi organisasi terkuat. Sebagaimana persaingan politik saat pemilu.
Krisis moralitas dan integritas di negeri ini semakin lama tidak mendapatkan solusi. Tampaknya, pendidikan tinggi tidak menjamin tercapainya cita-cita kemerdekaan yang sejati. Banyak akademis yang tidak amanah. Apalagi politisi yang berawal dari menyuap masyarakat, dan memakai modal besar untuk menduduki kursi jabatan, justru sangat dominan bertindak serakah. Dan, hukum yang seharusnya menjerat mereka, masih saja dipungkiri. Tampak tidak adanya keadilan.
Namun, pemerintah serta masyarakat tidak seharusnya pesimistis dan membenci tanah airnya sendiri. Karena mencintai tanah air wujud dari kesetiaan terhadap saudara. Maka, solusi yang lebih efektif untuk mendobrak moral bobrok tersebut segeralah didirikan. Yaitu untuk mewaraskan generasi anak muda saat ini.
Terobosan yang paling inti adalah menanamkan integritas dan kapabilitas pada anak-anak didik. Serta memberikan pelatihan leadership agar memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Karena, tanggungjawab akan terus turun temurun. Dan, para generasi yang telah siaplah nantinya akan menjadi pemimpin yang baik. Dalam arti, pemimpin yang benar-benar memiliki prinsipil dan berjiwa profetik.
Serta dapat melahirkan generasi yang tidak serba instan, agar siap terjun dalam dunia apapun. Meskipun demikian, haruslah ada penanaman kesejatian diri sejak dini. Untuk membekali mereka untuk dapat mendisiplinkan dari tindak korupsi dan kriminalisasi. Maka dari itu, harus ada upaya dan penyikapan penuh terhadap dampak kasus tersebut.
Sehingga nantinya tidak rentan menyalahgunakan kesempatan ketika duduk di kursi jabatan. Ataupun, ketika mengalami hidup sendiri, agar tidak menghalalkan segala cara hanya untuk survive. Karena semua itu dampak dari orang-orang yang impuls dan cenderung berpikir sporadis.
Jadi, tidak hanya pandai teoritis dan menjadi panelis saja, tetapi harus aplikatif. Maka dari itu, pondasi utama yang harus dipertahankan adalah wujud kesejatian diri, idealis untuk mencapai tingkat ketauhidan. Jika telah sampai pada titik seperti itu, tidak ada dalih memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan semu. Atau merugikan pihak lain demi bertahan hidup. Karena semua berpondasi pada ketakwaan dan keimanan.
Post a Comment