Suatu ketika Haulah binti Tsa’labah mengadukan pertikaian dengan suaminya, Aus bin Shamith, kapada Rasullulah Saw. bahwa suaminya pernah mengatakan kalau dirinya seperti punggung ibu suaminya. Perkataan tersebut diadukan oleh Haulah sebagai perilaku buruk suaminya. Setelah mendengar berita itu Rasul pun berkata, “Suruh suamimu agar membebaskan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut.”
“Suamiku sudah tua renta, dan kemungkinan dia tidak mampu berpuasa,” jawab Haulah. “Kalau begitu, suruhlah dia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu orang satu shaq kurma,” tutur Rasul pada wanita pengadu.
 “Suamiku tidak memiliki kurma sebanyak itu, Rasullulah,” tegas Haulah.
 “Kalau bagitu saya akan membantunya sebagian,” kata Rasul.
“Dan aku pun nanti akan membantunya sebagian lagi,” sambung Haulah. “Kamu adalah wanita yang baik, pulanglah dan sedekahilah suamimu. Serta jangan lupa, nasehatilah dia,” himbau Rasul. Lalu Haulah pun pulang dan segera melaksanakan perintah Rasullulah.
            Petikan cerita Haulah menggambarkan bagaimana pola seorang perempuan yang sudah merasakan sakit hati karena telah dihina oleh suami. Secara umum, hinaan tersebut akan disambut dengan balas hina sehingga terjadi saling menghina. Ataupun diam saja, tetapi berencana untuk menikam dari belakang.
Problematika demikian terbukti adanya sering terjadi konflik rumah tangga hanya karena saling menghina, berkata kasar dan tidak senonoh. Meskipun sekadar salah memilih kata bisa berpotensi menimbulkan broken home atau perpisahan rumah tangga.
              Namun, Haulah memberikan contoh perilaku yang beda pada umumnya. Dirinya dengan senang hati mengadukan permasalahan pribadi pada Rasullulah untuk meminta pencerahan. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dijadikan referensi dari langkah Haulah. Pertama, dia mampu membingkai sakit hatinya dengan kebijakan. Kedua, Haulah berlaku positif serta egaliter dalam menyikapi  pertikaian dengan suaminya.
            Sebagaimana yang dikonsepkan Islam ketika memberikan kategori seorang salihah. Yaitu, dia yang mau berupaya taat dan mampu membina segala permasalah kemudian mencarikan solusi bersama (QS 4:34). Tetapi, tidak semerta-merta ada intervensi ataupun mengkerdilkan upaya istri dengan dalih sebagaimana yang dikategorikan Islam.
            Karena, yang menjadi dasar untuk menemukan islah bukanlah saling mengadu kekuatan, melainkan adanya saling menyadari. Demikian juga merupakan pesan dari firman Allah yang menghimbau seorang suami jika suatu ketika membenci istrinya, agar bersabar dahulu. Bisa saja Allah menjadikan istrinya itu sebagai sumber kebaikan (QS 4:19). Menurut imam Shawi, kejelekan yang ada dalam diri istri nantinya bisa saja melahirkan generasi yang lebih baik.
            Dari kedua statemen tersebut sebagai struktur terwujudnya istri salihah. Dan, pada intinya yang harus dibangun lebih awal sebagai pondasi adalah kesadaran. Kemudian kesadaran itu diaplikasikan untuk melangkah bersama. Memiliki mufakat yang dibangun berdasarkan cinta. Kemudian barulah terwujud harmonisasi dari benih istri salihah. Wallahu alam.


 
Top