Oleh : Khoirul Anwar Afa
Kalau disadari lebih mendalam, keberadaan dan kehidupan manusia, baik perseorangan, maupun kelompok, tampak gejala-gejala mendasar yang dapat diuraikan antara lain: keberadaan orang yang satu dengan lainnya terdapat berbagai perbedaan. Meskipun banyak pula terdapat kesamaan. Seperti, sama memerlukan makanan, minuman, menghirup udara segar, sama ingin meraih kebahagiaan, mendapatkan cinta, kasih sayang, dan sebagainya. Begitu pula, banyak perbedaannya, seperti psikis, pemikiran, wajah, dan lain-lain.
            Semua orang juga tidak dapat luput dengan kerjasama orang lain, atau peran orang lain terhadap dirinya. Supaya manusia dapat berkembang serta membentuk populasi terhadap lingkungan. Maka bisa disimpulkan bahwa setiap manusia lebih dominan tumbuh kembang sebagaimana dengan lingkungannya. Misalkan, manusia serigala. Psikis dan wataknya seperti serigala. Karena, semenjak dia lahir hingga besar dididik oleh serigala.
            Meskipun seperti itu, manusia tidak dapat bersifat acak atau hidup sembarangan tanpa aturan-aturan tertentu. Hampir semua kegiatan mereka, baik individual maupun kelompok, berdasarkan peraturannya. Karena, dalam menjaga hubungan dengan orang lainnya, justru aturan tersebut yang digunakan, (Prayitno, 1994).
            Kemudian mereka tumbuh berlandaskan dinamika pengembangan dirinya sendiri atas dasar kemauan, kesadaran, dan kesengajaan manusia itu sendiri. Memang pada mulanya manusia memiliki kebebasan alamiah (Adler, 1981), yang setiap saat mengarahkan dan mengangkat lebih tinggi lagi kehidupannya sejalan dengan derjatnya yang paling tinggi. Maka, kebebasan alamiah ini yang mampu mendongkrak manusia terbebas dari tingkah laku instingtif dan belenggu lingkungannya.
                Aplikasi untuk merealisasikan dimensi manusia tersebut sangat ditunggu demi menunjangnya pendidikan anak Indonesia. Sehingga dapat menciptakan pendidikan yang efektif untuk perkembangan anak didik. Dengan dalih, anak didik akan dibekali sesuai dengan kemampuan dan mampu mendapatkan apa yang diajarkan oleh pendidiknya.
            Tujuan awal, anak didik diarahkan pada pengembangan potensi mereka sendiri. Maka dalam pembelajaran, mereka merasa memiliki hak untuk berupaya menggali kegemaran mereka. Artinya, peran guru dalam hal ini hanyalah menjadi pembimbing dan mengawasi. Serta memberikan gambaran-gambaran atas potensi yang akan anak didik kembangkan.
            Sehingga masuk pada konsep pendidikan humanis. Atau dalam pengertian lebih luas, pendidikan yang memanusiakan. Sistem seperti itu seharusnya diterapkan dalam pembelajaran di negeri ini. Dengan asas demokrasi yang berlaku di negara Indonesia, semestinya pendidikan pun sebaiknya memakai sistem tersebut.
            Jika disadari, yang terjadi kebanyakan sistem pendidikan yang ada tidak lain adalah merobotkan anak didik. Masih saja melestarikan doktrinisasi. Dengan tujuan mengarahkan anak didik seperti apa yang dikonsepkan oleh gurunya. Itu sama saja merampas potensi kecerdasan anak didik. Dengan istilah lain, mecetak anak didik menjadi boneka dalam pendidikan.
            Itulah sebabnya kebanyakan masyarakat masih terus mendewakan “kebenaran”. Dalam berinteraksi dengan orang lain, mereka memakai nilai “kebenaran” sebagaimana yang dipandanganya sendiri. Sehingga “kebenaran” yang dipandang orang lain tidak laku dan perlu ditentang jika berbeda dengan pandangannya. Kelompok seperti itu sebagai contoh hasil dari pendidikan yang tidak memanusiakan.
            Dilihat dari dimensi awal, manusia akan menjadi hebat jika belajar dengan terbuka. Artinya, mampu menelaah dan terus mencari apa yang semestinya menjadi relevan jika dipakai untuk mengembangkan dirinya dan orang banyak. Maka, dengan kebebasan alamiah manusia dapat mengubah dirinya secara kreatif, (Adler, 1981).
            Individualitas manusia yang cerdas diimbangi dengan dimensi sosial, agar mampu berinteraksi, berkomunikasi, bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. Kaitan ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk individual dan sosial. Kedua jenis yang digolongkan pada manusia ini sebagai bentuk kesempurnaan manusia sebagai makhluk. Atau alam yang paling sempurna daripada yang lainnya.
            Semua itu dapat disimpulkan sebagai sintem untuk menciptakan pendidikan yang lebih menunjang. Pendidikan yang dapat menjamin anak didik untuk memiliki pribadi yang baik. Tidak terus menerus berkutat pada pandangan dan ideologi sendiri, yang menciptakan dirinya sebagai seseorang yang berwawasan sempit, mudah menghakimi dan sulit bertoleransi.
            Harus disadari, timbulnya pengajar yang masih memakai kekerasan dalam proses pengajaran, kemungkinan besar adalah buih dari sistem yang tidak memanusiakan. Sehingga, ketika menjadi pemegang pendidikan pun, tidak bisa lepas dari kekangan dan penghakiman sendiri. Serta dengan mudah menyalahkan orang yang tidak sesuai dengan pandangannya.
            Sistem konservatif seperti itu sudah semestinya dihilangkan dalam proses pendidikan. Tindakan seperti itu demi mendulang kesejahteraan masyarakat pada taraf kehidupan berbudaya yang baik. Melahirkan tradisi perdamaian, berinteraksi dari hasil pertimbangan-pertimbangan yang luas.

             

Post a Comment

 
Top