Imbas dari politik uang di negeri ini sangat meresahkan rakyat. Milyaran, bahkan triliunan dari harta negeri ini mereka garong hanya untuk kepentingan pribadi. Tidak menghiraukan apa yang akan diderita rakyat negeri ini, apabila mengalami kerugian akibat korupsi. Nyatanya, langkah politisi berdiri dalam pengkaderan, dan ingin menduduki kursi jabatan, mereka harus berjuang keras mengerahkan segala energi dan materi.
Dengan bermodalkan materi yang melimpah, mereka harus tampil kapabel sehingga bisa menarik simpati dari massa. Meskipun, modal tersebut dari dana hutangan. Harapan mereka pun sangat besar agar bisa menggait banyak dukungan. Bahkan, tidak tanggung-tanggung para politisi membawa nama tuhan dan ber-orasi dengan basis teologi (agama), serta menebar janji-janji akan mewujudkan kemakmuran rakyat.
Sudah jelas, langkah yang mereka ambil sangat berrisiko tinggi. Ada dua obsi besar yang akan mereka hadapi setelahnya. Apabila gagal, akan menjadi gharim (banyak hutang). Atau, sukses dan harus berupaya keras untuk menutup hutang. Anehnya, hal seperti ini sudah mentradisi.
Jika tindakan tersebut masih dijadikan senjata ampuh oleh politisi untuk mengejar mimpi, maka wajar saja jika koruptor ada dimanamana. Sudah seharusnya paradigma dan tradisi seperti itu dihilangkan. Politik yang dibangun dengan pondasi uang harus ditumbangkan. Dan dihapus dari negeri ini. Demi menciptakan the pure of politic.
Seperti yang dikatakan oleh pengamat sosial politik dari IAIN Sumut, Drs. Ansari Yamamah, MA bahwa “Sudah seharusnya pemerintah dan pemuka agama menanamkan pemahaman bahwa menggunakan politik uang adalah sesuatu yang bersifat "najis". Dengan begitu, akan muncul rasa jijik di kalangan masyarakat untuk menerima sesuatu dalam sebuah proses demokrasi rakyat,".
Anehnya, selama ini masyarakat kurang peduli dengan politik uang, bahkan terkesan mengharapkan sesuatu dari seorang tokoh yang sedang "bertarung" dalam proses demokrasi rakyat, seperti Pemilu dan pilkada. Masyarakat menganggap itu adalah musim panen uang. Karena, suara mereka yang dapat ditukar dengan uang.
Hal itu terjadi karena masyarakat tidak menyadari bahaya politik uang serta menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Masalahnya, masyarakat belum menganggap poilitik uang sebagai najis yang harus dijauhi. Dan, akan menghilangkan kesucian dan estetika politik. Serta bahaya dari najis itu sendiri yang menjadikan gelapnya kemakmuran.
Salah satu penyebab munculnya fenomena itu karena tidak adanya larangan yang tegas dari pemerintah dan pemuka agama, agar tidak lagi memainkan uang untuk kepentingan politik, serta membawa nama tuhan untuk mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari massa. Sekaligus menjelaskan hukum politik uang dalam pandangan UUD dan agama.
Namun, malah justru sebagian pemerintah dan pemuka agama mendukung boleh menerima pemberian seorang calon pejabat atau politisi, meskipun pilihan politik yang diberikan tergantung pada hati nurani masing-masing. Langkah seperti itu sangat tidak baik dan membawakan efek negatif bagi masyarakat. Karena, sama saja langkah itu mengajari masyarakat untuk bersifat munafik.
Jadi, pemberian uang atau suatu benda yang dilakukan dalam sebuah proses demokrasi, dikategorikan sebagai upaya riswah (penyuapan) terhadap masyarakat. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukan pemberian secara instan yang mudah habis dan tidak memberikan manfaat untuk jangka panjang.
Ketua umum PBNU, Prof. Said Aqil Syiraj mengeklaim keras hal itu. Karena, benar-benar melukai agama. Sebenarnya, yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah kepedulian dan rasa tanggung jawab pemimpin. Masyarakat menanti bukti dari kebijakan politisi yang berpihak pada kepentingan khalayak ramai jika berhasil mendapatkan mandat jabatan. Hal itu harus dilakukan, jika ingin menumbangkan paradigma kotor.
Paradigma Kotor
Manifestasi yang dibawakan oleh politisi hanya mengincar dan menumpuk investasi materi. Hal itu sudah menjadi pioner oleh calon politisi. Karena, saat berhasil menduduki jabatan, mereka bertampil lebih gengsi dan bergaya tinggi. Belum lagi harus mengembalikan modal yang telah terkuras di saat bertarung.
Meski bukan jaminan, tetapi pejabat yang tidak terlalu banyak mengeluarkan modal, lebih dapat diharapkan untuk dapat lebih fokus dalam mencari dan menerapkan kebijakan yang peduli masyarakat kecil. Karena, politisi yang seperti itu bangun tidak dari paradigma kotor. Dan bukan lagi mengedepankan materi.
Memang harus berupaya keras untuk menciptakan kaderisasi politisi suci. Tidak cukup dengan sedikit perjuangan, atau hanya mengeluarkan sanksi yang tidak direalisasi. Hukum negara juga harus bertindak keras dan pengawasan yang ketat. Bekerja sama dengan rakyat kecil serta memberikan stimulus pada mereka agar tidak tergiur dengan uang politik.
Jika perlu, masyarakat harus memilih calon pejabat yang paling sedikit mengeluarkan modal. Dan masyarakat dituntut untuk memilih calon yang tepat secara individu. Tanpa, ada dorongan orasi berbau uang. Secara sosiologis, sekilas bisa dianalogikan bahwa politik uang sebagai alat untuk menjatuhkan rakyat dalam kubangan materialisme.
khoirulanwar519@yahoo.co.id
Dampak Buruk Politik UangUntuk itu, pemerintah dan pemuka agama harus memperkuat pola pikir dan sudut pandang mereka terhadap politik uang. Pemerintah harus membuat aturan khusus terhadap politisi yang masih mendewakan uang sebagai senjata ampuh. Dan hukuman berat bagi yang mencoba mempraktikkannya.
Begitu pula harus mengajarkan cara berpikir yang baik, dan berpondasi kesucian. Meskipun, masyarakat ini sudah terjelembab di samudra kotor akibat adanya politik uang. Tetapi, alangkah baiknya untuk menyambut Pemilu yang akan datang, kita berakit menuju politik tanpa uang.
Upaya demikian memang tidak mudah. Membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak. Misalkan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah seharusnya mewujudkan wewenang serta mendirikan UU untuk meretas tradisi adanya politik uang. Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sehat. Karena dampak dari politik tersebut dominan menjadikan negara kita berasaskan, meminjam istilah bung Karno, “demokrasi kesakitan”.