Mencari ilmu di pesantren memang memiliki nilai sakral bagi masyarakat yang berlatarbelakang islami. Kebanyakan mereka berasumsi besar terhadap pesantren sebagai sarana pembelajaran yang mampu membentuk karakter generasi Islam yang bijak dan memiliki ketaatan terhadap Agama. Serta, pesantren menjadi wacana masyarakat sebagai wadah yang memiliki terobosan untuk membesarkan calon orang-orang pintar yang akan menyandang kewibawaan dan karismatik. Sehingga ketika disandangnya busana pesantren akan memiliki aura bijak memikat kesucian. Ketika dikibarkan di tengah-tengah kerumunan orang, akan menjadi pencerah bagai rembulan di kegelapan malam.
Anggapan demikian sudah berlabuh dalam pemikiran dan mentradisi hingga melekat kuat dalam benak masyarakat pada umumnya. Dan mungkin saja anggapan tersebut diwariskan turun temurun dari sejak mulainya di gelar dunia kepesantrenan yang didirikan oleh para pemuka Islam yang sudah ada di Indonesia sejak tahun 1700-an.
Tujuan belajar di pesantren tidak lain untuk membentuk generasi muda yang paham dengan kaidah-kaidah Islam sepenuhnya. Karena, mulai dari sistem pembelajaran dan materi yang diajarkan berkesinambungan untuk menciptakan generasi Islam menjadi pribadi yang memiliki kredibilitas, integritas, serta berakhlak baik.
Santun
Secara normatif, sikap (attitude) santri (pelajar di pesantren) berbeda dengan sikap pelajar di tempat lain. Jika diamati lebih dalam, masih melekat tradisi foedal yang membedakan antara santri dengan kiai, keluarga kiai, atau ustad yang mengajar di pesantren. Perbedaan itu yang menimbulkan adanya sekatan sehingga ada jarak jauh bagi santri yang ingus pada kiai.
Terhadap kiai, pelajar juga tidak seserakah seperti ketika ingin mendekat pada orang tua atau orang lain yang tidak kiainya. Hingga menyapa pun harus menundukkan kepala setunduk-tunduknya. Bahkan akan berjalan berlutut kaki ketika memberikan suguhan di hadapan kiainya.
Terhadap kiai, pelajar juga tidak seserakah seperti ketika ingin mendekat pada orang tua atau orang lain yang tidak kiainya. Hingga menyapa pun harus menundukkan kepala setunduk-tunduknya. Bahkan akan berjalan berlutut kaki ketika memberikan suguhan di hadapan kiainya.
Kiai cenderung sebagai acuan utama, dan seringkali dijadikan mazhab bagi santri-santrinya. Celotehan-celotehan kiai pun berbobot menjadi fatwa bagi santri-santrinya. Meskipun ada permasalahan yang muskil dari fatwa kianya, tak pernah berani menanyakannya. Dengan dalih taklid atas dasar menghormati guru. Mencari keberkahan dari guru tersebut, dengan menerima apapun yang diberikan.
Cara belajar demikian sudah pasti berbeda dengan gaya mahasiswa, atau yang belajar di lembaga-lembaga lain selain pesantren. Mereka akan cenderung lebih dekat dan mengajak guru layaknya teman belajarnya. Tidak ada jarak yang jauh, sehingga murid pun tidak memiliki keengganan ketika bertanya. Dan tak ada masalah ketika hendak berekspresi. Ketika bertemu pun tidak harus menundukkan kepala. Sehingga menciptakan ruang lingkup belajar yang lebih luas dan elegan. Sistem belajar seperti ini lebih memanusiakan.
Perbedaan dari berbagau sistem demikian karena dilatarbelakangi oleh tradisi atau perbedaan manajemen. Atau, keterbelakangan berpikir sehingga tidak mau berpijak pada sistem yang lebih humanis. Yang memberikan transparansi pada semua khalayak. Sehingga tidak ada sekatan-sekatan yang memurungkan sekelompok pihak ketika ingin bersama. Karena, jika itu terjadi dikhawatirkan akan diklaim sebagai tindakan lancang, dan bahkan tidak mengenal etika.
Karenanya, kerelatifan normatif dalam problematika tersebut masih ambigu. Kesantunan yang justru sudah melekat, tampaknya tidak sesuai dengan keberuntungan yang akan dicapainya. Bagaimana bisa beruntung lebih banyak, mereka tidak menerima perkembangan lebih lebar, dan hanya menelan mentah-mentah dari tutur kata pendidiknya? Bahkan tidak boleh tahu menahu lebih dalam masalah keseharian gurunya? Dan bagaimana kesantunan sebenarnya?
Patuh dan Taat (sam’an wa toatan)
Dua kata tersebut sebagai jargonisme kiai ketika melambangkan sikap untuk santrinya yang menginginkan berkah ilmu darinya. Kedua-nya tersebut harus menjadi pondasi utama santri dalam menghadapi apapun dari kiai. Dan juga sebagai konstitusi paten yang hubungannya dengan komitmen untuk menuai keberhasilan.
Dualisme tersebut dianggap memiliki ruh yang mampu menembus pada jalan cerah menuju keberhasilan dalam meniba ilmu. Dan merupakan kunci untuk membuka gudang ilmu yang disediakan oleh kiainya. Maka, apabila kedua kunci tersebut patah, atau berkarat, keberhasilan akan menjadi jauh dari pencarian santri. Serta mustahil lagi dapat membukanya. Karena inti dari keberhasilan itu tergantung pada kedua pijakan tersebut.
Ironisnya, mitos "yang penting patuh dan taat", tanpa belajar pelajaran pun akan bisa menjadi pintar layaknya mereka yang belajar bertahun-tahun. Anggapan seperti itu yang menjadikan kuatnya kaum santri dalam mempertahankan kedua prinsip tersebut, meskipun kepahitan seringkali dirasakannya. Seringkali cerita pahit muncul dari kalangan santri yang merasakan pedihnya intervensi dan terrampasnya hak yang dimilikinya.
Fenomena yang seringkali masih meledak di kalangan pesantren hingga sekarang ini dalam masalah romantika. Dalam permasalahan yang seharusnya hanya dilakoni orang-orang tertentu saja, namun sang kiai tidak mau ketinggalan. Karena dirinya merasa memiliki hak untuk berkecimpung dalam masalah itu. Bahkan, kiai sudah merasa melebihi orangtua yang melahirkan santri. Sehingga pada permasalahan itu pun dia merasa wajib mencampuri urusan tersebut. Dengan dalih sangat perhatiannya terhadap anak didik. Dan juga tidak jarang ada kiai yang melakukan tindak kriminal, seksual terhadap santrinya dengan dalih dua prinsip "taat dan patuh".
Pengaruh feodal masih saja melekat. Nilai kemanusiaan santri seakan terampas demi mementingkan jargon-jargon klasik yang mentradisi. Hingga banyak menimbulkan bumerang yang harus diterima oleh santri. Maka dari itu, kesembiluan pesantren akan selalu terpancar jika masih saja jumud dan menganggap sistemasi pesantren seperti itu sebagai sistem yang relevan. Wallahualam