“TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH”
Dosen Pengampu
Thaha Ghafar MA
MAKALAH INI DISUSUN OLEH
KHOIRUL ANWAR
DEDE AZANI
MUTAWAKKIL ALALLAH
MAHASISWA USHULUDDIN SMESTER IVPTIQ (PERGURUAN TINGGI ILMU
AL-QURAN) JAKARTA 2012/2013
Mukadimah
Segala puji dan syukur kita haturkan
kepada Allah swt. Yang telah memberikan beberapa nikmat dan rahmatNya pada
kita. Dan juga shalawat serta salam selalu kita curahkan pada nabi Muhammad
saw. Semoga kita mendapatkan syafaatnya pada hari kiamah.
Dalam
kajian kali ini, dengan judul besar “Transplantasi Organ Tubuh,” merupakan
salah satu judul yang merangkum pelbagai permasalahan urgen dan masih relevan
dalam berbagai kajian fikih. Karena, mengingat dan menimbang permasalahan
tersebut sering kita temukan di masyarakat. Kemudian muncul berbagai pendapat
yang memberikan klaim-klaim berbeda terhadap hal tersebut.
Maka
dari itu, sudah sepantasnya bagi kita semua yang menekuni bidang keagamaan
untuk ikut mendalami problematika yang menimbulkan adanya perbedaan reaksi para
ilmuan untuk menyikapi hal tersebut. Namun, disini dari pemakalah tidak
menyediakan wacana yang luas untuk lebih mendalami hal itu, maka sumbangsih
teman-teman sangat kami harapkan untuk bisa mengembangkan pemikiran kita. Dan
atas partisipasi teman-teman, kami ucapkan terimakasih.
A.
Pengertian
Transplantasi
berasal dari bahasa inggris to transplant, yang berarti to move from
one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun
pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah pemindahan
jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat yang lain. Yang dimaksud
jaringan di sini ialah: Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang
sama memiliki fungsi tertentu.
Singkatnya, transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah
pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari
seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi
dengan baik milik orang lain.
Yang
dimaksud organ ialah: kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga
merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati,
dan lain-lain.
B.
Pembagian Trasplantasi
Melihat dari pengertian di atas,
kita bisa membagi transplantasi itu ada dua bagian.
1.
Transplantasi
jaringan, seperti pencangkokan corena mata.
2.
Transplantasi
organ seperti pencakokan ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetic antara
donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dan resipien (orang
yang menerima pindahan jaringan atau organ) ada 3 macam pencangkokan.
1.
Auto Tranplantasi, yaitu
transplantasi dimana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang
pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian
badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2.
Homo Transplantasi, yaitu
dimana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya
(jenis ini bukan jenis kelamin, melainkan jenis manusia dengan manusia).
Pada homo
transplantasi ini bisa terjadi donor dengan resipiennya dua individu yang masih
hidup, bisa terjadi donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver
donor, sedang resipien masih hidup.
3.
Hetero
transplantasi ialah donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya,
seperti transplantasi yang donornya hewan sedangkan resipiennya manusia.
Maka
kesimpulannya ialah, hampir semua organ dapat ditranplantasikan, sekalipun
sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena
menurut ahli operasi, tehnisnya sangat rumit. Namun, di Rusia pernah dilakukan
percobaan mentranplantasikan “kepala” pada binatang dengan hasil baik.[1]
C.
Pandangan
Hukum Islam Terhadap Transplantasi Organ Tubuh
Bagaimana status hukum transplantasi tersebut menurut hukum
Islam? Dibolehkan ataukah diharamkan?
Untuk menentukan hukum boleh tidaknya transplantasi organ
tubuh, perlu dilihat kapan pelakasanaannya.
Sebagaimana dijelaskan ada tiga keadaan transplantasi
dilakukan, yaitu pada saat donor masih hidup sehat, donor ketika sakit (koma)
dan didiuga kuat akan meninggal dan donor dalam keadaan sudah meninggal.
Berikut hukum transplantasi sesuai keadaannya masing-masing.
Pertama, apabila
pencangkokan tersebut dilakukan, di mana donor dalam keadaan sehat wal afiat,
maka hukumnya menurut Prof Drs. Masyfuk Zuhdi, dilarang (haram) berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut:[2]
- Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu hke dalam
kebinasaan”
Dalam
kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang
lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal… ia (mungkin) akan menghadapi resiko
sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau
ginjalnya yang tinggal sebuah itu (Ibid, 88).
2. Kaidah hukum Islam:
Artinya:”Menolak kerusakan harus didahulukan atas meraih
kemaslahatan”
Dalam
kasus ini, pendonor mengorbankan dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya
untuk diberikan kepada dan demi kemaslahatan orang lain, yakni resipien.
3. Kaidah Hukum Islam:
Artinya” Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
lainnya.”
Dalam
kasus ini bahaya yang mengancam seorang resipien tidak boleh diatasi dengan
cara membuat bahaya dari orang lain, yakni pendonor.
Kedua, apabila
transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma) atau
hampir meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan (Ibid, 89),
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
- Hadits Rasulullah:
Artinya:”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam
kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor yang
dalam keadaan sakit (koma).
2. Orang tidak boleh
menyebabkan matinya orang lain. Dalam kasus ini orang yang sedang sakit (koma)
akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut. Sekalipun tujuan
dari pencangkokan tersebut adalah mulia, yakni untuk menyembuhkan sakitnya
orang lain (resipien).
Ketiga, apabila
pencangkokan dilakukan ketika pendonor telah meninggal, baik secara medis
maupun yuridis, maka menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang
mengharamkan. Yang membolehkan menggantungkan pada dua syarat sebagai berikut:
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat
mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis,
tapi tidak berhasil. (ibi, 89).
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang
lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Adapun alasan membolehkannya adalah sebagai berikut:
- Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 195 di atas.
Ayat
tersebut secara analogis dapat difahami, bahwa Islam tidak membenarkan pula
orang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya atau tidak berfungsi organ
tubuhnya yang sangat vital, tanpa ausaha-usaha penyembuhan termasuk
pencangkokan di dalamnya.
- Surat Al-Maidah: 32.
Artinya;”Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”
Ayat
ini sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelematkan jiwa
manusia.
Dalam
kasus ini seseorang yang dengan ikhlas menyumbangkan organ tubuhnya setelah
meninggal, maka Islam membolehkan. Bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan
kemanusiaan yang tinggi nilainya, lantaran menolong jiwa sesama manuysia atau
membanatu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
(Keputusan Fatwa MUI tentang wasiat menghibahkan kornea mata).
- Hadits
Artinya:”Berobatlah wahai hamba Allah, karen sesungguhnya
Allah tidak meletakkan penyakit kecuali Dia meletakkan jua obatnya, kecuali
satu penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit tua.”
Dalam kasus ini, pengobatannya adalah dengan cara
transplantasi organ tubuh.
1. Kaidah hukum Islam
Artinya:”Kemadharatan harus dihilangkan”
Dalam
kasus ini bahaya (penyakit) harus dihilangkan dengan cara transplantasi.
2. Menurut hukum wasiat, keluarga atau ahli waris
harus melaksanakan wasiat orang yang meninggal.Dalam kasus ini adalah wasiat
untuk donor organ tubuh. Sebaliknya, apabila tidak ada wasiat, maka ahli waris
tidak boleh melaksanakan transplantasi organ tubuh mayat tersebut.
Pendapat
yang tidak membolehkan kornea mata adalah seperti Keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah.
D.
Tranplantasi Dengan Sesuatu yang Najis
Namun ada redaksi yang mengatakan
bahwa, apabila tulang seseorang disambung dengan sesuatu yang najis karena
seuatu kebutuhan yang mendesak. Maka, hal itu dimaafkan meskipun dipakai untuk
shalat. Kebutuhan yang mendesak tersebut misalkan, salah satu anggota tubuhnya
pecah dan dijahit dengan benang najis.[3]dan
pengertian najis tersebut bisa mughallazah. Namun, menurut para ulama,
hal itu bisa dilakukan selama tidak ada yang bisa sama sekali untuk
menyambungnya. Pendapat itu berbeda dengan pendapatnya Al-Syubkhi, menurutnya
seandainya ada yang tidak najis, meskipun yang najis lebih tepat dan lebih bisa
menyembuhkannya, maka tidak boleh menambal dengan yang najis tersebut.[4]
Seandainya para pakar berpendapat,
bahwa daging manusia tidak bisa tertambal dengan cepat kecuali dengan tulang
anjing, maka ia termaafkan. Dan pendapat ini yang dianut oleh imam Khatib dan
senada dengan pendapat imam Barmawi. Adapun jika ada yang najis mughallazah dan
yang tidak mughallazah, maka yang didahulukan adalah yang tidak mughallazah.
Meskipun, tingkat untuk masa kesembuhannya agak lama.
Jika misalnya karena pecah tulangnya
dan perlu disambung dengan sesuatu yang najis karena tidak ada yang suci yang
layak untuk disambungkan, atau yang ada memang yang najis saja, maka
penyambungan tersebut termaafkan, dan shalatnya (dengan membawa sambungan najis
tersebut) hukumnya tetap sah, karena dharurat.[5]
Seandainya para pakar bedah berkata,
bahwa daging manusia tidak akan tertambal secara cepat kecuali dengan tulang
anjing, maka menurut Al-Asnawi, ia termaafkan. Namun, jika terdapat
sesuatu yang tidak najis dan layak untuk
disambungkan, ataupun tidak terlalu mendesak untuk disambungkan, maka haram
hukumnya untuk menyambungkan sesuatu yang najis tersebut, dan wajib untuk
mencabutnya kembali jika memang tidak menimbulkan sesuatu bahaya yang nyata.
Seandainya tulangnya pecah dan perlu
disambung dengan sesuatu tulang yang najis, maupun mughallazah karena tidak
adanya sesuatu yang suci dan layak, maka ia termaafkan dan shalatnya tetap sah
karena dharurat. [6]Dan
menurutnya, orang yang sudah menambal dengan sesuatu yang najis tidak perlu
mencabutnya kembali, meskipun di kemudian hari mendapatkan yang suci, walaupun
mencabutnya tidak menimbulkan kekhawatiran timbulnya sesuatu yang membahayakan
dirinya.[7]
Pendapat ini berbeda dengan pendapat
sebagian ulama modern. Al-halabi berpendapat, seandainya tidak terdapat sesuatu
yang lain, maka boleh menambal dengan tulang mayat manusia, sama seperti
kebolehan yang sangat terpaksa untuk memakai bangkai manusia.[8]
Imam al-Mudabighi sebada dengan al-Khatib menambahkan, seandainya penambalan
atau penyambungan itu harus dengan tulang manusia, maka diprioritaskan
menggunakan tulangnya orang kafir musuh seperti orang murtad, kemudian kafir dzimmi
dan kemudian orang muslim (sebagai pilihan yang terakhir)
[1]
Solusi Problematika Sosial, 1926-2004.
[2]
www.pabondowoso.com. Dikutip tgl 5-03-13
[3]
Hasiyah Jamal Ala Syarhi Al-manhaj, Al-Barmawi, Jus 1, Hal 416-417, Makatabah
Syamilah
[4]
Ibid.
[5]
Mughni Al-Muhtaj, Imam Al-Asnawi, Jus 1, Hal 195. Maktabah Symilah.
[6]
Nihayatul Muhatj, Al-raudlah, jus 2, hal 21. Maktabah Syamilah.
[7]
ibid
[8]
Fathul Jawad, Al-Halabi. Hal 26. Makatabah Syamilah.
Post a Comment