Impian para politisi bukan lagi ingin menjadikan makmurnya negeri
ini. Melainkan saling bermimpi untuk menumpuk investasi dari kekayaan negeri. Setinggi mungkin mereka menumpukkan harta.
Tidak ada batasan ataupun target pribadi. Selama masih ada yang dapat mereka
gait, pastilah dengan rasa aman dan tenang para politisi menggendutkan
rekening.
Berangkat dari
awal bangkitnya mereka untuk duduk di kursi DPR atau meraih jabatan, sangat
membutuhkan banyak pengorbanan. Baik materi maupun energi. Dia antaranya dana
untuk pengadaan kampanye, dana cari pendukung secara personal, dana cari
fasilitas, dana cari relasi dan lain-lain. Jika dihitung tidak cukup
menggunakan dana yang sedikit.
Bisa dikatakan,
mereka yang sudah mencalonkan dirinya menjadi politisi dituntut harus berduit.
Sebab, anggaran yang harus mereka jatuhkan tidak cukup terbilang sedikit. Jika
berani bersaing di lapangan dengan musuh-musuh dari politisi lain. Dan, untuk
membuat benteng yang kuat, mau tidak mau mereka merabuk relasinya dengan sarana
dan prasarana yang memadai.
Begitu juga energi
yang mereka kerahkan untuk tampil
sebagai super hero. Dan harapan mereka agar mendapat respon baik dari
masyarakat. Orasi-orasi mereka sangat manis, dan pemikiran mereka terhadap
rakyat sangat menginterpretasikan kapabilitas dan kredebilitas mereka. Seakan
tak ada niat profan sedikit pun untuk melukai negeri ini.
Siapa yang tidak
tergiur dengan gaya mereka yang herois dan berjanji manis? Bahkan mereka yang
berkarir artis dan bergaya paris. Dengan modal demikian bisa dijadikan sarana
untuk merangkul masa. Maka, bagi mereka yang masih muda dan menyakini memiliki
kekuatan untuk menarik masa, mereka tidak meragukan lagi untuk berkuasa.
Pasalnya, memegang
kekuasaan itu hal mudah. Tugas-tugas dianggap sebagai tugas ringan. Karena
memang semua bisa gampang diatur meskipun banyak aturan wajibnya. Mereka bisa
duduk di balik layar, dan tugas selesai. Jika itu yang terjadi, maka tidak ada
yang tampak berat dalam tugas DPR. Padahal, seharusnya kemakmuran Negara
menjadi tanggung jawabnya.
Nyatanya, mereka
duduk lihai dan tidur nyenyak ketika diajak berdiskusi mengenai Negara. Seakan
dedikasi dan misi mereka sebagai pemegang peran penting terhadap Negara telah
sirna. Janji manis yang mereka ucapkan saat orasi tidak terbukti. Mereka tampak
lesu saat diajak konsolidasi. Tetapi, akan segar bugar saat diajak berbagi
rezeki.
Rezeki Politisi
Jabatan para politisi yang mendominasi untuk menjadikan mudahnya
rezeki. Buktinya, saat Negara merencanakan proyek perbaikan wilayah atau untuk
fasilitas rakyat kecil. Mereka berebutan tender. Dan pastinya, yang lebih
memiliki relasi dan berani bernegoisasi dengan pihak atas lah yang akan
menguasai. Rezeki berlimpah akan mereka dapatkan sebagai tumpukan investasi dan
ganti rugi saat mencalonkan diri menjadi politisi.
Diakui atau tidak,
akibat dari sistem pemilu terbuka dengan suara
terbanyak yang menyebabkan kaderisasi parpol macet. Sehingga kader yang bersih
malah tak lolos karena tak punya cukup modal. Itu karena, sudah tradisinya
negeri ini mendewakan money politic. Maka jangan heran apabila ketika sudah
menjadi politisi dan berwenang memegang kekayaan negeri, mereka sisihkan untuk
ganti rugi dari modal awal.
Yang
menjadi permasahan adalah saat pileg dengan sistem daftar pemilih terbuka dan
suara terbanyak, banyak kader yang melalui proses pengkaderan justru tidak
masuk sebagai anggota legislatif, yang masuk mereka menumpang perahu, nomor
sepatu tapi punya uang yang banyak, itu situasi pada saat itu. Mereka yang
punya uang banyak mampu berkampanye sehingga bisa duduk sebagai anggota DPR.
Kaderisasi Korupsi
Secara obyektif, lahirnya para politisi yang bisa duduk
di DPR karena pintar orasi dan mampu membeli, itu bisa dijadikan sebagi wacana
oleh para calon politisi. Sehingga, tidak menjadi heran lagi apabila mereka
yang tiadak berdidikasi berani mencalonkan diri. Itu berarti, tugas politik
dianggap sebagai tugas roti. Yang anak kecil pun bisa memakannya.
Belum mengenal ilmu dan godaan berpolitisi, sudah
berani memasuki ranah bahaya itu. Karena itu bukanlah tugas sepele. Seakan-akan
yang menjadi incaran mereka hanyalah investasi dan rezeki. Karena, melihat para
politisi yang mampu membangun gedung rumahnya yang tinggi dan kendaraannya yang
bergengsi. Ironisnya, itu sudah menjadi tradisi.
Akibatnya, berpolitisi itu dianggap sebagai ajang
memanen rezeki. Bagaikan menyebar investasi yang sangat menjanjikan. Secara
tersirat, itu sama saja mengkaderisasi korupsi. Karena, apabila itu sudah
menjadi tradisi, maka tidak rahasia lagi hal itu dilakukan. Jadi, tidak heran
apabila sekarang maraknya politisi muda yang berambisi memiliki banyak
investasi.
Penyakit seperti itu tidak akan terobati apabila tidak
ada tindakan tegas. Karena, jika hanya dikenai hukuman 5 tahun, itu sangat
ringan. Belum lagi, dipotong dengan remisi. Mereka bisa lebih leluasa menikmati
hasil korupsinya. Karena sisa umurnya pun masih bisa dijanjikan. Dan hasil
korupsi mereka sudah diamankan lebih dulu. Untuk dijadikan bekal di kemudian
hari. Bisa jadi, karena usianya yang masih muda, bisa mendasari niat kokoh
mereka berkorupsi. Wallahu ‘alam.