Formalitas pendidikan di negara Indonesia masih saja menjadi icon penting. Sehingga banyak orang berlomba-lomba agar bisa masuk pada formal pendidikan yang dilegitimasi “bermutu” ijasahnya. Maka, perlu ada kajian kembali. Pasalnya, penilaian tersebut tidak lain pertama kali tertuju pada identitas sekolah, yaitu negeri.
            Bagi sekolahan yang berstatus “negeri” menjadi rebutan semua orangtua agar anak mereka bisa duduk di bangku sekolahan tersebut. Sehingga, mutlak tidak ada sekolahan negeri yang dikabarkan bangkunya masih kosong dan kekurangan kuota murid. Bahkan, sekolahan tersebut berolah mau menerima titipan dari orang-orang kaya untuk anak mereka yang tidak lolos dalam ujian. Atau tidak mengikuti seleksi ujian masuk terdahulu. Kemudian hanya masuk dengan instan melewati registrasi yang telah ditentukan oleh pihak sekolah.
             Fakta pembelian bangku sekolah sudah bukan rahasia lagi. Serta proses penerimaan seperti itu sudah mengindikasikan adanya diskriminasi. Naifnya, sekolah-sekolah tersebut dengan tangan lebar membukakan pintu bagi anak orangorang kaya atau pejabat. Dengan dalih, yang mampu membayar registrasi atas ketentuan sekolahan.
            Kejadian seperti itu marak saat PSB (Penerimaan Siswa Baru) berlangsung. Begitu juga pelanggaran-pelanggaran yang serupa. Seperti, menarik pungutan siswa, menjual seragam, membayar uang pembangunan, dsb. Tindakan seperti itu sudah jalas dilarang berdasarkan pasal 52 H PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang berbunyi atau pungutan sekolah tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil  belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Artinya, pungutan sekolah tidak boleh dilakukan pada saat penerimaan siswa baru, syarat kelulusan terutama dikaitkan dengan pengambilan ijazah peserta didik. Akan tetapi, sebagian besar sekolah melanggar dengan menyodorkan daftar sumbangan yang sanggup dibayar oleh orang tua murid jika kelak anaknya diterima disekolah tersebut. Begitu juga dengan sebagian besar sekolah lainnya yang masih menahan ijazah lulusan sekolah karena tidak mampu membayar pungutan sekolah yang tinggi.
Selain itu, pasal 198  dan pasal 181 PP No. 17 Tahun 2010 tentang Tata Kelola Pendidikan telah melarang guru, kepala sekolah, dan komite sekolah untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah. Oleh karena itu, segala pungutan berkaitan pasal ini dilarang oleh pihak sekolah ataupun komite sekolah. Namun demikian dalam prakteknya sering terjadi.
            Paling mengenaskan jika itu terjadi pada sekolah berstatus negeri. Dari pihak sekolah dengan terangterangan meminta sumbangan terhadap siswanya. Padahal, sudah menjadi catatan bersama bahwa sekolahan negeri telah dijamin dan mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.
            Pada masa orde baru dalam satu laporan Developmet Bank dan the University of Hongkong tentang sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia, siswa MTs swasta memperoleh bantuan dari pemerintah sebesar 6.000,00 per anak per tahun, namun bagi anak SMP Negeri pemerintah mengalokasikan bantuan sebesar 245.000,00. Demikian pula bagi MI swasta, bantuan yang diberikan adalah 64.000,00, namun bagi anak SD Negeri, bantuan itu berjumlah 182.000,00.
            Tetapi, semua itu marak sekali disalah gunakan sehingga sekolah negeri berbiaya mahal. Namun, tidak menjadi kebiri bagi orang yang mengincar iming-iming yang menggiurkan dari ijasah negeri. Karena, ijasah yang bermutu dan dengan mudah untuk mencari pekerjaan berstatus negeri. Singkatnya, menjadi pegawai negeri. Pegawai yang diakui oleh negara dengan anggapan memiliki potensi yang mapan. Tujuan seperti itu yang menjadi prioritas utama.
            Jika itu yang terjadi, anggapan pemerintah selama ini tidak tepat. Dukungan dan sinergi baik materiil maupun moril terhadap sekolahan negeri justru disalahgunakan. Sehingga cenderung hanya dijadikan keuntungan semu bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
            Untuk itu, sudah saatnya menjadi catatan bersama. Agar kasus-kasus semacam itu dapat segera ditanggulangi. Sehingga negara dapat mencetak generasi anak didik yang berprestasi. Maka, harus ada aturan tertentu yang mempriorotaskan prestasi. Artinya, semua siswa negeri wajib berprestasi, memiliki potensi yang mumpuni, baik dalam intelektual dan moral.
            Pasalnya, merupakan salah satu kelemahan sekolahan negeri, yang hanya memfokuskan pada materi ajarnya. Sehingga tidak ada perhatian terhadap siswa secara personal individual. Dan demikian yang menyebabkan maraknya siswa mengalami krisis moral. Hal itu akibat dari siswa yang salah pergaulan atau cenderung meniru gaya hidup temannya.
            Jika itu yang terjadi, bagaimana nantinya bila sudah memegang tanggungjawab negara? Problem seperti itu yang menjadi catatan penting bagi semua pihak yang terkait dalam pendidikan negeri. Sehingga ada komitmen selain mencetak anak didik yang memiliki cerdas intelektual juga baik bermoral.
            Langkah seperti itu yang seharusnya dijadikan sebagai tindakan preventif dan kuratif. Supaya pendidikan negeri bisa menjamin anak didik benar-benar berkualitas. Tidak hanya ijasahnya yang bermutu. Melainkan, orangnya juga bisa diandalkan untuk memegang kemakmuran negara. Karena, hanya orang-orang yang bermoral yang memiliki sense of belonging terhadap negara.
               Itu dapat ditinjau terhadap beberapa kasus yang menjadikan negara kotor. Seperti koruptor, tindak kriminal, yang mengindikasikan betapa mahalnya moral mereka. Merusak fasilitas orang, merugikan negara, itu semua adalah bentuk kejahatan yang sangat merugikan banyak orang. Maka, merupakan tanggapan bersama terhadap kasus seperti itu. Dan terlebih lagi terhadap pemerintah agar benar-benar dapat menerapkan nilai pendidikan untuk anak didik, khusunya “pendidikan negeri”.

Penulis adalah Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta.

 
Top