Pendahuluan
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan beberapa kenikmatan serta hidayahNya sehingga kita semua masih dalam lindunganNya yang baik. Serta selawat dan salam kami ucapkan pada Nabi kita, dengan penuh harapan syafaatnya mengiringi kita semua dalam hal apapun, khususnya ketika belajar. Amin.
            Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan muslim terhadap penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan sebagai salah satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik dari beberapa ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya sakralitas teks.
            Pada kali ini, Hasan Hanafi yang menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama kontemporer Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya berpikirnya, dia berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika dilihat dari spektrum teoritis filosofisnya, watak pemikiran Hanafi memang kiri dan revolusioner.
            Hasan Hanafi yang dikenal sebagai tokoh kiri (Al-Yasar Al-Islam) itu, mendasarkan diri pada dialektika yang dikategorisasikan sebagai pemikir pemabaharu. Ini terlihat dalam upaya Hanafi pada proyek Turats wa Tajdid. Dia menganggap bahwa turats bukanlah teks klasik yang tidak bermakna. Sebaliknya, menurut Hanafi teks klasik itu terdapat energei hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, perilaku, dll.
            Upaya yang dilakukan Hanafi dalam hal ini tidak lain ingin menghidupkan turats yang selama ini mengalami kemandegan. Maka, dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar dapat membaca teks, Al-Quran khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata, dapat menggali objektivitas sosial dengan Al-Quran.
            Metode yang Hanafi tawarkan dianggap sangat menarik karena ada sisi yang lebih menyentuh dari beberapa metode yang mucul belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang dapat memihak sebuah kelompok. Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua mazhab, antara Marxisme dan filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap secara retorik yang bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin Al-Quran untuk dasar kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural manusia.
            Pada kali ini untuk memenuhi materi perkuliahan Ushiuluddin V dalam mata kuliah Tafsir Kontemporer, pemakalah akan melakukan kajian sederhana dengan referensi yang terbatas. Oleh karenanya, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman dan dosen pengampu, Dr. Abdul Rauf MA. Besar harapan kami agar selanjutnya menjadi lebih baik. Semoga.


Jakarta, 22, 2013.   

Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunanin hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
            Peran Hermes dalam hal ini dianggap sangat urgen, karena sebagai penyampai pesan-pesan suci dari Tuhan. Maka, konsekuensinya jika penerjemahan itu salah, secara tidak langsung merombak vitalitas kesakralan pesan Tuhan. Dan, jika keliru dalam hal interpretasi, pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalamai disorientasi.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[1]
            Sejauh ini, sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah teks. Dan kali ini yang terdengar sangat menarik berdasarakan dari pelbagai sumber adalah hermeneutik yang dipelopori Hasan Hanafi.
1.      Hermeneutika Hasan Hanafi
Dalam hal ini, Hanafi memiliki pemikiran hermeneutik yang berbeda dengan lainnya. Dengan dalih, demi mendapatkan pembacaan Al-Quran yang bertendensi objektivistik dan menganggap kurang praktis sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pemikir Islam kontemporer, seperti Fazlur Rahman dan Arkoun, Hanafi mengembangkan seperangkat metodologi tafsir sosial atas Al-Quran dengan pendirian teoritis yang bisa dikatakan sangat berbeda dengan lainnya.
            Metode seperti di atas dimaksudkan Hanafi untuk mendapatkan penafsiran Al-Quran yang lebih dekat dengan problem kemanusiaan, seperti kemiskinan, penindasan dan ketidak adilan. Maka dari itu, Hasan Hanafi menawarkan sebuah hermeneutik Al-Quran yang bercorak sosial dan eksistensial.[2]
            Sebagaimana yang kita telah pelajari, ada hal yang berbeda dengan metodologi yang pernah ditawarkan oleh para pemikir sebelumnya, seperti yang disebutkan di atas. Misalkan metode yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Rahman hanya mengembangkan seperangkat metode tafsir dengan menggunakan pendekatan historis dan sintetik anlitis untuk menemukan universalitas pesan moral Al-Quran yang tidak jarang bersembunyi di balik aturan-aturan legal spesifiknya.[3]
            Sedangkan model pendekatan yang diajukan Arkoun pada dasarnya dimunculkan sedapat mungkin syarat-syarat teoritis bagi kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan pada tahap teks. Maka dari itu, Arkoun menyarankan bahwa perkembangan mutakhir dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak dapat dikesampingkan dalam memahami Al-Quran. Pada titik ini, dia menekankan pentingnya semiotika, linguistik modern dan hemeneutika kontemporer.[4]
            Selanjutnya, Hasan Hanafi sebenarnya jauh-jauh hari telah mengintroduksi penggunaan hermeneutik sebagai metodologi tafsir, meskipun pada awalnya dikaitkan dengan metodologi Ushul Fiqh. Itu telah dilakukan oleh Hanafi sejak menulis disertasinya di Sorbone, kemudian ditulis dalam banyak karyanya. Bahkan, dalam salah satu proyek peradaban “al-turats wa al-tajdid”. Dalam buku itu, Hanafi telah menggandengkan sebuah metodologi penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran.[5]
            Hasan Hanafi menggunakan hermeneutik dalam konteks tersebut sebagai bagian dari eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari kemandegan teoritisasi ushul fiqh. Dan, ini sebagai hal yang menonjol dari pemikiran Hanafi yang secara umum tendensi ideologisnya yang sarat dengan maksud-maksud praksis. Tipikal pemikiran semacam ini sangat berbeda dengan mayoritas umat Islam yang masih terkungkung tradisionalisme dan ortodoksi. Seperti yang dikatakan oleh Chourry, “sementara sebagian umat Islam adalah kanan atau fasis, Hanafi justru memilih posisi “kiri” dari Islam yang progresif dan revolusioner”.[6]
            Yang menjadi unik pada Hanafi, dia pertama kali yang melakukan pendobrakan terhadap wacana Barat yang selama ini dibuntuti para ulama Timur. Wacana oksidentalisme terhadap Barat yang dilakukan oleh Hanafi, seakan-akan mengajak jihad kepada orang-orang muslim untuk melawan Barat. Ini sudah melekat pada diri Hanafi muda semenjak ikut pada pergerakan ikhwan di Mesir.[7]
2.      Realisasi Hermeneutik Hasan Hanafi.
Gagasan Hanafi tentang hermeneutika Al-Quran yang telah disusun dan diberi penafisran ulang, kemudian diletakkan dalam sebuah konteks yang lebih luas dari pelbagai studi yang ada, baik dalam studi penafsiran Al-Quran, klasik dan kontemporer, maupun diskursus hermeneutika kontemporer.
            Teks-teks Hanafi yang secara khusus membiacarakan atau terkait langsung dengan hermeneutika Al-Quran dapat dilihat dalam beberapa karyanya yang tersebar dalam dunia keilmuan. Selain disertasi pertamanya mengenai metode penafsiran dalam hukum Islam (ushul fiqh), juga dalam bukunya Qadaya Mu’asirah: fi fikrina Al-Muashir (1976) ada tiga artikel yang membahas terkait hermeneutika Al-Quran. Masing-masing artikelnya berjudul Hal Ladaina Nazariyyah Fi Al-Tafsir?, Ayyuhuma Asbaq: Nazariyyah fi Al-Tafsir am Manhaj Fi Tahlil Al-Khabarat?, dan Aud ila Al-Manba am Aud ila al-Tabiah?.
            Kemudian, dengan munculnya Al-Din wa Al-Tsaurah fi Mishr (1989) yang merupakan kumpulan ulasan artikel-artikelnya yang menyinggung atas pandangannya terhadap hermeneutik, seperti dalam artikel yang bertema Ulum Al-Quran, seperti Asbab Al-Nuzul, Masalahah. Dan dalam karyanya tersebut, : Al-Yamin wa Al-Yasar fi Fikr Ad-Dini, terdapat pandangan Hanafi mengenai Madza Ta’ni Asbab An-Nuzul? Manahij Al-tafsir wa Masalih Al-Ummah, dan Ikhtilaf fi Al-tafsir am ikhtilaf fi Al-Mashalih?.
            Dan, karya Hanafi yang dapat dikatakan terakhir mengenai hermeneutik Al-Quran yang telah rampung pada tahun 2000 adalah Al-Wahyu wa Al-Waqi’: Dirasah fi Asbab an-Nuzul. Tulisan tersebut berisikan beberapa konsep Hanafi mengenai peran wahyu bagi kehidupan, hubungannya dengan realitas, dan interpretasi yang sejalan dengan kehidupan.
            Sebenarnya, teori-teori yang dirumuskan oleh Hasan Hanafi merupakan proyek reformasi. Karena, ditujukan sebagai proyek reformasi untuk melengkapi proses rekontruksi peradaban Islam pada dua tahap yang lebih awal. Yaitu, penyikapan terhadap warisan klasik dan penyikapan terhadap warisan Barat.[8]
            Dan, dalam analisis yang lebih jauh, Hasan Hanafi dalam teori penafsirannya mengatakan bahwa teoritis yang dilakukan adalah sebuah teori yang menentukan relasi antara wahyu dan realita, antara agama dan dunia, atau antara Allah dengan manusia. Maka dari itu, menurut Hanafi, wahyu harus ditempatkan ulang sebagai sumber dan obyek pengetahuan.[9]   Dalam hal ini, Kiri Islam Hanafi mendukung terwujudnya pandangan dunia dalam Al-Minthaq (manifestasi) Nasser, sebuah analisis yang layak karena Hanafi sendiri yang menerjemahkan Al-Hizb Al-Tali’i (partai garda depan), yang dibentuknya sebagai tulang punggung Islam Kirinya menjadi partai poletar. Melihat teori penafsiran dengan kelogisan wahyu, berakibat Hanafi mencoba merekonstruksi seluruh peradaban Islam, merujuk pada apa yang dikatakan Hans Kung “peran Injil yang bebas”.
            Pemikiran hanafi seperti itu muncul untuk mendobrak pemikiran para ilmuwan muslim sebelumnya yang masih terbelenggu dalam penafsiran yang ciut. Maka, dasar yang disarankan oleh Hanafi agar menggunakan paradigma yang lebih luas ketika membaca Al-Quran. Hanafi menyeru kepada pembaca Al-Quran supaya kembali pada alam. Seruan ini bukan berarti bahwa dia menginginkan Al-Quran diganti dengan alam. Melainkan, alam sebagai objek ketika membaca Al-Quran.[10]
3.      Elaborasi Hanafi dalam Hermeneutika
Manurut Hanafi, ada dua perbedaan terbesar yang substansial antara hermeneutika Barat dengan Islam. Dalam hermeneutika Yunani dan Kristen Barat, tugas Rasul (Tuhan Hermes/Christ) adalah menerjemahkan pesan Tuhan kepada umat manusia. Begitu pula, dalam tradisi Islam, Malaikat Jibril (Roh Kudus) tidak mempunyai hak untuk menerjemahkan wahyu teks Allah, karena dia hanya seorang mediator antara dia dengan Nabi Muhammad Saw.
            Menurut Hanafi, dengan “kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Seperti kitab suci lainnya, Al-Quran adalah sebuah teks kuno bagi pembacanya, dan oleh karena itu diperlukan permasalahan psikologis (yakni, permasalahan menjembatani perbedaan budaya dan waktu antara pengarang dengan pembacanya).
             Dalam pendekatan fenomenologi Hanafi, hermeneutika adalah ilmu yang menentukan relasi antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab suci.[11] Hermeneutik Hasan hanafi dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis.[12]
            Sebagai sarjana yang matang dalam tradisi pemikiran Barat dan filsafat hukum Islam, Hasan Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutika Al-Quran. Ia membangun landasan hermenetis di atas empat pilar. Dari khazanah klasik ia memilih ushul fiqh, sementara fenomenologi, Marxisme di samping hermeneutika itu sendiri dari tradisi intelektual Barat. Dan, dari tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik. Hermeneutika Al-Quran Hanafi sengaja memanfaatkan landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab, secara praktis ia melihat adanya keterkaitan erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi dan proses pembentukan hukum di sisi yang lain.
Mengingat adanya pembentukan hukum dalam hal ini, maka jelas ushul fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutik Hasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka.
            Maka dari itu, dalam hal ini Hasan Hanafi memperbincangkan beragam problematika teoritis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushul fiqh, seperti asbab abnuzhul, an nasikh wal mansukh, dan maslahah. Asbab annuzul dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nasikh wal mansukh mengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum.[13]
            Sebagai hermeneutika bertujuan praksis, Hasan Hanafi berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, dan sekaligus mengarahkan pada tema-tema sosial al-Quran. Dal hal ini, Hanafi menggariskan beberapa karakteristik hermeneutikanya sebagai berikut:
Pertama, harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (al-tafisr al-juzi). Artinya, ia menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Quran dan bukan keseluruhan teks Al-Quran. Tafsir tersebut mengarahkan kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jika yang dibutuhkan pembebasan bangsa dari kolonialisme, maka penafsiran dilakukan terhadap ayat-ayat perang, jihad, dan sebagaianya, ketimbang terhadap ayat-ayat lain.
            Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik. Ketiga, hermeneutik bersifat temporal (tafsir al-zamani). Maka penafsir disarankan agar memberikan gambaran tertentu atas apa yang diinginkan masyarakat. Keempat, berkarakter realistik (tafsir al-waqii). Yakni memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanya, krisis dan kesengsaraannya dan bukan tafsir yang tercerabut dari masyarakat. Kelima, hermeneutik Hanafi berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata. Karena, dalam hal ini wahyu memiliki tujuan terhadap kepentingan masyarakat.
Keenam, tafsir eksperimental. Ia adalah tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufasir yang bersifat eksistensial. Ketujuh, perhatian pada problem kontemporer. Bagi Hanafi, seorang mufasir tidak dapat memulai penafsirannya tanpa dimulai dengan perhatian atau penelitian tentang masalah kehidupan. Kedelapan, posisi sosial penafisr. Hal ini mufasir harus ditentukan posisi sosialnya ntuk mengenal corak penafsiran. Penafsiran adalah bagian dari struktur sosial.
 Menurutnya, studi tentang “kenabian” yaitu poblematika yang menyangkut probabilitas relasi integral antara manusia dengan Tuhan serta menyampaiakan risalahNya pada hakikatnya. Atau, diartikanya sebagai tugas manusia dalam menyampaikan risalah masa lampau. Sedangkan pada persoalan “kiamat”, yang meliputi hari kebangkitan, perhitungan pahala, dan siksa. Hanafi menganggap bahwa “kenabian” adalah diskursus masa lampau manusia, dan “kiamat” sebagai diskursus masa depan manusia.
Hanafi menyangkal penafsiran ulama-ulama klasik yang mengeksplorasikan “kiamat” sebagaia masa depan manusia dalam meta kematian. Dia menganggap krisis manusia yang sebenarnya itu di bumi, sebelum mati. Namun, para mufasir dahulu mengartikannya sebagai krisis di langit, sedangkan krisis sebenarnya pada saat ini di bumi.[14]  
4.      Tugas Penting Hasan Hanafi
Pada titik ini, rupanya Hasan Hanafi memiliki dua tugas penting yang telah menjadi proyek hermeneutikanya, yaitu: persoalan metode (teori penafsiran) dan filsafat tentang metode (mata teori tentang penafsiran). Secara metodis, Hanafi menawarkan sebuah cara baca baru terhadap teks (hermeneutika teks) Al-Quran dengan stressing point pada dimensi-dimensi liberasi dan emansipatoris dari Al-Quran. Sedangankan agenda matateoritiknya, Hanafi selalu menyuguhkan pelbagai diskripsi, kritik, bahkan bertindak sebagai dekonstruktor pada teori lama yang lazim diperbincangkan sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran klasik.[15]
            Maka, tidak heran jika Hanafi            dengan tegas mengoreksi status objektivitas dalam interpretasi sebagai gejala positivisme yang justru kerap menyembunyikan ideologi penafsir. Dan, hal penting inilah yang rupanya belum pernah ada koreksi dari para penfasir klasik. Pada intinya, yang menjadi acuan utama Hanafi dalam hermeneutikanya adalah bagaimana menyikapi teks untuk dapat diinterpretasikan dalam keadaan sosial. Atau dalam bahasa lain, bagaimana suatu teks itu dapat merjuk pada realitas.
            Dalam hermeneutikanya, Hanafi tidak saja memperbincangkan apa-apa saja yang terjadi dalam penafsiran Al-Quran, tetapi juga tanpa ragu-ragu menegaskan pentingnya penafsiran Al-Quran yang memiliki kepentingan jelas bagi kemanusiaan dan perubahan sosial. Oleh sebab itu, Hanafi hadir dengan hermeneutikanya untuk meletakkan Al-Quran sebagai bagian dari strategi kultural.
5.      Kesimpulan
Hasil analisis dari pemikiran Hanafi yang telah pemakalah kaji memberikan beberapa gambaran baru, khususnya pada teori hermeneutika yang selama ini menjadi diskursus studi penafsiran. Yang menjadi dominan dalam metode Hanafi adalah, dia menawarkan metode tafsir teoritis humanistik untuk dapat memberikan arti yang menyentuh dalam kehidupan manusia masa kini.
            Dalam pemikiran Hanafi, dia terlihat ingin menciptakan tafsir yang memiliki wacana empiris atau membumi dalam kehidupan manusia. Pada paradigma filosofis reformisnya terhadap Barat, Hanafi selain terlihat sebagai seorang pemikir, dia juga seorang rovolioner untuk memelihara budaya tradisi Islam agar tidak ikut tergerus oleh Barat.
            Memang pada dasarnya, dalam hermeneutikanya, Hanafi menegaskan agar dapat mengungkap makna yang dapat membela kalangan muslim yang selama ini sebagai kaum tertindas oleh Barat. Artinya, bukan selalu saja mengarah pada wacana klasik yang tidak memiliki pengaruh apa-apa untuk kehidupan masa kini. Melainkan, harus ada upaya penafosran yang memihak pada konteks kekinian. Misalkan, dalam musim perang ayat-ayat yang relvan ditafsirkan yang berhubungan dengan jihad. Maka, dia menawarkan adanya tafsir yang timbul dari kultural manusia, atau tafsir humanistik.
            Untuk itu, dia menjadikan ushul fiqh sebagai pijakan utamanya sebagai dasar meberikan gagasan hukum dalam Islam. Serta mengarahkan pandanganya secara temporal yang bersentuhan pada kondisi manusia saat ini. Mungkin inilah yang membuat Hanafi berbeda dengan filusuf muslim lainnya dalam pandangan hermeneutika. Waallahu alam.
             

Daftar Pustaka
Husaini, Adian dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
B. Saenog, Ilham, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I
Fazlurrahman, Neo Modernisme Islam, Mizan Media Bandung: 1998, cet I
Arkoun, M, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS 1994.

Mukadimah Prof. Amin Abdullahdalam buku Hermeneutika Pembebasan.

Hasan Hanafi, Islamologi 3, LKIS Yogjakarta: 2004, cet I.



[1] .  Adian Husaini, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
[2] . Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 8.
[3] . Fazlurrahman, Neo Modernisme Islam, Mizan Media Bandung: 1998, cet I hal 57.
[4] . M. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS 1994.
[5] . Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 10.
[6] . Ibid hal 11.
[7] .  Mukadimah Prof. Amin Abdullahdalam buku Hermeneutika Pembebasan.
[8] .  Fariz Pari dkk, Tradisi Islam, Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga: 2012, cet II hal 127.
[9] . Hasan Hanafi, Qadaya Mu’asira, 1: 177.
[10] . Fariz Pari dkk, Tradisi Islam, Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga: 2012, cet II hal 134.
[11] . ibid hal 136.
[12] . Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 99.
[13] . “Hasan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktikkan”, terj Saiful Muzani. Islamika, jilid 1 no 1, 1996
[14] . Hasan Hanafi, Islamologi 3, LKIS Yogjakarta: 2004, cet I hal 72
[15] . Mukadimah Prof. Amin Abdullahdalam buku Hermeneutika Pembebasan.
 
Top