Pendahuluan
Alhamdulillah,
puji syukur kami haturkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan
beberapa kenikmatan serta hidayahNya sehingga kita semua masih dalam
lindunganNya yang baik. Serta selawat dan salam kami ucapkan pada Nabi kita,
dengan penuh harapan syafaatnya mengiringi kita semua dalam hal apapun,
khususnya ketika belajar. Amin.
Sebagaimana yang terjadi dalam
kalangan muslim terhadap penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang
menawarkan sebagai salah satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan
polemik dari beberapa ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan
hilangnya sakralitas teks.
Pada kali ini, Hasan Hanafi yang
menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama kontemporer
Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya berpikirnya,
dia berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika
dilihat dari spektrum teoritis filosofisnya, watak pemikiran Hanafi memang kiri
dan revolusioner.
Hasan Hanafi yang dikenal sebagai
tokoh kiri (Al-Yasar Al-Islam) itu, mendasarkan diri pada dialektika
yang dikategorisasikan sebagai pemikir pemabaharu. Ini terlihat dalam upaya
Hanafi pada proyek Turats wa Tajdid. Dia menganggap bahwa turats
bukanlah teks klasik yang tidak bermakna. Sebaliknya, menurut Hanafi teks
klasik itu terdapat energei hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir,
perilaku, dll.
Upaya yang dilakukan Hanafi dalam
hal ini tidak lain ingin menghidupkan turats yang selama ini mengalami
kemandegan. Maka, dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar dapat
membaca teks, Al-Quran khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata, dapat menggali
objektivitas sosial dengan Al-Quran.
Metode yang Hanafi tawarkan dianggap
sangat menarik karena ada sisi yang lebih menyentuh dari beberapa metode yang
mucul belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang dapat memihak sebuah
kelompok. Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua mazhab, antara
Marxisme dan filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap secara retorik
yang bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin Al-Quran untuk
dasar kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural manusia.
Pada kali ini untuk memenuhi materi
perkuliahan Ushiuluddin V dalam mata kuliah Tafsir Kontemporer, pemakalah akan
melakukan kajian sederhana dengan referensi yang terbatas. Oleh karenanya,
pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman
dan dosen pengampu, Dr. Abdul Rauf MA. Besar harapan kami agar selanjutnya
menjadi lebih baik. Semoga.
Jakarta,
22, 2013.
Pengertian
Hermeneutika
Secara
harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika
dari bahasa Yunanin hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini
merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan
nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang
menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes
dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada
manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi
penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan
filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial
dan humaniora.
Peran Hermes dalam hal ini dianggap
sangat urgen, karena sebagai penyampai pesan-pesan suci dari Tuhan. Maka,
konsekuensinya jika penerjemahan itu salah, secara tidak langsung merombak
vitalitas kesakralan pesan Tuhan. Dan, jika keliru dalam hal interpretasi,
pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalamai disorientasi.
The New Encyclopedia Britannica
menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang
interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan
kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar
tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang
penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[1]
Sejauh ini, sebuah metode yang
dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan
interpretasi pada sebuah teks. Dan kali ini yang terdengar sangat menarik
berdasarakan dari pelbagai sumber adalah hermeneutik yang dipelopori Hasan
Hanafi.
1.
Hermeneutika
Hasan Hanafi
Dalam
hal ini, Hanafi memiliki pemikiran hermeneutik yang berbeda dengan lainnya.
Dengan dalih, demi mendapatkan pembacaan Al-Quran yang bertendensi objektivistik
dan menganggap kurang praktis sebagaimana yang telah dilakukan oleh para
pemikir Islam kontemporer, seperti Fazlur Rahman dan Arkoun, Hanafi
mengembangkan seperangkat metodologi tafsir sosial atas Al-Quran dengan
pendirian teoritis yang bisa dikatakan sangat berbeda dengan lainnya.
Metode seperti di atas dimaksudkan
Hanafi untuk mendapatkan penafsiran Al-Quran yang lebih dekat dengan problem
kemanusiaan, seperti kemiskinan, penindasan dan ketidak adilan. Maka dari itu,
Hasan Hanafi menawarkan sebuah hermeneutik Al-Quran yang bercorak sosial dan
eksistensial.[2]
Sebagaimana yang kita telah pelajari,
ada hal yang berbeda dengan metodologi yang pernah ditawarkan oleh para pemikir
sebelumnya, seperti yang disebutkan di atas. Misalkan metode yang ditawarkan
oleh Fazlur Rahman. Rahman hanya mengembangkan seperangkat metode tafsir dengan
menggunakan pendekatan historis dan sintetik anlitis untuk menemukan
universalitas pesan moral Al-Quran yang tidak jarang bersembunyi di balik
aturan-aturan legal spesifiknya.[3]
Sedangkan model pendekatan yang
diajukan Arkoun pada dasarnya dimunculkan sedapat mungkin syarat-syarat
teoritis bagi kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan
maksud-maksud pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan
pada tahap teks. Maka dari itu, Arkoun menyarankan bahwa perkembangan mutakhir
dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak dapat dikesampingkan dalam memahami
Al-Quran. Pada titik ini, dia menekankan pentingnya semiotika, linguistik
modern dan hemeneutika kontemporer.[4]
Selanjutnya, Hasan Hanafi sebenarnya
jauh-jauh hari telah mengintroduksi penggunaan hermeneutik sebagai metodologi
tafsir, meskipun pada awalnya dikaitkan dengan metodologi Ushul Fiqh.
Itu telah dilakukan oleh Hanafi sejak menulis disertasinya di Sorbone, kemudian
ditulis dalam banyak karyanya. Bahkan, dalam salah satu proyek peradaban “al-turats
wa al-tajdid”. Dalam buku itu, Hanafi telah menggandengkan sebuah metodologi
penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran.[5]
Hasan Hanafi menggunakan hermeneutik
dalam konteks tersebut sebagai bagian dari eksperimentasi metodologis untuk
melepaskan diri dari kemandegan teoritisasi ushul fiqh. Dan, ini sebagai
hal yang menonjol dari pemikiran Hanafi yang secara umum tendensi ideologisnya
yang sarat dengan maksud-maksud praksis. Tipikal pemikiran semacam ini sangat
berbeda dengan mayoritas umat Islam yang masih terkungkung tradisionalisme dan
ortodoksi. Seperti yang dikatakan oleh Chourry, “sementara sebagian umat Islam
adalah kanan atau fasis, Hanafi justru memilih posisi “kiri” dari Islam yang
progresif dan revolusioner”.[6]
Yang menjadi unik pada Hanafi, dia
pertama kali yang melakukan pendobrakan terhadap wacana Barat yang selama ini
dibuntuti para ulama Timur. Wacana oksidentalisme terhadap Barat yang
dilakukan oleh Hanafi, seakan-akan mengajak jihad kepada orang-orang muslim
untuk melawan Barat. Ini sudah melekat pada diri Hanafi muda semenjak ikut pada
pergerakan ikhwan di Mesir.[7]
2.
Realisasi
Hermeneutik Hasan Hanafi.
Gagasan
Hanafi tentang hermeneutika Al-Quran yang telah disusun dan diberi penafisran
ulang, kemudian diletakkan dalam sebuah konteks yang lebih luas dari pelbagai
studi yang ada, baik dalam studi penafsiran Al-Quran, klasik dan kontemporer,
maupun diskursus hermeneutika kontemporer.
Teks-teks Hanafi yang secara khusus
membiacarakan atau terkait langsung dengan hermeneutika Al-Quran dapat dilihat
dalam beberapa karyanya yang tersebar dalam dunia keilmuan. Selain disertasi
pertamanya mengenai metode penafsiran dalam hukum Islam (ushul fiqh),
juga dalam bukunya Qadaya Mu’asirah: fi fikrina Al-Muashir (1976) ada
tiga artikel yang membahas terkait hermeneutika Al-Quran. Masing-masing
artikelnya berjudul Hal Ladaina Nazariyyah Fi Al-Tafsir?, Ayyuhuma Asbaq:
Nazariyyah fi Al-Tafsir am Manhaj Fi Tahlil Al-Khabarat?, dan Aud ila
Al-Manba am Aud ila al-Tabiah?.
Kemudian, dengan munculnya Al-Din
wa Al-Tsaurah fi Mishr (1989) yang merupakan kumpulan ulasan
artikel-artikelnya yang menyinggung atas pandangannya terhadap hermeneutik,
seperti dalam artikel yang bertema Ulum Al-Quran, seperti Asbab
Al-Nuzul, Masalahah. Dan dalam karyanya tersebut, : Al-Yamin wa Al-Yasar
fi Fikr Ad-Dini, terdapat pandangan Hanafi mengenai Madza Ta’ni Asbab
An-Nuzul? Manahij Al-tafsir wa Masalih Al-Ummah, dan Ikhtilaf fi Al-tafsir am
ikhtilaf fi Al-Mashalih?.
Dan, karya Hanafi yang dapat
dikatakan terakhir mengenai hermeneutik Al-Quran yang telah rampung pada tahun
2000 adalah Al-Wahyu wa Al-Waqi’: Dirasah fi Asbab an-Nuzul. Tulisan
tersebut berisikan beberapa konsep Hanafi mengenai peran wahyu bagi kehidupan,
hubungannya dengan realitas, dan interpretasi yang sejalan dengan kehidupan.
Sebenarnya, teori-teori yang
dirumuskan oleh Hasan Hanafi merupakan proyek reformasi. Karena, ditujukan
sebagai proyek reformasi untuk melengkapi proses rekontruksi peradaban Islam pada
dua tahap yang lebih awal. Yaitu, penyikapan terhadap warisan klasik dan
penyikapan terhadap warisan Barat.[8]
Dan, dalam analisis yang lebih jauh,
Hasan Hanafi dalam teori penafsirannya mengatakan bahwa teoritis yang dilakukan
adalah sebuah teori yang menentukan relasi antara wahyu dan realita, antara
agama dan dunia, atau antara Allah dengan manusia. Maka dari itu, menurut
Hanafi, wahyu harus ditempatkan ulang sebagai sumber dan obyek pengetahuan.[9] Dalam
hal ini, Kiri Islam Hanafi mendukung terwujudnya pandangan dunia dalam
Al-Minthaq (manifestasi) Nasser, sebuah analisis yang layak karena Hanafi
sendiri yang menerjemahkan Al-Hizb Al-Tali’i (partai garda depan), yang
dibentuknya sebagai tulang punggung Islam Kirinya menjadi partai poletar.
Melihat teori penafsiran dengan kelogisan wahyu, berakibat Hanafi mencoba
merekonstruksi seluruh peradaban Islam, merujuk pada apa yang dikatakan Hans
Kung “peran Injil yang bebas”.
Pemikiran hanafi seperti itu muncul
untuk mendobrak pemikiran para ilmuwan muslim sebelumnya yang masih terbelenggu
dalam penafsiran yang ciut. Maka, dasar yang disarankan oleh Hanafi agar
menggunakan paradigma yang lebih luas ketika membaca Al-Quran. Hanafi menyeru
kepada pembaca Al-Quran supaya kembali pada alam. Seruan ini bukan berarti
bahwa dia menginginkan Al-Quran diganti dengan alam. Melainkan, alam sebagai
objek ketika membaca Al-Quran.[10]
3.
Elaborasi
Hanafi dalam Hermeneutika
Manurut
Hanafi, ada dua perbedaan terbesar yang substansial antara hermeneutika Barat
dengan Islam. Dalam hermeneutika Yunani dan Kristen Barat, tugas Rasul (Tuhan
Hermes/Christ) adalah menerjemahkan pesan Tuhan kepada umat manusia. Begitu
pula, dalam tradisi Islam, Malaikat Jibril (Roh Kudus) tidak mempunyai hak
untuk menerjemahkan wahyu teks Allah, karena dia hanya seorang mediator antara
dia dengan Nabi Muhammad Saw.
Menurut Hanafi,
dengan “kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi
menegaskan, “i authenticite de I information”, “depend de la neutralite de
la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi
Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam
menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Seperti kitab suci lainnya, Al-Quran adalah
sebuah teks kuno bagi pembacanya, dan oleh karena itu diperlukan permasalahan
psikologis (yakni, permasalahan menjembatani perbedaan budaya dan waktu antara
pengarang dengan pembacanya).
Dalam pendekatan fenomenologi Hanafi,
hermeneutika adalah ilmu yang menentukan relasi antara kesadaran dengan
obyeknya, yakni kitab suci.[11]
Hermeneutik Hasan hanafi dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi
dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang
ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis.[12]
Sebagai
sarjana yang matang dalam tradisi pemikiran Barat dan filsafat hukum Islam,
Hasan Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutika
Al-Quran. Ia membangun landasan hermenetis di atas empat pilar. Dari khazanah
klasik ia memilih ushul fiqh, sementara fenomenologi, Marxisme di
samping hermeneutika itu sendiri dari tradisi intelektual Barat. Dan, dari tradisi
ilmu-ilmu keislaman klasik. Hermeneutika Al-Quran Hanafi sengaja memanfaatkan
landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab, secara praktis ia
melihat adanya keterkaitan erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi dan
proses pembentukan hukum di sisi yang lain.
Mengingat adanya pembentukan hukum dalam hal ini, maka jelas ushul
fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutik Hasan Hanafi yang berbicara
tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai
persoalan kontemporer mereka.
Maka dari itu, dalam hal ini Hasan
Hanafi memperbincangkan beragam problematika teoritis yang berkenaan dengan masalah-masalah
sosial dalam ushul fiqh, seperti asbab abnuzhul, an nasikh wal
mansukh, dan maslahah. Asbab annuzul dimaksudkan oleh Hanafi
untuk menunjukkan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nasikh wal
mansukh mengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum.[13]
Sebagai hermeneutika bertujuan
praksis, Hasan Hanafi berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, dan
sekaligus mengarahkan pada tema-tema sosial al-Quran. Dal hal ini, Hanafi
menggariskan beberapa karakteristik hermeneutikanya sebagai berikut:
Pertama, harus mampu
menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (al-tafisr al-juzi). Artinya,
ia menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Quran dan bukan keseluruhan teks Al-Quran.
Tafsir tersebut mengarahkan kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jika yang
dibutuhkan pembebasan bangsa dari kolonialisme, maka penafsiran dilakukan
terhadap ayat-ayat perang, jihad, dan sebagaianya, ketimbang terhadap ayat-ayat
lain.
Kedua, tafsir semacam ini
disebut juga tafsir tematik. Ketiga, hermeneutik bersifat temporal (tafsir
al-zamani). Maka penafsir disarankan agar memberikan gambaran tertentu atas
apa yang diinginkan masyarakat. Keempat, berkarakter realistik (tafsir
al-waqii). Yakni memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan
dengan segala problematikanya, krisis dan kesengsaraannya dan bukan tafsir yang
tercerabut dari masyarakat. Kelima, hermeneutik Hanafi berorientasi pada
makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata.
Karena, dalam hal ini wahyu memiliki tujuan terhadap kepentingan masyarakat.
Keenam, tafsir
eksperimental. Ia adalah tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman
hidup mufasir yang bersifat eksistensial. Ketujuh, perhatian pada
problem kontemporer. Bagi Hanafi, seorang mufasir tidak dapat memulai
penafsirannya tanpa dimulai dengan perhatian atau penelitian tentang masalah
kehidupan. Kedelapan, posisi sosial penafisr. Hal ini mufasir harus
ditentukan posisi sosialnya ntuk mengenal corak penafsiran. Penafsiran adalah
bagian dari struktur sosial.
Menurutnya, studi tentang
“kenabian” yaitu poblematika yang menyangkut probabilitas relasi integral
antara manusia dengan Tuhan serta menyampaiakan risalahNya pada hakikatnya.
Atau, diartikanya sebagai tugas manusia dalam menyampaikan risalah masa lampau.
Sedangkan pada persoalan “kiamat”, yang meliputi hari kebangkitan, perhitungan
pahala, dan siksa. Hanafi menganggap bahwa “kenabian” adalah diskursus masa
lampau manusia, dan “kiamat” sebagai diskursus masa depan manusia.
Hanafi menyangkal penafsiran ulama-ulama klasik yang
mengeksplorasikan “kiamat” sebagaia masa depan manusia dalam meta kematian. Dia
menganggap krisis manusia yang sebenarnya itu di bumi, sebelum mati. Namun,
para mufasir dahulu mengartikannya sebagai krisis di langit, sedangkan krisis
sebenarnya pada saat ini di bumi.[14]
4.
Tugas
Penting Hasan Hanafi
Pada
titik ini, rupanya Hasan Hanafi memiliki dua tugas penting yang telah menjadi
proyek hermeneutikanya, yaitu: persoalan metode (teori penafsiran) dan filsafat
tentang metode (mata teori tentang penafsiran). Secara metodis, Hanafi menawarkan
sebuah cara baca baru terhadap teks (hermeneutika teks) Al-Quran dengan stressing
point pada dimensi-dimensi liberasi dan emansipatoris dari Al-Quran.
Sedangankan agenda matateoritiknya, Hanafi selalu menyuguhkan pelbagai
diskripsi, kritik, bahkan bertindak sebagai dekonstruktor pada teori lama yang
lazim diperbincangkan sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran klasik.[15]
Maka, tidak heran jika Hanafi dengan tegas mengoreksi status
objektivitas dalam interpretasi sebagai gejala positivisme yang justru kerap
menyembunyikan ideologi penafsir. Dan, hal penting inilah yang rupanya belum
pernah ada koreksi dari para penfasir klasik. Pada intinya, yang menjadi acuan
utama Hanafi dalam hermeneutikanya adalah bagaimana menyikapi teks untuk dapat
diinterpretasikan dalam keadaan sosial. Atau dalam bahasa lain, bagaimana suatu
teks itu dapat merjuk pada realitas.
Dalam hermeneutikanya, Hanafi tidak
saja memperbincangkan apa-apa saja yang terjadi dalam penafsiran Al-Quran,
tetapi juga tanpa ragu-ragu menegaskan pentingnya penafsiran Al-Quran yang
memiliki kepentingan jelas bagi kemanusiaan dan perubahan sosial. Oleh sebab
itu, Hanafi hadir dengan hermeneutikanya untuk meletakkan Al-Quran sebagai
bagian dari strategi kultural.
5.
Kesimpulan
Hasil
analisis dari pemikiran Hanafi yang telah pemakalah kaji memberikan beberapa
gambaran baru, khususnya pada teori hermeneutika yang selama ini menjadi
diskursus studi penafsiran. Yang menjadi dominan dalam metode Hanafi adalah,
dia menawarkan metode tafsir teoritis humanistik untuk dapat memberikan arti
yang menyentuh dalam kehidupan manusia masa kini.
Dalam pemikiran Hanafi, dia terlihat
ingin menciptakan tafsir yang memiliki wacana empiris atau membumi dalam
kehidupan manusia. Pada paradigma filosofis reformisnya terhadap Barat, Hanafi
selain terlihat sebagai seorang pemikir, dia juga seorang rovolioner untuk
memelihara budaya tradisi Islam agar tidak ikut tergerus oleh Barat.
Memang pada dasarnya, dalam
hermeneutikanya, Hanafi menegaskan agar dapat mengungkap makna yang dapat
membela kalangan muslim yang selama ini sebagai kaum tertindas oleh Barat.
Artinya, bukan selalu saja mengarah pada wacana klasik yang tidak memiliki
pengaruh apa-apa untuk kehidupan masa kini. Melainkan, harus ada upaya
penafosran yang memihak pada konteks kekinian. Misalkan, dalam musim perang
ayat-ayat yang relvan ditafsirkan yang berhubungan dengan jihad. Maka, dia
menawarkan adanya tafsir yang timbul dari kultural manusia, atau tafsir
humanistik.
Untuk itu, dia menjadikan ushul
fiqh sebagai pijakan utamanya sebagai dasar meberikan gagasan hukum dalam
Islam. Serta mengarahkan pandanganya secara temporal yang bersentuhan pada
kondisi manusia saat ini. Mungkin inilah yang membuat Hanafi berbeda dengan
filusuf muslim lainnya dalam pandangan hermeneutika. Waallahu alam.
Daftar
Pustaka
Husaini,
Adian dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta:
Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
B.
Saenog, Ilham, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I
Fazlurrahman,
Neo Modernisme Islam, Mizan Media Bandung: 1998, cet I
Arkoun, M, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat.
Jakarta: INIS 1994.
Mukadimah Prof. Amin Abdullahdalam buku Hermeneutika Pembebasan.
Hasan Hanafi, Islamologi 3, LKIS Yogjakarta: 2004, cet I.
[1] . Adian Husaini, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman,
Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
[2] .
Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 8.
[3] . Fazlurrahman,
Neo Modernisme Islam, Mizan Media Bandung: 1998, cet I hal 57.
[4] . M.
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS
1994.
[5] . Ilham
B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 10.
[9] .
Hasan Hanafi, Qadaya Mu’asira, 1: 177.
[10] .
Fariz Pari dkk, Tradisi Islam, Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga: 2012, cet
II hal 134.
[11] .
ibid hal 136.
[12] .
Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 99.
[13] .
“Hasan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktikkan”, terj Saiful Muzani.
Islamika, jilid 1 no 1, 1996
[14] . Hasan
Hanafi, Islamologi 3, LKIS Yogjakarta: 2004, cet I hal 72
[15] .
Mukadimah Prof. Amin Abdullahdalam buku Hermeneutika Pembebasan.