Makalah Tafsir Kontemporer Dengan Tema “Hermeneutika”

Dosen Pengampu

Dr. Abdul Rauf MA





Pemakalah:
Khoirul Anwar


Fakultas Ushuludin Tafsir Hadis Semster V
Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta
2013/2014





Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita haturkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan petunjuk serta kesehatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Dan, selawat serta salam kami berikan kepada Nabi kita, Muhammad saw.  Kita sangat mengharapkan syafaatnya sebagai pengiring kami dalam melakukan segala hal apapun. Semoga.
            Sebagaimana yang kita ketahui dewasa ini, terkait pemahaman sebuah teks/penafsiran yang tidak bisa lepas dari analogi dan asumsi. Pelbagai metode muncul sebagai kekayaan khazanah penafsiran, di antaranya adalah hermeneutik. Metode penafsiran tersebut sangat ramai belakangan ini karena dianggap sebagai hal baru. Sehingga mengundang beberapa kontradiktif dalam kalangan mufasir.
            Namun, kali ini pemakalah tidak akan menukik pada pembahasan tentang tokoh-tokoh kontemporer yang terlibat dalam pro dan kontra terhadap hermeneutik. Melainkan, mencoba memahami hermeneutik secara artifisial dan fungsional dalam penafsiran. Sebagaimana yang pernah dilakukan seorang teolog dan sejarawan modernis Italia pada tahun 1890-1968, Emillo Betty.
            Betty muncul dalam ranah hermeneutik akibat melakukan debat terbuka dengan tokoh-tokoh filosof , seperti Gadamer, Bultman dan Ebeling. Dia mengusung bagaimana menempatkan pemahaman manusia secara obyektif dengan menyediakan teori umum penafsiran. Dengan mengantisipasi adanya penafsiran yang didasarkan pada asumsi bahwa otonomi objek interpretasi dan mungkinnya objektivitas historis dalam membuat suatu interpretasi yang valid.
Begitu juga yang dilakukan oleh Plato yang bisa masuk dalam sebutan metode hermeneutik belakangan ini. Plato memilih sebutan techne hermeneias, dan aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks.
Namun, secara harfiah Hermeneutika diartikan sebagai satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gamblang.
            Maka dari itu, hemeneutika yang bisa dipahami sebagai sebuah metode penafsiran muncul untuk menjawab problematika tersebut. Serta sangat urgen mengetahuinya sebagai khazanah pembelajaran Ushuluudin tafsir Hadis. Pada kesempatan kali ini, kami menuliskan makalah dengan referensi yang terbatas untuk mengeksplorasikan terkait “hermeneutika”. Dan terimakasih kami ucapkan kepada Dr. Abdul Rouf MA, sebagai pengampu makalah ini. Terimakasih.

Jakarta, 2 November 2013.

Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunanin hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[1]
Selain itu, hermeneutika hanya sebagai seni “memahami”, bukan “presentasi pemahaman” sebagaimana yang dipahami ilmuwan. Seni memahami ini hanya akan menjadi bagian khsusus dari seni berbicara dan menulis, yang hanya bergantung pada prinsip-prinsip umum.
Dalam terma-terma etimologi yang masyhur, hermeneutik dianggap sebagai sebuah nama yang belum tetap dalam bentuk ilmiah. Karena masih mencakup beberapa indikasi, diantaranya: seni mempresentasikan pemikiran seseorang dengan benar, seni menyambungkan ucapan seseorang kepada orang ketiga, dan seni memahami ungkapan orang lain dengan benar. Sedangkan konsep ilmiah merujuk pada yang ketiga sebagai mediator antara yang pertama dan kedua.[2]
Namun, hermeneutika juga tidak hanya memahami bagian-bagian sulit dalam bahasa asing. Karena, hermeneutika secara langsung menganjurkan untuk akrab dengan objek dan bahasa tersebut agar dengan mudah dapat memahami objeknya. Jika terkadang mengalami kesulitan dalam pemahaman, itu karena tidak memahami bagian-bagian bahasa yang lebih mudah.[3] 
B.     Perkembangan Hermeneutika
Bermula dari pemahaman manusia terhadap benda-benda yang ada di sekitar. Manusia hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan. Dan, keinginan mereka dalam memahami itu sangat terbatas, karena pengalaman manusia tidak banyak.
            Misalkan, seseorang mampu memahami individu lainnya hanya dengan mengamati tanda-tanda, wicara, dan tingkah laku hanya berdasarkan indera. Kemudian muncul tantangan agar mampu mengkomparasikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dengan berbagai hal. Diantaranya, materi, struktur, dan tanda yang nampak. Dan proses telaah tanda-tanda tersebut dinamakan sebagai “pemahaman” atau verstehen/understanding.
            Pemahaman memang banyak derajatnya, sesuai dengan kepentingan masing-masing. Jika kepentingannya terbatas, maka pemahaman juga terbatas. Kita tidak akan sabar mendengar uraian panjang lebar, jika kita sebetulnya hanya ingin satu hal yang praktis, dan tidak mempunyai kepentingan untuk mengetahui lebih jauh tentang sang pembicara dan apa yang dibicarakan.
            Tetapi, mungkin pada kesempatan lain kita berkepentingan untuk mengetahui seluruh riwayat kehidupan pembicara tadi. Maka dari itu, perlu diingat seluruh perhatian kita terhadap pembicara tadi akan melahirkan proses sistematis dimana kondisi obyektif bisa diraih.
            Pemahaman yang sistematis yang tercatat disebut tafsir atau interpretasi. Dan, tafsir inilah yang memungkinkan orang-orang mampu memberi makna terhadap seni dan lukisan yang merupakan bahan baku. Menanggapi hal itu, F.A Wolf menyebutnya hermeneutik dan kritik arkeologis. F.G. Welcker (cendikiawan Jerman, 1784-1869) mempromosikan teori ini.[4]
             Hermeneutika merupakan seni penafsiran yang terus berkembang, dan bertahan dalam diri seorang filolog. Biasanya seni ini diwariskan melalui hubungan pribadi antara penafsir karya besar. Dengan perkembangan seni ini melahirkan rumus-rumus, dan konflik atar rumus pun terjadi. Jika dilihat dalam konteks ini, para ilmuan sepakat bahwa hermeneutika adalah metodologi tafsir atas catatan-catatan.[5]
            Metode penafsiran seperti ini sudah ada sejak zaman pencerahan Eropa. Aristoteles pernah melakukan dalam karyanya “Rhetorica ad Alexandrum”. Dalam karya itu, Aristoteles  mengklasifikasikan dan menganalisa secara utuh melalui bagian-bagiannya, mengenal bentuk sastranya dengan cara mengenali watak dan tujuan dari puisi itu yang tertuang dalam bentuk luar dan bentuk dalam.[6]
C.     Hermeneutik dan Problem Penafsiran Teks
             Problematika mendasar dalam mengkaji hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba diselesaikan adalah berbagai persoalan teks dalam kaitannya dengan tradisi, di satu sisi, dan dengan pengarang di sisi lain. Tapi hal yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi penafsir dengan teks.
Hal ini adalah aspek yang paling banyak dilupakan dalam berbagai studi sastra, sejak era Plato hingga masa modern. Sebenarnya Hermeneutik adalah istilah yang telah ada sejak dahulu, dan pertama kali digunakan oleh berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan-aturan standar yang harus diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘’kitab suci”.
Dalam pengertian tersebut, hermeneutik menjadi berbeda dengan tafsir (bahasa inggris: biasa disebut exegesis). Exegesis sendiri adalah tafsir dengan berbagai rinciannya yang praktis, maka hermeneutik lebih cenderung pada teori penafsirannya. Pengertian hermeneutik seperti ini muncul sejak tahun 1654 M, dan terus berlanjut hingga saat ini, terutama di kalangan Protestanisme.[7]
              Pada masa modern, pengertian hermeneutik banyak mengalami perluasan dan pergeseran sedemikian rupa dan mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, esterika, kritik sastra dan folklori (cerita rakyat). Dengan banyaknya perluasan dan pengertian akhirnya kita agak sulit memahami hermeneutik itu sendiri, namun untuk mengembangkan dan lebih mudah dipahami perlu untuk menguasai ilmu-ilmu dasar hermenutik dan perlu menerima berbagai langkah umum yang sesuai dengan teori penafsiran teks sastra.
Dengan demikian, hermeneutik merupakan problem klasik sekaligus juga modern. Sebenarnya problem ini terfokus pada relasi antara penafsir dengan teks, hal ini tidak hanya menjadi problem khusus dalam pemikiran barat, tetapi juga menjadi problem yang mengakar dalam tradisi Arab, baik klasik maupun modern. Yang harus selalu disadari dalam berinteraksi dengan berbagai aspek pemikiran Barat adalah bahwa sesungguhnya kita sedang dialog dialektis.
Pemikir Jerman, Scheleirmer (1813) adalah seorang yang merepresentasikan hermeneutik klasik. Dia dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam merubah hermeneutik dari bentuk penyajiannya yang teologis menjadi ilmu atau seni bagi proses dengan berbagai kriteria dalam memahami teks. Dalam hal ini, scheleirmacher berusaha menghindari interpretasi final agar hermeneutik tidak menjadi subordinat ilmu tertentu. Dengan demikian, hermenutik dapat menjadi ilmu mandiri yang mendasari proses pemaknaan sekaligus proses penafsiran.
                 Hermeneutik scheleirmacher berdasarkan pada asumsi bahwa teks merupakan sarana kebahasaan yang dapat mentransfer isi pikiran seorang pengarang kepada pembaca. Oleh karena itu, dari sisi kebahasaan scheleirmacher merujuk kepada bahasa secara utuh. Sedangkan dari sisi psikologis, scheleirmacher merujuk kepada subjektif seorang pengarang. Namun seiring berjalannya waktu, lambat laun sebuah teks menjadi sulit dipahami, karena itu kita sering keliru memahaminya atau bahkan tidak mampu untuk memahaminya.
Dari gambaran dua pendekatan teks diatas, maka scheleirmacher menetapkan kaidah-kaidah tentang pemahaman  (qawaid al-fahm). Untuk mencapai makna teks seorang penafsir hendaknya menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan linguistic dan pendekatan psikologis yang memiliki kemampuan dalam memahami karakter manusia.
           
D.    Hermeneutika Dalam Tradisi Islam
Praktek metode dan penafsiran sebenarnya oleh setiap umat yang memiliki teks yang dipandang memiliki arti dalam menata kehidupan masyarakat, baik teks tersebut teks suci/sakral maupun teks profan. Teks tersebut kemudian menjadi obyek penafsiran mereka dalam rangka menyerap nilai-nilai yang ada di dalamnya dan mereaktualisasikannya pada kehidupan masyarakat di mana teks itu ditafsirkan.
            Dalam hal ini kita dapat melihat beberapa pemikiran ilmuan Islam yang dapat kita kategorikan telah masuk pada hermeneutika. Di antaranya adalah, Syihab Al-Din Mahmud Al-Alusi, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Qutaibah dan Amin Al-Khuli.
            Terkait klasifikasi tersebut, kita dapat melihat Al-Alusi dalam menafsirkan Al-Quran. Secara tegas, dalm mukadimah Tafsir Ruh Al-Maani dia telah mencoba merincikan hakikat tafsir dan ta’wil, hal-hal yang dibutuhkan oleh mufasir, dan bentuk-bentuk penafsiran serta perdebatan tentang Al-Quran sebagai kalam ilahi.[8]
            Dalam hal tafsir dan ta’wil, Al-Alusi mengatakan, “Ta’wil merupakan sinyal suci, pengetahuan ketuhanan yang tersingkap dari pernyataan orang-orang yang berjalan menuju Allah (salikin) dan mengalir dari awan kegaiban kepada hati mereka yang makrifat. Sedangkan tafsir hanya dimiliki orang-orang yang punya kemampuan untuk menangkap makna lahir teks Al-Quran.[9]
            Begitu juga Ibnu Arabi yang sama memiliki penekanan seperti pendapat Al-Alusi. Dalam hal ta’wil, dia mengkonsepkan ilmu dalam tiga bagian: 1. ilmu al-uqul(ilmu akal), yaitu ilmu yang dihasilkan dari penalaran dan penelitian, 2. Ilmu al-ahwal(ilmu keadaan) atau ilmu al-dzauq (ilmu rasa), yaitu ilmu yang dihasilkan dari perasaan yang mendalam, 3. ilmu asrar (ilmu rahasia), yaitu ilmu tentang rahasia-rahasia ilahi yang dipancarkan dari Allah kepada hamba-hamba yang memiliki kedekatan spiritual denganNya.
            Pembagian dan stratifikasi ilmu tersebut memiliki relevansi dalam penafsiran. Penafsir yang memiliki ilmu rasa dan ilmu rahasia mempunyai kamampuan untuk menyerap makna batin dari teks Al-Quran. Menurut Ibnu Arabi, generasi klasik yang memiliki ilmu tersebut adalah, Ibnu Abbas dan Al-Ridla, cucu Ali bin Abi Thalib.[10]
            Pandangan di atas tidak jauh beda dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Dia menegaskan bahwa penafsiran Al-Quran bisa semakin mendalam hanya dengan cara memberikan metode ta’wil. Menurutnya, ta’wil adalahmengeluarkan makna lafaz majazi dari makna hakiki tanpa merusak aturan-aturan majaz dalam Al-Quran.
            Terkait dengan ta’wil, Al-Ghazali juga memiliki pandangan terhadap hal-hal teoritis dan abstrak. Dalam bukunya jawahir Al-Quran, Ghazali membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua bagian, yaitu eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (bathiniyah) yang digunakan untuk menangkap makna Al-Quran.[11]
            Sama halnya dengan metode Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Mutasyabih Al-Quran yang menerapkan konsep ta’wil terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang musykil, bahkan dia juga menerapkan untuk menafsirkan bibel. Misalkan dalam ayat faummuhu hawiyah, (QS Al-Qariah:9) dita’wilkan dengan mengatakan; “ibu(umm) adalah orang yang merawat, mengasuh dan mendidik anaknya. Menurutnya, neraka juga merupakan “ibu” bagi orang kafir.
            Kemudian metode penafsiran juga diterapkan oleh pemikir modern, Amin Alkhuli. Dia berusaha melakukan reformasi dalam bidang ilmu sastra, bahasa Arab dan tafsir Al-Quran. Metode yang dipakai muncul dari sebuah pertanyaan, bagaimana seharusnya menafsirkan Al-Quran untuk masa modern?.
            Selanjutnya, dia menawarkan bahwa menafsirkan A-Quran seharusnya melibatkan dirasat ma fi al-nashsh (studi apa yang ada dalam teks) dan dirasat ma hawla al-nashsh (studi apa yang ada di sekitar teks). Meskipun bukan hal baru, namun Al-Khuli menekankan kalau studi terhadap dua metode tersebut harus seimbang dan beriringan.[12]
E.     Metode Pemahaman (understanding method)
Seiring berkembangnya keilmuan ada berbagai perbandingan Hermeneutika. Metode pemahaman terhadap teks itu terlihat semakin berkembang. Kemudian muncul beberapa analogi permisif yang mengacu pada kajain teks, yang belakangan disebut pula dengan kajian lingustik dan semiotik.
            Semiotik adalah untuk memahami tanda-tanda yang berserakan di sekitar manusia. Para pelopor terori ini, Ferdinand De Saussure, Roland Berthes menekankan bahwa tanda memiliki fundamental dengan bahasa. Bahasa merupakan alat ekspresi dan komunikasi manusia. Manusia dapat menjelaskan ide-ide, konsep dan bahkan sesuatu yang dinamakan tanda dengan perantara bahasa.
            Saussure menyatakan bahwa linguistik hanyalah salah satu bagian dari ilmu yang sangat luas, Semiologi. Semiotik bisa dikatakan sangat berhutang pada linguistik, sebab tanda tidak akan berarti bila meniadakan bahasa. Maka, semiotikus tidak akan bisa mengerjakan aktiftas yang berbau linguistik dengan mengapkirkan metode linguistik.
            Menurut Eli Blanchard, keduanya memiliki tendensi objektif metodologis yang berbeda. Linguistik lebih mengarah pada sinkronis bahasa atau langue daripada diakronis. Sedangkan, semiotik lebih mengarah pada diakronis bahasa dan parole.
            Setelah sesuatu diidentifikasi sebagai tanda, mungkin selanjutnya kita akan bertanya apa maksud atau makna terselubung di balik tanda tersebut. Disinilah orang akan tergugah untuk memahami tanda dengan berbagai interpretasi. Untuk itu, disadari atau tidak, kita telah masuk pada ranah hermeneutika.
            Hermeneutika menurut Palmer dianggap sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Atau secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya untuk memahami dan menafsirkan. Atau istilah lain suatu metode untuk mencari sebuah pemahaman yang lebih kompleks dan mendalam.
            Dari sudut pandang semiotika, apapun yang kita jumpai di sekeliling kita dalam teks yang dapat dibaca dan ditafsirkan. Teks dalam konteks ini senada dengan ayat Al-Quran dalam bahasa Arab yang berarti tanda. Sebagai contoh: peristiwa “kebakaran” yang berasosiasi  secara paradigmatis dengan api, asap, pemadam kebakaran, kerugian materi, dll. Jadi, kehadiran tanda/teks “kebakaran” bisa dijadikan batu pijakan untuk menafsirkan dan menelusuri teks-teks/tanda-tanda lain sebagai sebuah sistem.
            Secara tidak langsung, tanda yang satu menjelaskan tanda/teks dan menyebabkan lahirnya tanda/teks-teks lain. Dan pada taraf inilah hermeneutik menunjukkan perannya sebagai media penafsir pada fenomena “kebakaran” dalam contoh di atas. Melihat peristiwa demikian, sudah bisa disinkronkan fungsi hermeneutik sebagai sebuah “metode”.
            Proses pemahaman, penafsiran atau penerjemahan (proses hermeneutik) sebagai sebuah teks selalu melibatkan tiga subyek: dunia pengarang (the word of author), dunia teks (the word of teks), dan dunia pembaca (the word of audience). Persoalan hermeneutik akan bertambah rumit ketika jarak waktu, tempat dan budaya antara pembaca, pengarang dan teks terpaut amat jauh. Sehingga tidak heran jika kita dihadapkan pada teks-teks yang lahir pada abad yang lalu, seolah-olah terasing atau dalam bahasa Marx, teralienasi.[13]    
             
Kesimpulan
Dalam memahami hermeneutik pokok intinya adalah bahwa itu timbul dari berkembangnya pemahaman terhadap sesuatu, baik teks maupun benda mati. Sebagaimana respon dari F.A Wolf menyebut suatu pemahaman tersebut sebagai hermeneutik dan kritik arkeologis. F.G. Welcker (cendikiawan Jerman, 1784-1869).
            Hermeneutik adalah istilah yang telah ada sejak dahulu, dan pertama kali digunakan oleh berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan-aturan standar yang harus diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘’kitab suci”.
            Namun, tidak semerta merta hermeneutik hanya untuk memahami kitab suci, melainkan memahami benda atau peristiwa. Sebagai contoh fenomena “kebakaran” yang berasosiasi  secara paradigmatis dengan api, asap, pemadam kebakaran, kerugian materi, dll. Jadi, kehadiran tanda/teks “kebakaran” bisa dijadikan batu pijakan untuk menafsirkan dan menelusuri teks-teks/tanda-tanda lain sebagai sebuah sistem.
            Yang perlu diketahui dalam proses penerapan hermeneutik adalah Proses pemahaman, penafsiran atau penerjemahan (proses hermeneutik) sebagai sebuah teks selalu melibatkan tiga subyek: dunia pengarang (the word of author), dunia teks (the word of teks), dan dunia pembaca (the word of audience).














Daftar Pustaka:
Pendekatan Strukturalisme Linguistik, Ahmad zaki mubarok, penerbit eLSAQ Press, Yogjakarta. Cet I 2007.
Pemikiran Hermeneutika dalam Islam, Lembaga Penelitian UIN Sunan Kali Jaga Yogjakarta cet I 2011.
Husaini, Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I,
Abu Zayd Nashr Hamid, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, (Bandung: RQIS, Mei 2003)

Syihabuddin ibnu Abdullah Al-Hasini Al-Alusi, Ruuh Al-Maani Fi Al-Tafsir Al-Quran Al-Adhim wa Sab’u Almatsani, hal 1, Maktabah Syamilah.


[1] . Husaini, Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
[2] . Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I, hal 3-4.
[3] . Ibid
[4] . Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I, hal 47-49.

[5] . ibid.
[6] . Ibid hal 50.
[7] . Richard E palmer,Hermeneutics, Northwestren University press Evansiston, 1969, (1) h. 34.

[8] . Syihabuddin ibnu Abdullah Al-Hasini Al-Alusi, Ruuh Al-Maani Fi Al-Tafsir Al-Quran Al-Adhim wa Sab’u Almatsani, hal 1, Maktabah Syamilah.
[9]. Pemikiran Hermeneutika dalam Islam, Lembaga Penelitian UIN Sunan Kali Jaga Yogjakarta, hal 3, cet I: 2011.
[10] . Ibid, hal 80-84.
[11] . Ibid, hal 117.
[12] . Ibid, hal 120.
[13] . Pendekatan Strukturalisme Linguistik, Ahmad zaki mubarok, penerbit eLSAQ Press, Yogjakarta, hal 101-103, Cet I 2007.

 
Top