Makalah Tafsir
Kontemporer Dengan Tema “Hermeneutika”
Dosen Pengampu
Dr.
Abdul Rauf MA
Pemakalah:
Khoirul Anwar
Fakultas
Ushuludin Tafsir Hadis Semster V
Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta
2013/2014
Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita
haturkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan petunjuk serta kesehatan untuk
dapat menyelesaikan makalah ini. Dan, selawat serta salam kami berikan kepada
Nabi kita, Muhammad saw. Kita sangat
mengharapkan syafaatnya sebagai pengiring kami dalam melakukan segala hal
apapun. Semoga.
Sebagaimana
yang kita ketahui dewasa ini, terkait pemahaman sebuah teks/penafsiran yang
tidak bisa lepas dari analogi dan asumsi. Pelbagai metode muncul sebagai
kekayaan khazanah penafsiran, di antaranya adalah hermeneutik. Metode
penafsiran tersebut sangat ramai belakangan ini karena dianggap sebagai hal
baru. Sehingga mengundang beberapa kontradiktif dalam kalangan mufasir.
Namun,
kali ini pemakalah tidak akan menukik pada pembahasan tentang tokoh-tokoh
kontemporer yang terlibat dalam pro dan kontra terhadap hermeneutik. Melainkan,
mencoba memahami hermeneutik secara artifisial dan fungsional dalam penafsiran.
Sebagaimana yang pernah dilakukan seorang teolog dan sejarawan modernis Italia
pada tahun 1890-1968, Emillo Betty.
Betty
muncul dalam ranah hermeneutik akibat melakukan debat terbuka dengan
tokoh-tokoh filosof , seperti Gadamer, Bultman dan Ebeling. Dia mengusung
bagaimana menempatkan pemahaman manusia secara obyektif dengan menyediakan
teori umum penafsiran. Dengan mengantisipasi adanya penafsiran yang didasarkan pada
asumsi bahwa otonomi objek interpretasi dan mungkinnya objektivitas historis
dalam membuat suatu interpretasi yang valid.
Begitu juga yang dilakukan oleh Plato yang bisa
masuk dalam sebutan metode hermeneutik belakangan ini. Plato memilih sebutan techne hermeneias, dan aristoteles menyebut “peri
hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya
sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak
jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk
mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks.
Namun,
secara harfiah Hermeneutika diartikan sebagai satu disiplin yang berkepentingan
dengan upaya memahami makna atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran.
Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks
belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi
sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang,
jelas, dan gamblang.
Maka dari itu, hemeneutika yang bisa
dipahami sebagai sebuah metode penafsiran muncul untuk menjawab problematika
tersebut. Serta sangat urgen mengetahuinya sebagai khazanah pembelajaran
Ushuluudin tafsir Hadis. Pada kesempatan kali ini, kami menuliskan makalah
dengan referensi yang terbatas untuk mengeksplorasikan terkait “hermeneutika”.
Dan terimakasih kami ucapkan kepada Dr. Abdul Rouf MA, sebagai pengampu makalah
ini. Terimakasih.
Jakarta, 2
November 2013.
Secara
harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika
dari bahasa Yunanin hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini
merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan
nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang
menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes
dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada
manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi
penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan
filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial
dan humaniora.
The New Encyclopedia Britannica
menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang
interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan
kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar
tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang
penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[1]
Selain itu, hermeneutika hanya sebagai seni “memahami”, bukan
“presentasi pemahaman” sebagaimana yang dipahami ilmuwan. Seni memahami ini
hanya akan menjadi bagian khsusus dari seni berbicara dan menulis, yang hanya
bergantung pada prinsip-prinsip umum.
Dalam terma-terma etimologi yang masyhur, hermeneutik dianggap
sebagai sebuah nama yang belum tetap dalam bentuk ilmiah. Karena masih mencakup
beberapa indikasi, diantaranya: seni mempresentasikan pemikiran seseorang
dengan benar, seni menyambungkan ucapan seseorang kepada orang ketiga, dan seni
memahami ungkapan orang lain dengan benar. Sedangkan konsep ilmiah merujuk pada
yang ketiga sebagai mediator antara yang pertama dan kedua.[2]
Namun, hermeneutika juga tidak hanya memahami bagian-bagian sulit
dalam bahasa asing. Karena, hermeneutika secara langsung menganjurkan untuk
akrab dengan objek dan bahasa tersebut agar dengan mudah dapat memahami
objeknya. Jika terkadang mengalami kesulitan dalam pemahaman, itu karena tidak
memahami bagian-bagian bahasa yang lebih mudah.[3]
B.
Perkembangan
Hermeneutika
Bermula
dari pemahaman manusia terhadap benda-benda yang ada di sekitar. Manusia hanya
bisa memahami sesuatu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan.
Dan, keinginan mereka dalam memahami itu sangat terbatas, karena pengalaman
manusia tidak banyak.
Misalkan, seseorang mampu memahami
individu lainnya hanya dengan mengamati tanda-tanda, wicara, dan tingkah laku
hanya berdasarkan indera. Kemudian muncul tantangan agar mampu mengkomparasikan
pengalaman-pengalaman mereka sendiri dengan berbagai hal. Diantaranya, materi,
struktur, dan tanda yang nampak. Dan proses telaah tanda-tanda tersebut
dinamakan sebagai “pemahaman” atau verstehen/understanding.
Pemahaman memang banyak derajatnya,
sesuai dengan kepentingan masing-masing. Jika kepentingannya terbatas, maka
pemahaman juga terbatas. Kita tidak akan sabar mendengar uraian panjang lebar,
jika kita sebetulnya hanya ingin satu hal yang praktis, dan tidak mempunyai
kepentingan untuk mengetahui lebih jauh tentang sang pembicara dan apa yang
dibicarakan.
Tetapi, mungkin pada kesempatan lain
kita berkepentingan untuk mengetahui seluruh riwayat kehidupan pembicara tadi.
Maka dari itu, perlu diingat seluruh perhatian kita terhadap pembicara tadi
akan melahirkan proses sistematis dimana kondisi obyektif bisa diraih.
Pemahaman yang sistematis yang
tercatat disebut tafsir atau interpretasi. Dan, tafsir inilah yang memungkinkan
orang-orang mampu memberi makna terhadap seni dan lukisan yang merupakan bahan
baku. Menanggapi hal itu, F.A Wolf menyebutnya hermeneutik dan kritik
arkeologis. F.G. Welcker (cendikiawan Jerman, 1784-1869) mempromosikan teori
ini.[4]
Hermeneutika merupakan seni penafsiran yang
terus berkembang, dan bertahan dalam diri seorang filolog. Biasanya seni ini
diwariskan melalui hubungan pribadi antara penafsir karya besar. Dengan
perkembangan seni ini melahirkan rumus-rumus, dan konflik atar rumus pun
terjadi. Jika dilihat dalam konteks ini, para ilmuan sepakat bahwa hermeneutika
adalah metodologi tafsir atas catatan-catatan.[5]
Metode penafsiran seperti ini sudah
ada sejak zaman pencerahan Eropa. Aristoteles pernah melakukan dalam karyanya “Rhetorica
ad Alexandrum”. Dalam karya itu, Aristoteles mengklasifikasikan dan menganalisa secara utuh
melalui bagian-bagiannya, mengenal bentuk sastranya dengan cara mengenali watak
dan tujuan dari puisi itu yang tertuang dalam bentuk luar dan bentuk dalam.[6]
C. Hermeneutik dan Problem Penafsiran Teks
Problematika
mendasar dalam mengkaji hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks
historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan
dicoba diselesaikan adalah berbagai persoalan teks dalam kaitannya dengan
tradisi, di satu sisi, dan dengan pengarang di sisi lain. Tapi hal yang
terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak
mengacaukan relasi penafsir dengan teks.
Hal ini
adalah aspek yang paling banyak dilupakan dalam berbagai studi sastra, sejak
era Plato hingga masa modern. Sebenarnya Hermeneutik adalah istilah yang telah
ada sejak dahulu, dan pertama kali digunakan oleh berbagai kelompok studi
teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan-aturan standar yang harus
diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan atau yang
lebih dikenal dengan sebutan ‘’kitab suci”.
Dalam
pengertian tersebut, hermeneutik menjadi berbeda dengan tafsir (bahasa
inggris: biasa disebut exegesis). Exegesis sendiri adalah
tafsir dengan berbagai rinciannya yang praktis, maka hermeneutik lebih
cenderung pada teori penafsirannya. Pengertian hermeneutik seperti ini muncul
sejak tahun 1654 M, dan terus berlanjut hingga saat ini, terutama di kalangan Protestanisme.[7]
Pada
masa modern, pengertian hermeneutik banyak mengalami perluasan dan pergeseran
sedemikian rupa dan mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah,
sosiologi, antropologi, esterika, kritik sastra dan folklori (cerita
rakyat). Dengan banyaknya perluasan dan pengertian akhirnya kita agak sulit
memahami hermeneutik itu sendiri, namun untuk mengembangkan dan lebih mudah dipahami
perlu untuk menguasai ilmu-ilmu dasar hermenutik dan perlu menerima berbagai
langkah umum yang sesuai dengan teori penafsiran teks sastra.
Dengan demikian,
hermeneutik merupakan problem klasik sekaligus juga modern. Sebenarnya problem
ini terfokus pada relasi antara penafsir dengan teks, hal ini tidak hanya
menjadi problem khusus dalam pemikiran barat, tetapi juga menjadi problem yang
mengakar dalam tradisi Arab, baik klasik maupun modern. Yang harus selalu
disadari dalam berinteraksi dengan berbagai aspek pemikiran Barat adalah bahwa
sesungguhnya kita sedang dialog dialektis.
Pemikir
Jerman, Scheleirmer (1813) adalah seorang yang merepresentasikan hermeneutik
klasik. Dia dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam merubah hermeneutik dari
bentuk penyajiannya yang teologis menjadi ilmu atau seni bagi proses dengan
berbagai kriteria dalam memahami teks. Dalam hal ini, scheleirmacher berusaha
menghindari interpretasi final agar hermeneutik tidak menjadi subordinat ilmu
tertentu. Dengan demikian, hermenutik dapat menjadi ilmu mandiri yang mendasari
proses pemaknaan sekaligus proses penafsiran.
Hermeneutik
scheleirmacher berdasarkan pada asumsi bahwa teks merupakan sarana kebahasaan
yang dapat mentransfer isi pikiran seorang pengarang kepada pembaca. Oleh
karena itu, dari sisi kebahasaan scheleirmacher merujuk kepada bahasa secara
utuh. Sedangkan dari sisi psikologis, scheleirmacher merujuk kepada subjektif
seorang pengarang. Namun seiring berjalannya waktu, lambat laun sebuah teks
menjadi sulit dipahami, karena itu kita sering keliru memahaminya atau bahkan
tidak mampu untuk memahaminya.
Dari
gambaran dua pendekatan teks diatas, maka scheleirmacher menetapkan
kaidah-kaidah tentang pemahaman (qawaid al-fahm). Untuk
mencapai makna teks seorang penafsir hendaknya menggunakan dua pendekatan,
yakni pendekatan linguistic dan pendekatan psikologis yang memiliki kemampuan
dalam memahami karakter manusia.
D.
Hermeneutika
Dalam Tradisi Islam
Praktek
metode dan penafsiran sebenarnya oleh setiap umat yang memiliki teks yang
dipandang memiliki arti dalam menata kehidupan masyarakat, baik teks tersebut
teks suci/sakral maupun teks profan. Teks tersebut kemudian menjadi obyek
penafsiran mereka dalam rangka menyerap nilai-nilai yang ada di dalamnya dan
mereaktualisasikannya pada kehidupan masyarakat di mana teks itu ditafsirkan.
Dalam hal ini kita dapat melihat beberapa
pemikiran ilmuan Islam yang dapat kita kategorikan telah masuk pada
hermeneutika. Di antaranya adalah, Syihab Al-Din Mahmud Al-Alusi, Ibnu Arabi,
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Qutaibah dan Amin Al-Khuli.
Terkait klasifikasi tersebut, kita
dapat melihat Al-Alusi dalam menafsirkan Al-Quran. Secara tegas, dalm mukadimah
Tafsir Ruh Al-Maani dia telah mencoba merincikan hakikat tafsir dan
ta’wil, hal-hal yang dibutuhkan oleh mufasir, dan bentuk-bentuk penafsiran
serta perdebatan tentang Al-Quran sebagai kalam ilahi.[8]
Dalam hal tafsir dan ta’wil,
Al-Alusi mengatakan, “Ta’wil merupakan sinyal suci, pengetahuan ketuhanan yang
tersingkap dari pernyataan orang-orang yang berjalan menuju Allah (salikin)
dan mengalir dari awan kegaiban kepada hati mereka yang makrifat. Sedangkan
tafsir hanya dimiliki orang-orang yang punya kemampuan untuk menangkap makna
lahir teks Al-Quran.[9]
Begitu juga Ibnu Arabi yang sama
memiliki penekanan seperti pendapat Al-Alusi. Dalam hal ta’wil, dia
mengkonsepkan ilmu dalam tiga bagian: 1. ilmu al-uqul(ilmu akal), yaitu
ilmu yang dihasilkan dari penalaran dan penelitian, 2. Ilmu al-ahwal(ilmu
keadaan) atau ilmu al-dzauq (ilmu rasa), yaitu ilmu yang dihasilkan dari
perasaan yang mendalam, 3. ilmu asrar (ilmu rahasia), yaitu ilmu tentang
rahasia-rahasia ilahi yang dipancarkan dari Allah kepada hamba-hamba yang
memiliki kedekatan spiritual denganNya.
Pembagian dan stratifikasi ilmu
tersebut memiliki relevansi dalam penafsiran. Penafsir yang memiliki ilmu rasa
dan ilmu rahasia mempunyai kamampuan untuk menyerap makna batin dari teks
Al-Quran. Menurut Ibnu Arabi, generasi klasik yang memiliki ilmu tersebut
adalah, Ibnu Abbas dan Al-Ridla, cucu Ali bin Abi Thalib.[10]
Pandangan di atas tidak jauh beda
dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Dia menegaskan bahwa penafsiran Al-Quran bisa
semakin mendalam hanya dengan cara memberikan metode ta’wil. Menurutnya,
ta’wil adalahmengeluarkan makna lafaz majazi dari makna hakiki tanpa
merusak aturan-aturan majaz dalam Al-Quran.
Terkait dengan ta’wil,
Al-Ghazali juga memiliki pandangan terhadap hal-hal teoritis dan abstrak. Dalam
bukunya jawahir Al-Quran, Ghazali membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua bagian,
yaitu eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (bathiniyah) yang digunakan untuk menangkap
makna Al-Quran.[11]
Sama halnya dengan metode Ibnu
Qutaibah dalam kitabnya Mutasyabih Al-Quran yang menerapkan konsep ta’wil
terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang musykil, bahkan dia juga menerapkan
untuk menafsirkan bibel. Misalkan dalam ayat faummuhu hawiyah, (QS
Al-Qariah:9) dita’wilkan dengan mengatakan; “ibu(umm) adalah orang yang
merawat, mengasuh dan mendidik anaknya. Menurutnya, neraka juga merupakan “ibu”
bagi orang kafir.
Kemudian metode penafsiran juga
diterapkan oleh pemikir modern, Amin Alkhuli. Dia berusaha melakukan reformasi
dalam bidang ilmu sastra, bahasa Arab dan tafsir Al-Quran. Metode yang dipakai
muncul dari sebuah pertanyaan, bagaimana seharusnya menafsirkan Al-Quran untuk
masa modern?.
Selanjutnya, dia menawarkan bahwa
menafsirkan A-Quran seharusnya melibatkan dirasat ma fi al-nashsh (studi
apa yang ada dalam teks) dan dirasat ma hawla al-nashsh (studi apa yang
ada di sekitar teks). Meskipun bukan hal baru, namun Al-Khuli menekankan kalau
studi terhadap dua metode tersebut harus seimbang dan beriringan.[12]
E.
Metode
Pemahaman (understanding method)
Seiring
berkembangnya keilmuan ada berbagai perbandingan Hermeneutika. Metode pemahaman
terhadap teks itu terlihat semakin berkembang. Kemudian muncul beberapa analogi
permisif yang mengacu pada kajain teks, yang belakangan disebut pula dengan
kajian lingustik dan semiotik.
Semiotik adalah untuk memahami tanda-tanda
yang berserakan di sekitar manusia. Para pelopor terori ini, Ferdinand De
Saussure, Roland Berthes menekankan bahwa tanda memiliki fundamental dengan
bahasa. Bahasa merupakan alat ekspresi dan komunikasi manusia. Manusia dapat
menjelaskan ide-ide, konsep dan bahkan sesuatu yang dinamakan tanda dengan
perantara bahasa.
Saussure menyatakan bahwa linguistik
hanyalah salah satu bagian dari ilmu yang sangat luas, Semiologi. Semiotik bisa
dikatakan sangat berhutang pada linguistik, sebab tanda tidak akan berarti bila
meniadakan bahasa. Maka, semiotikus tidak akan bisa mengerjakan aktiftas yang
berbau linguistik dengan mengapkirkan metode linguistik.
Menurut Eli Blanchard, keduanya
memiliki tendensi objektif metodologis yang berbeda. Linguistik lebih mengarah
pada sinkronis bahasa atau langue daripada diakronis. Sedangkan,
semiotik lebih mengarah pada diakronis bahasa dan parole.
Setelah sesuatu diidentifikasi
sebagai tanda, mungkin selanjutnya kita akan bertanya apa maksud atau makna
terselubung di balik tanda tersebut. Disinilah orang akan tergugah untuk
memahami tanda dengan berbagai interpretasi. Untuk itu, disadari atau tidak,
kita telah masuk pada ranah hermeneutika.
Hermeneutika menurut Palmer dianggap
sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Atau secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya untuk memahami dan
menafsirkan. Atau istilah lain suatu metode untuk mencari sebuah pemahaman yang
lebih kompleks dan mendalam.
Dari sudut pandang semiotika, apapun
yang kita jumpai di sekeliling kita dalam teks yang dapat dibaca dan
ditafsirkan. Teks dalam konteks ini senada dengan ayat Al-Quran dalam bahasa
Arab yang berarti tanda. Sebagai contoh: peristiwa “kebakaran” yang
berasosiasi secara paradigmatis dengan
api, asap, pemadam kebakaran, kerugian materi, dll. Jadi, kehadiran tanda/teks
“kebakaran” bisa dijadikan batu pijakan untuk menafsirkan dan menelusuri
teks-teks/tanda-tanda lain sebagai sebuah sistem.
Secara tidak langsung, tanda yang
satu menjelaskan tanda/teks dan menyebabkan lahirnya tanda/teks-teks lain. Dan
pada taraf inilah hermeneutik menunjukkan perannya sebagai media penafsir pada
fenomena “kebakaran” dalam contoh di atas. Melihat peristiwa demikian, sudah
bisa disinkronkan fungsi hermeneutik sebagai sebuah “metode”.
Proses pemahaman, penafsiran atau
penerjemahan (proses hermeneutik) sebagai sebuah teks selalu melibatkan tiga subyek:
dunia pengarang (the word of author), dunia teks (the word of teks), dan
dunia pembaca (the word of audience). Persoalan hermeneutik akan
bertambah rumit ketika jarak waktu, tempat dan budaya antara pembaca, pengarang
dan teks terpaut amat jauh. Sehingga tidak heran jika kita dihadapkan pada
teks-teks yang lahir pada abad yang lalu, seolah-olah terasing atau dalam
bahasa Marx, teralienasi.[13]
Kesimpulan
Dalam
memahami hermeneutik pokok intinya adalah bahwa itu timbul dari berkembangnya pemahaman
terhadap sesuatu, baik teks maupun benda mati. Sebagaimana respon dari F.A Wolf
menyebut suatu pemahaman tersebut sebagai hermeneutik dan kritik arkeologis.
F.G. Welcker (cendikiawan Jerman, 1784-1869).
Hermeneutik
adalah istilah yang telah ada sejak dahulu, dan pertama kali digunakan oleh
berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan
aturan-aturan standar yang harus diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat
memahami teks keagamaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘’kitab suci”.
Namun, tidak semerta merta
hermeneutik hanya untuk memahami kitab suci, melainkan memahami benda atau
peristiwa. Sebagai contoh fenomena “kebakaran”
yang berasosiasi secara paradigmatis
dengan api, asap, pemadam kebakaran, kerugian materi, dll. Jadi, kehadiran
tanda/teks “kebakaran” bisa dijadikan batu pijakan untuk menafsirkan dan
menelusuri teks-teks/tanda-tanda lain sebagai sebuah sistem.
Yang perlu diketahui dalam proses
penerapan hermeneutik adalah Proses pemahaman, penafsiran atau penerjemahan
(proses hermeneutik) sebagai sebuah teks selalu melibatkan tiga subyek: dunia
pengarang (the word of author), dunia teks (the word of teks), dan
dunia pembaca (the word of audience).
Daftar
Pustaka:
Pendekatan
Strukturalisme Linguistik, Ahmad zaki mubarok, penerbit eLSAQ Press,
Yogjakarta. Cet I 2007.
Pemikiran
Hermeneutika dalam Islam, Lembaga Penelitian UIN Sunan Kali Jaga Yogjakarta cet
I 2011.
Husaini,
Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta:
Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
Pemikiran
Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan
Kalijaga Yogjakarta, cet I,
Abu Zayd
Nashr Hamid, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, (Bandung: RQIS, Mei
2003)
Syihabuddin ibnu Abdullah Al-Hasini Al-Alusi, Ruuh Al-Maani Fi Al-Tafsir Al-Quran Al-Adhim wa Sab’u Almatsani, hal 1, Maktabah Syamilah.
[1] .
Husaini, Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran,
Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
[2] . Pemikiran
Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan
Kalijaga Yogjakarta, cet I, hal 3-4.
[3] .
Ibid
[4] .
Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti
UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I, hal 47-49.
[5] .
ibid.
[6] .
Ibid hal 50.
[7] . Richard
E palmer,Hermeneutics, Northwestren University press Evansiston, 1969, (1) h.
34.
[8] . Syihabuddin
ibnu Abdullah Al-Hasini Al-Alusi, Ruuh Al-Maani Fi Al-Tafsir Al-Quran
Al-Adhim wa Sab’u Almatsani, hal 1, Maktabah Syamilah.
[9].
Pemikiran Hermeneutika dalam Islam, Lembaga Penelitian UIN Sunan Kali Jaga
Yogjakarta, hal 3, cet I: 2011.
[10] .
Ibid, hal 80-84.
[11] .
Ibid, hal 117.
[12] .
Ibid, hal 120.
[13]
. Pendekatan Strukturalisme Linguistik, Ahmad zaki mubarok, penerbit
eLSAQ Press, Yogjakarta, hal 101-103, Cet I 2007.