Refleksi Undang-undang pemerintahan yang didalihkan sebagai Syariat Islam sangat senada dengan sumber-sumber Islam pada priode awal. Kemudian diadopsi dengan landasan yang pantas digunakan hanya demikian. Upaya representatif demikian itu bukan unsur kecerobahan fanatisme semata, melainkan sebagai pembelaan untuk melestarikan syiar Islam.
            Dalam muammalah, melebar jinayah merupakan bagian dari statemen penting untuk mengatur wilayah populasi umat. Ditinjau dari segi historis, Islam datang hanya membawa satu misi, untuk menyempurnakan akhlak. Yang lahir di tengah-tengah suatu bangsa yang sangat carut marut akhlaknya.
            Bangsa Arab dulu sangat kental dengan radikalisme, anarkisme, paganisme dan banyak tuhan. Nabi sebagai rasul diutus untuk meluruskan hal itu. Sehingga apapun yang terjadi disekitar Nabi tidak luput dari tradisi sekitarnya. Tetapi yang menjadi catatan dalam misioner Nabi tidak ada perintah larangan terhadap budaya Jahiliyah secara serentak melainkan berangsur dan sesuai petunjuk Tuhan. Jadi, apapun yang direvisi Nabi tidak lepas jauh-jauh dari tradisi sebelumnya.
            Berbicara tentang hukum Islam juga harus mengacu pula pada titik sejarah. Bukan hanya menerima secara teks kemudian dipaksa berkontekstualisasi. Di Indonesia sebagai negara yang berbeda secara kultur dan juga historis. Maka tidak bisa disamakan dengan negara Arab yang dahulu terlalu biasa dengan kekerasan, pembunuhan, dan perbudakan.
Meskipun dalam kaca mata tradisi, tetapi unsur diskriminasi suku dan pembagian kelas sangat tidak manusiawi. Sampai sekarang pun, belum pernah ada darah petani yang berkuasa. Dampak sistem pemerintahan monarki. Jadi, selamanya dalam prespektif hukum sangat sulit untuk sinkron dengan hukum yang berada dalam negara yang memiliki sistem demokrasi.
            Namun, Aceh sebagai wilayah Indonesia yang diberikan hak istimewa sebagai wilayah otonom secara terang-terangan mengadopsi hukum syariat Islam sebagaimana di Arab. Secara Yuridis, MPR RI tidak bungkam dengan badan otonomi daerah terkait pembentukan hukum sendiri.
Tetapi faktanya, penggodokan hukum atau qanun Aceh tetap berjalan dan saat ini telah diketok palu sebagai simbol pengesahan. Akibatnya, qonun Aceh membuat warna baru dalam negeri berasas Pancasila ini. Seperti Qanun Provinsi Aceh No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan syiar Islam, Qanun Provinsi Aceh No.12 tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Provinsi Aceh No. 13 tentang Maisir dan Qanun Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat. Salah satu bentuk hukuman yang disebutkan di dalam setiap qanun tersebut, yakni hukuman cambuk.
Secara universal, Qonun yang telah diatur di Aceh berdasarkan pada syariat Islam. Dalam Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, mengakui adanya peradilan Syariat Islam sebagai bagian sistem peradilan nasional yang diberlakukan oleh Mahkamah Syariah.
Dengan dalih, karena Aceh memiliki bukti sejarah yang kuat dengan adanya penduduk yang telah mengamalkan ajaran Syariat Islam sejak zaman kerajaan. Dan sejak penjajahan Belanda pun, Syariat Islam masih bergelora di Aceh. Tetapi, dalam konteks Indonesia perlu adanya verifikasi lebih cermat, apakah relevan atau tidak, dengan menimbang Indonesia yang multikultur ini?.
Hukuman Cambuk, Milik Siapa?
Demi membela ke-tatawilayahan yang selaras dan menjunjung tinggi kemakmuran bersama, maka apapun tindakan yang harus ditempuh bukan menjadi demarkasi yang menakutkan bagi suatu wilayah yang ingin menegakkan keadilan. Seperti hukum tembak mati koruptor di China, karena tidak ada jalan lain untuk menghakimi pelaku sehingga paling adil harus dengan menghilangkan nyawa.
            Studi hukuman cambuk, dalam kitab muwatta’ Imam Malik menceritakan bahwa Rasul pernah didatangi oleh seorang laki-laki yang mengaku zina. Lalu Nabi menyuruh laki-laki itu untuk mengambilkan cambuk. Setelah datang, tetapi Nabi menolaknya dan menyuruh mengambilkan cambuk yang lain. Nabi menolak hingga tiga kali. Smapai cambuk yang terakhir Nabi kemudian menyuruh untuk memberi cambukan pada laki-laki tersebut.
Dan beliau mengatakan, “Umatku, telah jelas pada kalian tentang hudud Allah. Tetapi, siapa saja yang merasakan hal yang sama, sebaiknya menyembunyikannya karena Allah. Lain halnya jika dia membukakan padaku, maka akan aku lakukan sesuai perintahNya.”
Hal yang sama juga pernah terjadi pada orang Yahudi yang mengambil pemahaman dari taurat kalau hukuman bagi pezina adalah ditelanjangi kemudian dilempari batu. Kamudian Nabi Muhammad meluruskan pemahaman kedua Yahudi tersebut. Dan menyuruh melakukan rajam bagi penzina.
            Masalah rajam juga dapat dilihat dalam Taurat Ulangan 22 ayat 22-24. Yaitu, 22. Apabila seorang kedapatan tidur seorang tidur dengan seorang orang yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Irael.
            23. Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan- jika seorang laki-laki bertemu di kota dan tidur dengan dia. 24. Maka haruslah mereka  keduanya kamu bawa keluar pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati.           
Jika demikian, maka hukum rajam, cambuk, jilid, dll, yang diterapkan oleh Islam hanya mengadopsi hukum-hukum Jahiliyah, tetapi masih tetap terpelihara sampai sekarang ini. Namun, wajar saja ketetapan seperti itu masih eksis. Karena dimobilisasi oleh kekuasaan pemerintahan yang sejalan dengan konsep hukum yang sangat kejam itu. Atau dalam konteks Aceh ada misi sendiri yang diformulasikan oleh pihak yang pernah memiliki Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Wallahu alam.


 
Top