Maraknya kekerasan yang terjadi pada anak memberikan citra buruk terhadap keamanan dan perlindungan anak yang diemban oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena pemerintah yang diwakili Komnas PA selama ini telah dilegitimasi sebagai pihak berwajib untuk melindungi kehidupan serta perkembangan anak. Kasus paling baru di JIS (Jakarta International School) menoreh catatan merah dalam data Komnas PA.
Ada pelajaran baru dari kasus itu
yang dapat dijadikan sarana untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya pendidikan efektif pada anak. Tujuannya, untuk memberikan pondasi
kecerdasan anak lebih dini dan terhindar dari tindak kekerasan seksual. Dalam
upaya ini, pemerintah memiliki tugas lebih urgen dibanding orangtua anak itu
sendiri. Meskipun pemerintah tidak sebagai aktor pengasuh yang setiap harinya
harus bertatapan muka.
Yang dibutuhkan hanya strategi
manajemen ideal sebagai upaya preventif untuk meningkatkan mutu pendidikan
anak. Seperti memberikan pendidikan seks pada anak. Dan pada ruang ini tidak boleh
luput dari keamanan yang tersistem. Pasalnya, justru jaminan keamanan yang
seharusnya menjadi perhatian utama oleh pihak pemegang wewenang, yaitu
Kemedikbud dan Komnas PA.
Berdasarkan laporan ECPAT (End Child
Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual
Purposes) mencatat lebih dari 365 korban kekerasan seksual di Bali. Pada umumnya
pelaku pedofil menyelundup sebagai wisatawan. Dan masih banyak lagi kasus-kasus
kekerasan seksual pada anak yang terjadi di sekolahan maupun panti asuhan.
Keamanan anak masih jauh dari
terjamin. Dan pendidikan tidak berkontribusi pada anak. karena, pendidikan akan
memiliki fungsi efektif jika ada perhatian terhadap peningkatan mutu pendidik
serta menciptakan tempat yang terjamin, baik dari segi keamanan maupun
pelajaran. Sehingga tercipta sebuah lingkungan yang benar-benar layak untuk
dijadikan pengembangan pola pikir anak.
Jadi, dalam konteks ini anak memang memiliki status istimewa karena
tergolong rakyat lemah. Dan jaminan pemerintah terhadap anak harus riil. Yang
dibutuhkan masyarakat hanyalah perhatian pemerintah dalam memberikan ruang
khusus untuk anak.
Hak
Istimewa
UU No 23 tahun 2002 Pasal 3 dikatakan bahwa
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera.
UU yang sama mendukung
juga berbunyi pada pasal 13. Secara
subtantif yang mendasari kedua pasal tersebut sebagaiamana dalam UUD 45 Pasal 31 yang berbunyi: (1) Tiap-tiap warga
negara berhak mendapat pengajaran. (2) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan
undang-undang. Dan, Pasal 34 yang berbunyi bahwa fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Tidak hanya itu, keamanan anak juga diatur dalam ratifikasi keppres
36/1990. Serta pemerintah menambah peraturan Konvensi Hak Anak tentang
Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak melalui UU No 10/2012. Kedua
Konvensi international itu memandatkan Indonesia untuk segera melakukan
langkah-langkah pencegahan, perlindungan dan pemulihan serta rehabilitasi
terhadap anak-anak dari berbagai eksploitasi seksual anak.
UU perlindungan anak sebagaimana UU No 23/2002 yang intinya
memberikan arah terhadapa penyelenggaraan perlindungan anak serta memberikan
kriminalisasi terhadap pelaku kejahatan anak. Namun, selama ini negara tidak
memberikan jaminan dan membela hak-hak anak. sehingga anak-anak rawan menjadi
korban predator. UU ini juga sudah tidak sejalan lagi dengan ratifikasi
tambahan UU No 11/2012. Bahkan jauh
belum selaras dengan mandat pasal 28 B UUD 45 hasil amandemen keempat.
Berdasarkan data kasus yang dipantau
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak pada tahun 2013 lalu, diketahui
kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 1.620 kasus.
Dengan rincian kekerasan fisik 490 kasus (30 persen), psikis 313 kasus (19 persen) dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus (51 persen). Artinya setiap bulan hampir 70-80 anak menerima kekerasan seksual. Dan setiap tahunnya mengalami kenaikan.
Dengan rincian kekerasan fisik 490 kasus (30 persen), psikis 313 kasus (19 persen) dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus (51 persen). Artinya setiap bulan hampir 70-80 anak menerima kekerasan seksual. Dan setiap tahunnya mengalami kenaikan.
Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di
lingkungan terdekat anak. Yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan
lingkungan sosial anak.
Sedangkan untuk pelakunya hampir sama. Tidak lain adalah orang-orang yang harusnya melindungi anak seperti orangtua, paman, guru, orangtua angkat ataupun tiri.
Sedangkan untuk pelakunya hampir sama. Tidak lain adalah orang-orang yang harusnya melindungi anak seperti orangtua, paman, guru, orangtua angkat ataupun tiri.
Menurut Pusdatin juga terdapat berbagai macam latar belakang kasus
kekerasan seksual tersebut. Diantaranya karena pengaruh media pornografi
sebanyak 81 kasus (8 persen), terangsang dengan korban 178 kasus (17 persen),
hasrat tersalurkan sebanyak 298 kasus (29 persen). Sedangkan kasus fisik berlatar belakang
kenakalan anak 80 kasus (8 persen), dendam atau emosi 147 kasus (14 persen),
ekonomi 62 kasus (6 persen), persoalan keluarga 50 kasus (5persen).
Kasus di JIS merupakan wacana
aktual. Anak yang diajadikan korban bak makhluk yang tak berdaya. Dikerumuni
pelaku kemudian dijadikan pelampiasan hasrat bejat mereka. Ini bukti dipandang
lemahnya anak-anak sehingga mudah dijadikan mangsa. Untuk itu, salah satu
solusi pemerintah untuk menindaki kasus tersebut harus tegas memberikan sanksi
bagi siapa saja pelaku kasus kekerasan pada anak. Dan sama-sama dengan
masyarakat membangun kesadaran, menjaga dan melindungi anak. Agar tercipta masa
depan anak yang terbebas dari unsur kekerasan apapun. Waallahu alam.