Belum redam kasus kekerasan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa
seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, karena dianiaya
oleh senioritas, tidak lama disusul kasus kekerasan sama yang dilakukan anak SD
yang menewaskan Renggo Kadafi, siswa kelas V SDN Makasar, Jaktim. Kini disusul
lagi dengan kasus yang menewaskan Jihan Salsabila (10), siswi kelas III SDN
Muara Enim, Sumatera Selatan.
Dampak kejadian tragis ini membuat para psikolog ikut berspekulasi
terkait penyebab anak didik sampai dominan melakukan kecerobohan yang
mematikan. Menurut psikolog, Novita Tandry, apa yang dilakukan anak SD tadi
termasuk bullying. Menurutnya, bullying adalah satu bentuk dari
perilaku agresi dengan kekuatan dominan yang dilakukan secara berulang-ulang
dengan tujuan mengganggu anak lain atau korban yang lebih lemah darinya. Bentuk
kekerasan tersebut tak harus fisik, tapi juga bisa psikologis, seperti
mengancam, mengintimidasi, atau menghina secara berulang dan terus-menerus.
Perlakuan lumprah
yang seringkali dilakukan oleh anak sekolah. Ini merupakan akibat karena mereka
tidak asing lagi disuguhi hal-hal yang berbau kekerasan. Biasanya tindakan
berbau kekerasan itu dilakukan ketika siswa mendapat pembinanan pada masa
pembimbingan mental pelajar, yaitu awal masuk sekolah. Perlakuan seperti itu
berlanjut turun temurun sampai dijadikan ajang pembalasan atas nasib senior
yang dulu ketika baru masuk sekolah juga mengalami tindak kekerasan.
Sampai sekarang, kekerasan
terhadap pelajar yang terselubung itu belum dianggap menistakan pendidikan.
Ironisnya, dengan alih-alih penggemblengan mental, kekerasan menjadi identitas
pada sekolah-sekolah yang akan mencetak siswanya terjun di dunia militer, atau
setidaknya membentuk siswa untuk memiliki jiwa militansi.
Tragedi kematian akibat OSPEK yang
menewaskan Fikri mahasiswa baru (Maba) di ITN Malang pada 2013
belum luput dari ingatan. Insiden buruk tersebut jelas menambah panjang daftar
korban OSPEK setelah Zaki mahasiswa ITB, Wahyu Hidayat IPDN 2003, Cliff Mutu
IPDN 2007. Hal ini menjadi argumen kuat untuk menyibak adanya kekerasan yang
tertabir oleh pendidikan.
Mengerikan lagi, kronologi kasus di ITN Malang, Jawa timur pada
2013 lalu, tindak kekerasan tersebut dilakukan ketika sedang menggelar Kemah
Bakti Desa (KBD) sebagai masa pembekalan mahasiswa baru. Mahasiswa baru laki-laki disuruh berhubungan
seperti suami istri dengan para mahasiswi baru. Selain itu, peserta ospek juga
diberi singkong yang bentuknya seperti alat kelamin dan diminta untuk alat
oral. Tindakan bejat yang dilakukan oleh senior tersebut juga ditambah lagi
dengan pengakuan 114 mahasiswa baru, membeberkan bahwa mereka hanya diberi satu
botol mineral untuk diminum oleh banyak mahasiswa baru, (Kompas 9/12/2013).
Dehumanisasi
Kekerasan sebagai tindakan tak manusiawi sering menjadi identitas
pendidikan. Akibatnya, masyarakat akan berartikulasi bahwa pendidikan dengan
mudah menghanyutkan pelajar dalam kubangan kekerasan saja. Maka upaya untuk
menampik prespektif demikian, dibutuhkan statemen bahwa “kekerasan yang selama
ini akrab dengan pendidikan harus segera dihilangkan.”
Karena, “baju besar pelajar” tidak mumpuni
dijadikan tameng mencegah kekerasan. Sebab itu, berbicara tentang fondasi
akademis pelajar, kecerdasan intelektual tidak bisa dijadikan tolok ukur dalam
menjajaki penyebab tawuran atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelajar.
Sebagai contoh tawuran yang melibatkan dua Universitas terkenal di Jakarta dan kasus
tawuran di UNM (Universitas Negeri Makasar) cukup dapat dijadikan pertimbangan
dalam pernyataan demikian.
Diakui atau tidak, bahwa dehumanisasi dalam
praktik pendidikan selama ini masih terpelihara. Dan pihak berwajib yang
bersangkutan langsung dalam suatu pendidikan tertentu seringkali tidak
menghiraukan adanya hal tersebut, sehingga mengakibatkan pelajar mereka
terseret dalam arus tindakan anarkis. Untuk itu, guru seharusnya menjadi
prioritas utama untuk menjauhkan bentuk kekerasan apapun dari murid.
Sehingga sense identy tidak
lagi menjadi tradisi pelajar, yang menganggap belum pantas menjadi siswa senior
atau siswa sejati jika tidak terlibat dalam aksi kekerasan yang biasanya
terjadi antar sekolah, bahkan antar kelas. Motif tersebut tidak jauh beda
dengan latar belakang kekerasan yang dilakukan anak SD. Jadi, pelajar sudah
semestinya perlu mengenal adanya realitas diri manusia dan dirinya sendiri
dengan dasar humanis (memanusiakan manusia).
Paulo Freire, seorang tokoh
pendidikan asal Brazil mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi kepada
pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak
cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya.
Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan
kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu
keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, dan yang obyektif.
Jadi,
dalam praktik pendidikan harus melibatkan kesadaran dari kinerja guru dan
murid. Selanjutnya, guru berhak mengenalkan realitas pada murid dengan
pandangan subyektif. Sehingga murid mampu mencerna antara perilaku baik dan
buruk. Inti dari pernyataan Freire tadi adalah guru dan murid sebagai subyek yang
sadar (cognitive), sementara yang realitas adalah obyek yang tersadari
atau disadari (cognizable), dan keduanya harus berdialektis. Hal seperti
ini yang belum penulis temukan dalam sistem pendidikan di negara kita. Bahkan,
munculnya kasus seperti kekerasan pelajar hari-hari ini tidak menjadi berita
menarik lagi untuk dikaji, karena sedang asik dengan pemilu. Perlu disadari
bersama. Semoga.