Nikahpun TarekatMenikah secara istilah sebagai membuat sebuah ikatan. Sebagian orang mungkin masih kurang tanggap memikirkan masalah ini. Hal itu disebabkan berbagai faktor, antara lain takut hidup dan menghidupi keluarga setelah menikah. Atau, salah satu syariat agama ini terlukis sebagai keputusan yang belum saatnya dipikirkan karena pertimbangan “nikmatnya masa remaja”.
Disadari atau tidak, semakin wajar hubungan remaja berlawan jenis dominan menggiring melakukan tindak negatif pada lazimnya. Yang ditendensikan pada buruknya moralitas dan mentalitas mereka. Kasus semacam ini bukan lagi sebagai rahasia yang sangat sakral untuk diungkap. Serta, tidak lagi profan jika dilakukan oleh remaja yang hidup pada kalangan simbolik agama.
            Pada dasar agama, apapun dalihnya, pergaulan remaja yang mengarah pada rangsangan seksual berpotensi menjadi demarkasi menuju Tuhan. Menikah menjadi solusi agar dapat mengarahkan nafsu seks pada tempatnya. Gagasan seperti ini bukan menampik fungsi nikah pada mulanya, yang dalam Al-Quran sebagai “jalan ketenangan”.
            Justru pada ujungnya yang merupakan substansi menikah itu menghendaki keindahan diri. Bukan hanya mencari pelampiasan syahwat seksual. Ini terbukti jika langkah tersebut sebagai implementasi persetubuhan yang intim. Dalam arti lain, merupakan manifestasi rasa suka antara dua insan yang dengan keseriusan melakukan ikatan.
            Pada sisi substantif ikatan dua insan, laki-laki dan perempuan, dengan syariat agama berprotektif menghantarkan menuju nilai ubudiah. Para intelektual pula mengamini fungsi ini. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Sabiq bahwa menikah dapat mengembangkan kecerdasan serta meredam kecintaan pada tempatnya.
            Dalam bahasa cinta, ungkapan “belahan jiwa” atau soulmate sering diucapkan untuk orang yang sangat dicintai. Jika belum mampu mendapatkannya, dirasa hati belum berbunga. Hati yang merupakan promotor jiwa masih terombang-ambing karena belum mendapatkan tempat yang dikehendaki.
            Sama halnya dengan berbagai suluk menuju Tuhan yang belakangan dijadikan pegangan oleh umat manusia. Tujuan utamanya tidak lain mendapatkan ketenangan jiwa. Tidak ada bedanya dengan mendapat kenyamanan ketika menemukan pasangan yang bisa memenuhi kebutuhan hati.

            Tarekat atau jalan menuju Allah yang dilalui dengan berbagai amalan, titik klimaksnya ingin mencapai tempat ketenangan di sisi Tuhan. Sementara, menikah juga menuju ketenangan. Dan, pada argumen yang dikandung oleh Kitab Suci, yang dikehendaki memangterwujudnya ketenangan, tetapi dengan alih bahasa yang berbeda. Disini ada perbedaan kualitatif, yang bisa diartikan sebagai tahap. Disadur dari bahasa Al-Quran sakana dan itmainna. Wallahu alam
 
Top