Fazlurrahman dapat dikategorikan sebagai seorang pemikir neomodernis yang paling serius dan produktif dewasa ini. Sepanjang perjalannya, Rahman selalu memunculkan letupan-letupan untuk mewujudkan perubahan yang lebih maju terhadap Islam. Pada tahun 1964, Rahman mendirikan sebuah lembaga riset Islam dengan tujuan menafsirkan Islam dengan terma-terma rasional dan ilmiah untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat modern yang progresif. Dan, pada saat itu pula Rahman menjadi dewan penasihat ideologi Islam. Pada masa menjabat, Rahman meninjau seluruh hukum yang ada, dan akan diselaraskan sesuai Quran dan Sunah.
Tetapi, pada saat itulah Rahman
justru mendapat kecaman dari ulama-ulama tradisionalis dan fundamentalis Pakistan. Bahkan, hujaman besar-besaran dari
berbagai kalangan pernah menimpa Rahman ketika muncul bukunya pertama kali yang
berjudul Islam. Dalam buku tersebut, Rahman menyatakan bahwa “Al-Quran itu secara keseluruhan adalah kalam
Allah, dan dalam pengertian biasa jika seluruhnya merupakan perkataan
Muhammad.”
Rahman menilai kalau Al-Quran pada
mulanya dihujamkan ke dalam hati Nabi, dan darinya Al-Quran muncul dari waktu
kewaktu dengan bahasa Nabi, dalam ungkapan, dan gaya bahasa yang merupakan
pembendaharaan pikiran Nabi. Maka dari itu, dia menanyakan bagaimana Al-Quran
yang prosesnya seperti itu bisa abadi dan tidak diciptakan? Pemahaman itulah
yang membuat Rahman sulit untuk menerima Al-Quran sebagai kalam abadi.
Begitu pula, dalam pemahaman
Al-Quran, Rahman memiliki konsepsi kontekstual. Dengan dalih bahwa Al-Quran
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan situasi. Dan, dia
juga menjelaskan pentingnya mengetahui latar belakang turunnya Al-Quran, yang
dikaitkan dengan aktifitas Nabi kurang lebih selama 23 tahun.
Dalam hal ini, misalkan salah satu
ungkapan Rahman yang digunakan untuk mendukung pendapatnya dalam memandang ayat
tentang khamr. Menurutnya, turunnya ayat khamr yang pertama kali dalam QS
2:219, QS 4:43 dan QS 5:90-91. Dia menegaskan kalau ayat tersebut turun secara
graduasi. Dan semua itu pastilah ditopang oleh pertimbangan-pertimbangan lain.
Maka, apa yang dikatakan oleh ahli fikih bahwa ayat-ayat sebelumnya dinasakh
oleh QS 5:90-91, menurutnya kurang ditekankan, atau hanya memandangnya sebelah
mata.
Terkait hal itu, Rahman menceritakan
bahwa ketika Nabi masih berada di Makkah,kaum muslimin merupakan komunitas
informal yang sangat kecil. Mereka masih belum merupakan “masyarakat.” Tampak
bahwa sebagian besar mereka tidak mengkonsumsi. Belakangan, ketika orang-orang
Makkah terkemuka seperti Hamzah, dan Umar bin Khattab masuk Islam, ada beberapa
diantara mereka yang mengkonsumsi alkohol. Tetapi, fenomena ini tidak
menimbulkan masalah apapun terhadap kaum muslim. Namun, ketika mereka hijrah ke
Madinah, mereka tidak saja masyarakat, melainkan semacam Negara informal.
Hingga minum alcohol pada waktu itu berkembang menjadi masalah.
Semua itu bagi Rahman adalah konteks
yang harus diamasukkan untuk pertimbangan. Maka, untuk mendapatkan padangan
yang utuh dalam menafsirkan Al-Quran, rahman memberikan awaran agar memakai
prinsip kontekstual.
Apa yang menjadi pandangan Rahman di
atas sangat berbeda dengan para mufassir, baik klasik maupun yang modern.
Arrazi misalkan, dalam kasus tersebut, dia menegaskan bahwa ayat-ayat yang
menerangkan khamr, dari QS 2:219 dan QS 4:43 telah dinasakh oleh QS 5:90-91
secara mutlak. Maka apapun alasannya, yang dinamakan khamr tetaplah haram dan
sebagai perbuatan syaitan.
Menurut saya,apa yang ditawarkan
Rahman tidak bisa ditelan mentah,atau hanya mengambil secara dasarnya saja.
Karena sebenarnya apa yang diungkapkan Rahman di atas, menghimbau kita untuk
lebih mempertajam pandangan terhadap permasalahan,agar dapat terlepas dari
sifat konservatif dan terlalu fundamentalis. Dan, apa yang ditawarkan Rahman
bagi saya menunjukka kelenturan Al-Quran dalam memahami sebuah teks. Jadi,
metode yang dibangun Rahman memang benar-benar menggugah kesadaran kaum muslim
untuk lebih berwawasan dalam menganalisa teks.