Topeng Nasionalisme, Menyibak berbagai aliran Islam di Indonesia
Munculnya berbagai macam aliran agama di Indonesia jika dijadikan subyek kajian terkait nasionalisme yang mewarnai tanah air sangat menarik. Variabilitas pandangan ini sangat dipengaruhi oleh teks dan konteks yang melingkupi fondasi dasar masyarakat kita. Terutama, timbul dari kalangan agamis.
Dalam agama Islam, kalangan kiai yang memiliki dominasi dalam varaiasi pandangan nasionalis Indonesia. Sebagaiamana yang kita ketahui bahwa mereka memiliki latar belakang yang erat dengan pendidikan, kehidupan, dan sosio historis yang mencetak mereka memiliki pandangan beragam terkait nasionalis.
Pada pembahasan ini, seperti KH. Hasyim Arkhas, KH Yasri Marzuki, dan KH. Zuhdi Zaini mendifinisikan nasionalisme sama dengan kata as-syuubiyah sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat: 13. Oleh karena itu, bagi mereka nasionalisme atau as-suubiyyah sebenarnya dapat diartikan sebagai kebangsaan dari setiap warga negara terhadap negaranya.
KH. Arkhas menambahkan bahwa nasionalisme sebagai wilayah sepiritual. Pernyataan ini sama dengan definisi nasionalisme dalam pandangan Renan dalam “What Is An Nation” dalam Homi Bhaba (1990) yang menyatakan bahwa bangsa adalah something spiritual. Tetapi, menurut KH. Arkhas, nasionalisme harus ada komitmen moral yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, sesama umat harus ikut merasakan suka dan duka atas segala hal yang menimpa sebangsa dan se tanah air. Kedua, siap meleburkan diri dengan kelompok lain demi demi kepentingan nasional, yang pada zaman dahulu telah dibuktikan oleh para kiai dalam laskar Hizbullah dan Sabillilah. Ketiga, Semangat bersatu demi keutuhan bangsa dan kedaulatan negara. Keempat, menjunjung prinsip budaya “membedakan hak pribadi berupa keyakinan agama dengan hak negara.”
Demikian nasionalisme yang dikultuskan oleh para kiai yang mengacu pada dalil Al-Quran dalam kata as-suubiyyah. Ternyata, kata yang memiliki arti leksikal “kebangsaan” itu, untuk menyamakan dengan “nasionalisme” diberikan beberapa catatan, agar tidak bisa tekstual dalam memahami arti nasionalisme.
Namun, menurut pandangan KH. Syahid menyatakan ada perbedaan antara as-suubiyyah dan nasionalisme. Ia menyatakan, “as-suubiyyah jangan sekali-kali disamakan dengan makna nasionalisme karena itu bukan makna autentiknya, melainkan itu makna darivasi dari kata as-suubiyyah. As-suubiyah artinya nilai-nilai kebersamaan dalam konteks kemasyarakatan. Sedangkan nasionalisme adalah rasa cinta tanah air, yang dalam bahasa arab adalah al-wathaniyah. Maka, dalam keterangan tersebut antara as-suubiyyah dan nasionalisme jalas berbeda.”
Begitu juga ada yang mengartikan nasionalisme dengan kata al-qaumiyyah yang didefinisikan sebagai sebuah kondisi atau sikap dimana ada kesepakatan antara beberapa kelompok, suku, atau apapun namanya dalam sebuah kawasan tertentu. Jadi, ada semacam MoU antara beberapa orang tentang bagaimana harus bersikap terhadap lingkungan tempat mereka tinggal.
Nasionalisme menurut padangan Anthony Smith mengatakan bahwa pandangan yang beragam terkait nasionalisme dapat digariskan dalam dua garis besar, yakni instrumentalis modernis dan parennialis primordialis. Aliran pertama pada asumsi bahwa etnitas adalah sesuatu yang plastis dan liat, yang menurut Hobsbaun disebut the invented tradition (Hobsbawn, 1983:3). Sebuah instrumen yang dipergunakan terutama oleh kalangan elit politik, untuk meraih tujuan-tujuan politik.
Ia memandang nation dan nasionalisme sebagai sesuatu yang baru, produk dari suatu syarat-syarat kemoderenan, seperti negara modern, birokrasi, sekularisme, dan kapitalisme. Maka, dalam konteks inilah, Ernest Gellner memandang bahwa nation dan nationalisme diperlukan ketika masyarakat sudah mulai maju pada tataran industri. Jadi, nasionalisme adalah produk masyarakat industri yang memang sedang memerlukan rasa kebersamaan dalam keberagaman, (Gellner, 1994:56).
Artinya dari berbagai wacana tersebut yang pernah meramaikan Tanah Air kita suatu saat mengundang polemik golongan yang menimpa beberapa organisasi agama di Indonesia. hal itu memang bukan semata-mata membuat ramaia, tetapi ada nilai lain yang menjadi sorotan utama, yaitu masih alotnya paradigma intelektual. Yang belum bisa transparan menghadapi perbedaan.
Oleh karena itu, sekuler sebagai landasan nasionalisme sudah saatnya diperlukan. Sebagai langakah kuratif dan preventif timbulnya konservatif pemikiran yang terikat dengan paradigma agama pribadi. Padahal, wajah nasionalisme dibutuhkan bukan hanya untuk ranah agama, melainkan ranah yang lebih luas, yaitu negara.
Pada saat demokrasi terpimpin Soekarno, dia berhasil mengembalikan ide lamanya Nasakom. Yang dengan ide tersebut dia jadikan sebagai alat untuk membendung berbagai aliran pendapat yang ada di tanah air berada dalam satu payung, serta dapat bekerja sama dengan baik. Kemudian idenya itu dijalnkannya dengan cara pemaksaan menurut caranya sendiri.
Dan, pada masa itulah ide-ide Soekarno baik lama maupun baru bermunculan, seperti Nasakom, Demokrasi Terpimpin, Sosialisme Indonesia, Kepribadian Indonesia dan Revolusi belum selesai. Dalam hal ini, Soekarno adalah seorang patriot yang cinta tanah air dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya.
Kunci utama dalam pertikaian pendapat disebabkan karena pemimpin tidak benar-benar menyadari adanya demokrasi sebagai landasan Tanah Air. Sehingga masih saja mengedapankan klaim-klaim kebenaran (truth claim) berdasarkan paradigma sendiri. Dan, yang selama ini mewarnai Indonesia, nasionalisme terlihat sebagai kubangan sempit, yang penuh pagar-pagar pembatas. Meskipun, para intelektual secara de jure mengamini nasionalisme sebagai bentuk kebangsaan, tetapi hanya terselubung dalam topeng.
 
Top