Dalam al-Quran, cerita terkait keberanian Ibrahim dikisahkan secara
naratif dalam QS, al-Anbiya. Begini, “Ketika Ibrahim bertanya kepada ayahnya
beserta para pengikut ayahnya, “Patung-patung apa ini sehingga kalian tekun
menyembahnya?”. Mereka kemudian menjawab, “Kami temukan bahwa nenek moyang kami
juga menyembah patung-patung ini.”
“Kalian dan nenek moyang kalian justru berada dalam kesesatan,” tegas
Ibrahim. “Apa kamu datang kesini untuk membawa kebenaran atau hanya
bermain-main?” “Tidak sama sekali. Tuhan kalian itu Sang Pemilik langit dan
bumi, serta yang menciptakan segalanya, dan aku termasuk yang bersaksi atas
kebenaran itu. Dan demi Allah, akan aku hancurkan patung-patung ini setelah
kalian pulang.
Lalu, Ibrahim
menghancurkan seluruh berhala hingga berkeping-keping kecuali yang terbesar
atau berhala induk agar mereka menanyai Ibrahim. Dan mereka pun datang
bertanya-tanya siapa yang telah berbuat durhaka pada berhala-berhala mereka.
Sampai mereka menduga ada seorang pemuda yang telah mencela sesembahan mereka,
Ibrahim.
Mereka pun menyuruh agar Ibrahim diseret untuk
datang dan agar disaksikan masyarakat. Lalu mereka bertanya kepada Ibrahim,
“Apa benar kamu yang memperlakukan tuhan-tuhan kami menjadi seperti ini,
Ibrahim?” “Tidak. Melainkan patung yang paling besar itulah yang telah
menghancurkan mereka. Untuk lebih jelasnya tanyailah mereka jika mereka dapat
berbicara,” jawab Ibrahim.
Maka mereka
menjadi sadar dan menuduh Ibrahim telah zalim. Dan sambil menundukkan kepala
mereka merenung lalu sadar dan berkata, “Engkau pasti tahu kalau
berhala-berhala itu tidak bisa berbicara.” Ibrahim dengan berani menimpali,
“Kenapa kalian menyembah selain Allah yang tidak bisa berbuat apapun untuk
kalian. Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah. Berpikirlah!”
Cerita tadi bisa
kita dapati dalam al-Quran QS, 21:52-67. Tergambar begitu besar keberanian
Ibrahim as untuk menumpas paganisme, dan mengajak mereka untuk bertauhid
(monoteisme). Pada konteks tersebut Ibrahim sudah mengalami pergolakan spitual
hingga menghantarkannya pada seorang agamis yang matang. Imam Syairazi pernah
mengatakan jika sejak berumur tiga belas tahun, Ibrahim sudah mengalami gejolak
jiwa untuk mencari kekuasaan tuhan.
Sampai Allah
memberikan gelar sebagai khalilullah, kekasih Allah. Karena perjuangan
Ibrahim yang sangat besar untuk mendapatkan kebenaran atas agama. Bukan ada
motif politik ataupun kekuasaan. Bukan ingin menjadi pemimpin tandingan.
Tetapi, untuk kebenaran sampai beliau rela naik turun gunung dilakukan demi
mendapatkan sebuah keterangan yang hakiki. Wallahu alam.