Suatu ketika sahabat Ibnu Abbas pernah ditanya oleh Abu Zamil Sammak ibnu Al-Walid, “Apakah yang saya rasayakan dalam hati ini?” “Apa itu?” tanya Ibnu Abbas. “Demi Allah saya tidak akan mengatakannya.” Lalu Ibnu Abbas bertanya balik, “Apakah semacam keraguan?” “iya.” “Kalau begitu, memang tidak seorang pun manusia yang terbebas dari keraguan sampai turun firman Allah, “Apabila kamu sedang dalam keraguan atas apa yang kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang ahli kitab sebelum kamu, (QS Yunus 94). Dan jika kamu sedang menemukan keraguan itu dalam dirimu, maka bacalah, Dia yang Awal, Dia yang Akhir, Dia yang Zahir (Tampak), Dia juga yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Keraguan selalu muncul bisa
kapanpun, keraguan bisa meliputi manusia dengan dihadapkan atas pilihan-pilihan
yang memerlukan berbagai pertimbangan. Bisa berasala dari bisikan hati sendiri
ataupun bisikan pihak lain. Maka ketika orang sedang berada dalam keraguan,
sama hal nya berada dalam sebuah keyakinan yang kosong.
Sehingga dalam kehidupan
sehariharinya terus merasa kebingungan atas kontradiksi yang berkecamuk dalam
kepribadiannya. Orang semacam ini berarti telah menjadi manusia yang split personality atau memiliki kepribadian
ganda. Menarik ada ungkapan seorang ulama modern, Murtadha Muthahhari, beliau
pernah memberikan kriteria manusia itu sebagai makhluk yang ingin bebas,
sebagai makhluk yang tidak mau dikuasai oleh apapun.
Sampai berkeinginan untuk
menciptakan hal yang lebih besar dan lebih berarti. Nabi Muhammad saw pernah
bersabda, “Tinggalkanlah yang membuatmu ragu, dan beralihlah kepada yang tidak
membuatmu ragu.” Prinsip konsistensi yang diajarkan Nabi tersebut beberapa kali
telah beliau lakukan sendiri. Seperti beliau konsisten tetap menjaga persatuan
dan memerangi dekadensi moral. Hal itu beliau tegakkan berdasarkan prinsip
beliau sebagaimana sabdanya, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Dalam lingkup ke-rasulan beliau
tetap menegakkan perintah Allah. Serta dalam lingkup pemerintahan beliau juga
menegakkannya berdasarkan asas pemerintahan dan amanah ke-rasulan. Maka beliau
tetap menyemarakkan kebenaran, keadilan, serta kemakmuran. Hal ini dibuktikan
ketika Nabi pertama kali hijrah di Madinah. Beliau selain membangun masjid juga
membangun pasar sebagai benteng kemakmuran. Meskipun demikian beliau mengakui
keraguan itu ada, dan beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menangkal
tipunya setan menjadi waswasah.” Wallahu
alam.