Figur Ibnu Sutowo
untuk PTIQ
Oleh : Khoirul Anwar
Afa
Jika mengingat sejarah berdirinya Institut yang berbasis
al-Quran ini, pasti akan terkenang sejarahnya Ibnu Sutowo. Nama tersebut tidak
hanya masyhur di kalangan negeri ini sebagai pejuang. Melainkan, beliau merupakan
salah satu penggerak terwujudnya perguruan tinggi yang memiliki latar belakang
al-Quran. Beliau termasuk perintis berdirinya kampus PTIQ yang ditujukan supaya
tercipta generasi penghafal al-Quran lulusan perguruan tinggi.
Beliau yang
berprofesi di bidang kedokteran dan perwira tidak henti-hentinya untuk
memperjuangkan kemakmuran, baik di bidang keilmuan. Selain itu, beliau juga
sangat arif di bidang perminyakan. Menurut salah satu rekannya sesama dokter
bercerita bahwa beliau belajar perminyakan sejak masih bertugas sebagai dokter
mengobati malaria di Sumetera Utara. Bukan karena memiliki pendidikan formal
yang spesifik masalah perminyakan. Melainkan karena saking cintanya dengan
perminyakan, membuat dirinya ahli di bidang tersebut.
Dengan kegigihannya,
beliau tetap tanggap terhadap dunia pendidikan. Kemudian sejak mengenal visi-misi
PTIQ yang memprioritaskan mahasiswa agar paham dengan detail terhadap makna-makna
al-Quran, membuat Ibnu Sutowo berempati terhadap pendidikan seperti itu. Kemudian
beliau meneruskan kepemimpinan PTIQ setelah dipegang oleh Yayasan Ihya’ Ulumuddin
yang dipimpin oleh H. Muhammad Dahlan, menteri agama saat itu (1 April 1971). Dua
tahun kemudian diteruskan oleh Ibnu Sutowo (12 Mei 1973). Pada saat yang sama,
Ibnu Sutowo sedang memegang YPA (Yayasan Pendidikan al-Quran).
Awal pendirian PTIQ mulanya dilatari oleh kesadaran akan semakin
langkanya ulama ahli Al-Qur'an (terutama para hafizh) sementara sangat
didambakan dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Sejak Musabaqah
Tilawatil Qur'an Nasional I di Makasar 1968.
Bahkan sampai keberadaan para ulama ahli Al-Qur'an ini
sangat terasa, sehingga tak kurang Presiden Republik Indonesia dalam amanatnya
pada Musabaqah Tilawatil Qur'an Nasional III di Banjarmasin mengingatkan
pentingnya untuk meningkatkan upaya penghayatan dan pemahaman kitab suci
Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia.
Hal itu menjadi unsur pendorong bagi berdirinya PTIQ yang
ingin menjadikan sebuah wadah bagi para ahli di bidang al-Quran dan dalam
status perkuliahan. Jadi, tidak mengesampingkan kemoderenan. Artinya, selain mendalami
al-Quran sebagai salaf serta melakukan kajian akademik sebagai mahasiswa.
Pada zaman itu, seluruh mahasiswa PTIQ dibebaskan dari
biaya. Bahkan, seluruhnya mendapatkan biaya dari yayasan. Serta semua mahasiswa
adalah utusan yang terpilih dari tiap-tiap daerah dan provinsi. Pada saat itu
pula, menurut kiai Syarif Rahmat, Ibnu Sutowo berkomitmen kuat agar seluruh
mahasiswa di PTIQ selalu mengedepankan nilai-nilai al-Quran dan sungguh-sungguh
dalam menjaga hafalannya. Maka dari itu, stimulus yang diberikan olehnya tidak
tanggung-tanggung. Bahkan, siap menampung semua alumnus PTIQ terkait
kehidupannya, jika membutuhkan.
Beliau sangat menginginkan dengan
adanya PTIQ ini, pendidikan agama yang telah lama redup agar bisa bersinar
kembali. Harapan ini beliau tumpahkan seluruhnya pada generasi-generasi muda
yang belajar di PTIQ. Maka dari itu, besar perhatiannya beliau berikan pada
semua mahasiswa yang belajar di kampus al-Quran itu.
Perjuangan Ibnu Sutowo untuk kemakmuran
PTIQ memang tidak terhitungkan. Sehingga semua alumnus yang merasakan buih
perjuangan beliau pasti tidak akan lupa akan hal itu, hingga sekarang pun masih
melekat hasil perjuangan beliau.
Post a Comment