Pendahuluan
Perkembangan tafsir Al-Quran sejak zaman Nabi hingga sekarang mengalami banyak pergeseran, baik secara corak dan metodologi. Bahkan, ada klaim-klaim tersendiri yang ditunjukkan pada tafsir Al-Quran dalam kategorisasi tertentu. Maka, sangat penting melakukan studi tasif guna untuk meneliti perkembangan tafsir-tafsir yang ada.
            Di sini pemakalah akan menguraikan seputar tafsir yang lahir pada abad XX di Indonesia. Tafsir Qur’an Karim merupakan salah satu karya anak bangsa yang pada zamannya meraih banyak rubrik dari berbagai kalangan. Dan untuk lebih detailnya mari kita kenali tasir tersebut.















A.    Biografi Penulis.
Mahmud Yunus lahir di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatera Barat, hari Sabtu 10 Pebruari 1899 M. bertepatan dengan 30 Ramadan 1316 H. Ia berasal dari keluarga yang agamis dan cukup terkemuka. Ayahnya bernama Yunus bin Incek, pengajar surau, Ibundanya bernama Hafsah binti Imam Samiun anak Engku Gadang, M Tahir bin Ali, pendiri serta pengasuh surau di wilayah itu.[1]
Pada umur sekitar 7 tahun, ia belajar mengaji di surau kakeknya sendiri M Thahir bin M Ali gelar Engku Gadang, lalu memasuki Sekolah Dasar, tetapi hanya sampai kelas tiga saja. Sesudah itu kemudian masuk madrasah yang dipimpin oleh Sekh H.M Thalib Umar sampai tahun 1916. Pada tahun 1917 beliau berhenti mengajar karena sakit. Dia menggantikan gurunya sebagai pemimpin madrasah tersebut. Sebelum itu hanya sebagai guru bantu saja.
            Pada tahun 1924-1925 ia melanjutkan pendidikan di universitas Al-Azhar, Kairo, dan berhasil meraih Shahadah Alimiyyah. Kemudian pada tahun 1926-1930 belajar di madrasah Darul Ulum Ulya, yang sudah bersusah payah memasukinya sebagai orang Indonesia pertama belajar di sini. Di madrasah ini ia mengambil takhassus (spesialisasi) tadris sampai memperoleh ijazah Tadris (Diploma guru).
            Profesinya sebagai guru sudah mulai sejak di Batusangkar, meskipun masih sebagai guru bantu di pesantren. Selanjutnya, 1931-1932, dia menjadi direktur/ guru Al-Jamiah Islamiyah, Batusangkar. Pada tahun 1931-1938, 1942-1946 sebagai direktur guru normal Islam (Kuliah Muallimin Islamiyah), Padang. Pada tahun 1948-1949 menjadi Dosen Agama pada Akademi Pamongpraja di Bukittinggi. Pada tahun 1957-1960 dia menjadi Dekan/Dosen pada Akademi Dinas Ilmu Tarbiyyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pada tahun 1966-1971, ia menjadi Rektor di IAIN Imam Bonjol, Padang.
            Beliau juga dikenal sebagai pendiri kumpulan Sumatera Thawalib dan penerbit majalah Islam Al-Bannyir (1920). Dia juha ikut mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (1920). Anggota Minangkabau Raad (1938-1942). Sebagai anggota CU Shangi Kai (1943-1945), beliau juga berhasil emamasukkan pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah pemerintah. Dia juga sebagai anggota komitee nasional Sumatera Barat (1945-1946). Juga pernah sebagai pemeriksa Agama pada Jawatan Pengajaran Agama Simatera Barat (1945-1946). Pernah sebagai kepala  bagian Islam pada Jawatan Pengajaran Agama Propinsi Sumatera di Pematang Siantar (1946-1949). Dia turut serta mendirikan majlis Islam Tinggi Minangkabau, yang kemudian menjadi MIT Sumatera (1946). Dia juga sebagai inspektur Agama pada Jawatan PP&K Propinsi Sumatera, Bukittinggi  (1947). Sebagai Sekertaris Menteri Agama PDRI (1949).
            Sesudah pengakuan kedaulatan, beliau memangku beberapa jabatan di Kementerian (departemen) agama RI, berturut-turut sebagai Pegawai Tinggi diperbantukan pada Kementerian Agama di Jogjakarta (1950). Kepala penghubung Pendidikan Agama pada Kementerian Agama di Jakarta (1951), dan sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama (1952-1956).[2]
B.     Mengenal Tafsir Quran Karim
Pada tahun 1922, beliau sudah memulai menafsirkan Al-Quran yang diterbitkan dalam tiga juz dengan bahasa Melayu. Pada masa itu masih keras-kerasnya para ulama melarang menerjemahkan Al-Quran, namun hal itu tidaklah dihiraukan oleh Mahmud Yunus. Kemudian setelah itu, Mahmud Yunus berhenti dalam berkarya penerjemahan Al-Quran, karena melanjutkan studinya di Al-Azhar, Kairo, selama setahun.  Hingga dia mendapatkan gelar SYAHADAH ‘ALIMIYYAH (title alim dan syekh) pada tahun 1925. Beliau masih kurang puas dengan Sahadah yang disandangnya. Kemudian, dia melanjutkan belajar di perguruan yang di buka oleh pemerintah Mesir, DAARUL ULUM. Di sanalah ia mendapatkan banyak pencerahan, serta mendapat dukungan dari syekh-syekh Mesir kalau menerjemahkan Al-Quran itu mubah (boleh), bahkan fardlu kifayah. Dia kemudian lulus pada tahun 1930. Setelah itu, Mahmud Yunus semangat kembali untuk menerjemahkan Al-Quran.
            Tafsir itu diberi nama TAFSIR QUR’AN KARIM. Dengan usahanya susah payah, tafsir itu diterbitkan berjus-jus setiap bulan. Dan ketika pada jus 7 s/d 18, dia dibantu oleh H.M.K Bakry. Sehingga pada bulan April 1938, tamatlah sampai 30 jus.
            Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1950, dengan persetejuan menteri Agama Almarhum Wahid Hasyim, salah seorang penerbit Indonesia hendak menerbitkan tafsir Quran Karim dengan mendapat fasilitas kertas dari menteri agama dan dicetak sebanyak 200.000 eksemplar. Lalu ditunjuk percetakan Indonesia untuk mencetaknya.
            Dari hal itu mendapat bantahan dari ulama Jogyakarta, supaya disetop nebcetak tafsir Qur’an itu. Bantahan itu dikirimkannya kepada Menteri Agama RI. Namun, Mahmud Yunus sendiri tidak menerima bantahan itu. Dan akibatnya, yang empunya percetakan tidak mau meneruskan percetakanya. Padahal, sudah dimulai cetak beberapa lembar.
            Akhirnya diambil oper oleh M. Baharta direktur percetakan Al-Ma’arif Bandung. Lalu dicetak dan diterbitkan sebanyak 200.000 eksemplar dan dijualnya dengan harga Rp. 21.00 /eks. Kemudian peristiwa yang sama juga didapatinya. Pada tahun 1953 ada seorang ulama dari Jatinegara membantah pula. Bantahan itu dikirmkannya kepada Presiden R.I. dan Menteri Agama. Dan salinanya disampaikan kepada Mahmud Yunus. Lalu dia membalas susrta itu dengan lebar panjang. Dan tembusannya dia kirimkan kepada Presiden R.I. dan Menteri Agama. Akhirnya, beliau pun tidak berkutik lagi hanya diam saja.
            Kemudian setelah habis percetakan itu, Mahmud Yunus dan isterinya, Darisah binti Ibrahim meneruskan/menerbitkan Tafsir Quran Karim. Lalu mereka menerbitkan beberapa kali tanpa ada perubahan yang besar. Hanya ada perubahan sedikit demi sedikit. Hingga tafsir itu diterbitkan oleh C.V. Al-Hidayah.[3]
            Tafsir Quran Karim adalah kitab Tafsir Indonesia yang dibilang cukup representatif untuk mewakili kitab Tafsir pada abad XX, tepatnya sekitar 1900-1950-an yang diistilahkan dengan periode modern oleh Nashruddin Baidan dalam bukunya, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia[4]
            Tafsir ini bukanlah terjemahan dari kitab berbahasa Arab, melainkan hasil dari penyelidikan pengarang sejak berumur l.k. 20 tahun sampai umur 73 tahun. Sebab itu, tafsir ini berlain dengan tafsir-tafsir lain. Dalam tafsir ini yang lebih dipentingkan ialah menerangkan dan menjelaskan petunjuk-petunjuk yang termaktub dalam Al-Quran untuk diamalkan oleh kaum muslimin khususnya dan manusia umumnya, sebagai petunjuk universal. Karena petunjuk itulah tujuan utama dalam kitab suci Al-Quran.[5]
           
C.    Metodologi
Dilihat dari segi metodologi, tafsir karangan Mahmud Yunus ini dapat dikategorikan pada karangan tafsir yang bermetode ijmali (mengemukakan makna ayat secara global).[6] Namun, pada ayat tertentu yang dianggap penting, Mahmud memberikan penafsiran yang agak rinci.[7] Hal ini terlihat pada tafsirannya pada surat al-Nisa’ ayat 5:
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ
قَوْلا مَعْرُوفًا (النساء: 5)
“Janganlah kamu serahkan harta kepada orang safih (bodoh) yang membuang-buang hartanya atau membelanjakan kepada yang tak berguna dan tiada mengetahui cara perkembangannya dan mengambil hasil dari padanya. Sebab itu hendaklah walinya memberi makannya dan membelikan pakaiannya menurut cara yang patut dan memberi nasehat dengan perkataan yang baik, mudah2an ia insaf memelihara harta itu dengan se-baik2nya. Memang harta itu jadi tulang punggungmu, dengan harta kamu tegak dan berdiri. Jika harta itu kamu buang2 dengan mubazir, maka akan sia-sia dan terlantar kehidupanmu. Sebab itu peliharalah harta itu baik2, jangan dibuang2 atau dibelajakan kepada yang tak berguna, tetapi jangan pula kikir dan bakhil.”
            Bisa dilihat dari contoh penafsiran di atas bahwa Mahmud Yunus tidak mendominasi penfsirannya dengan corak Fiqih, tasawuf atau kebahasaannya. Dia lebih  cenderung memakai konteks umum, dan netral.
            Namun disisi lain, Mahmud juga menafsirkan dengan agak rinci. Ini dapat dilihat pada surah An-Nur 31.
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ
…Perempuan itu tiak boleh membukakan perhiasannya atau badannya kepada laki-laki yang bukan familinya selain daripada yang terbuka untuk bekerja (berusaha). Dalammadzhab Hanafi yang boleh dibukakan perempuan ialah mukanya dan dua telapak tangannya hingga pergelangannya serta kedua telapak kakinya sampai mata kaki. Kata setengah lagi, boleh sampai seperdua lengan tangan dan seperdua betis kaki karena terbiasa terbuka waktu bekerja.
Menurut tafsir Ibnu Abbas bahwa anggota yang biasa terbuka itu ialah muka dan dua telapak tangan. Dalam hadis Nabi Muhammad yang artinya “apabila perempuan telah balig (telah mulai membawa kotor = adat bulanan) maka tidak patut dilihat tubuhnya selain dari ini dan ini, sambil diisyaratkannya kepada muka dan dua telapak tangannya.[8]
D.    Tafsir Pada Zamannya
Di Indonesia ada enam tafsir yang berkembang saat itu, diantaranya :
1.      (al-Furqan fi tafsir al-Quran oleh A. Hasan Bandung [1928 M.].
2.       al-Quran  Indonesia oleh Syarikat Kweek School Muhammadiyah bagian karang mengarang [1932 M.].
3.       Tafsir Hibarna oleh Iskandar Idris [1934 M.].
4.       Tafsir al-Syamsiyah oleh KH. Sanusi [1935 M.].
5.       Tafsir Quran Karim oleh Prof. Dr. Mahmud Yunus [1938 M.]
6.      Tafsir Quran Bahasa Indonesia oleh Mahmud Aziz [1942 M.]), menurut Nashruddin Baidan, hanya Mahmud Yunus-lah yang memuat uraian relatif lengkap.[9]

Kesimpulannya.
Tafsir Qur’an Karim yang ditulis oleh Mahmud Yunus dipandag oleh para peneliti bahwa tafsir itu merupakan tafsir yang lebih detail pada masanya. Dan tentu saja, corak penafsirannya tidak seperti penerjemahan Al-Qur’an. Karena ini lebih didominasikan pada unsure tafsir. Mufassir yang juga seorang organisator itu, dengan susah payah menyelesaikan karyanya. Bahkan, beberapa kali mengalami penolakan dari berbagai lembaga. Tetapi, meskipun demikian Mahmud Yunus tetap tidak minder dengan upayanya dalam mewujudkan tafsir yang benar-benar mampu mendidik masyarakat dengan pola Al-Quran.
              Hingga saat ini, tafsir yang telah disusun Mahmud Yunus sebanyak 30 jus itu mengalami beberapa kali perbaikan dalam hal bahasa, dengan dalih untuk mengikuti perkembangan bahasa masa kini. Dan untuk mempermudah siapa saja yang hendak mengkajinya.


Daftar Pustaka.
-           Biografi Mahmud Yunus « Welcome to LuViLoVe (Lulu Vikar In Love).htm. Diambil 02.04.2013. Jam 13 wib.
-          Tafsir Quran karim. Mahmud Yunus. Cet ke-73. 2004. PT. HIDAKARYA AGUNG JAKARTA.
-          Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003),
-          Iffah Muzammil. Al-Afkar (Surabaya: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2006),



[1]. Biografi Mahmud Yunus « Welcome to LuViLoVe (Lulu Vikar In Love).htm. Diambil 02.04.2013. Jam 13 wib.
[2] Cover Depan, Tafsir Quran karim. Mahmud Yunus. Cet ke-73. 2004. PT. HIDAKARYA AGUNG JAKARTA.
[3] . Pendahuluan IV, Tafsir Quran Karim. Mahmud Yunus. Cet ke-73. 2004. PT. HIDAKARYA AGUNG JAKARTA.
[4] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 82.
[5] . Pendahuluan V, Tafsir Quran Karim. Mahmud Yunus. Cet ke-73. 2004. PT. HIDAKARYA AGUNG JAKARTA.
[6] . Iffah Muzammil. Al-Afkar (Surabaya: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2006), hal 7.
[7] . Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 91.
[8] .  Qur’an Karim. Mahmud Yunus. Hal 516.

[9] . Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 91.

Post a Comment

 
Top