UU Santet, Pasal Ngawur!
Isu santet kini telah mencuat di tanah air, serta manjadi buah bibir masarakat. Ditambah lagi respon pemerintah yang sudah menggagas undang-undang tersendiri untuk menjerat rakyat yang terkena kasus santet. Pasalnya, perkara demikian dinilai sebagai tindak kejahatan yang merugikan, dan menjadi pemicu utama ketidaktentraman keadaan Negara.
            Akibatnya, fenomena demikian dipersepsikan oleh pemerintah sebagai kejahatan-kejahatan ilmu hitam. Sehingga pemerintah mengikutsertakan hal demikian dalam rancangan undang-undang pidana yang saat ini sedang digodok. Aturan tersebut dicantumkan dalam bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum yang secara khusus dicantumkan dalam pasal 293. Berikut ini kutipan dari pasal tersebut.
"(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."
Dalam kedua pasal tersebut diberikan penjelasan untuk tujuan menanggulangi keresahan masyarakat yang diakibatkan praktik ilmu hitam, atau yang selama ini dikenal sebagai dukun teluh (santet). Dan rancangan dari dua pasal tersebut dianggap sebagai sebuah kebijakan pemerintah untuk mengantisipasi adanya main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga, karena menemukan adanya orang yang menggunakan praktek perdukunan.
Langkah bijak demikian sangat jelas tidak rasional dan cenderung ngawur belaka. Menilik perkara santet itu bukanlah hal yang nyata, dan tidak gampang didasari dengan bukti-bukti. Praktek ilmu itu bukanlah sebuah tragedi atau tindakan yang dapat dibaca seperti tindak korupsi dan anarki lainnya. Begitu pula bukti-buktinya sangat sulit digali dibanding dengan  kasus lain.
Memang apa yang disebut santet dan ilmu hitam sering terdengar layaknya korupsi. Namun, sepak terjang dan jalan pintas keduanya sangatlah berbeda. Perkara santet tergolong dalam konsep supranatural, dan semua orang juga membutuhkan konsep itu jika menginginkan sesuatu di batas kemampuan. Maka, yang dinamakan praktik ilmu hitam, sifatnya masih ambigu. Dan pasal yang dirancang untuk menjerat kasus yang masih ambigu, sama saja membuat pasal yang ngawur dan cenderung mengada-ada.
Mengingat keunikan yang dimiliki masyarakat kita mulai dari zaman penjajahan dengan bambu runcinya, hingga zaman orde baru dengan kasus ninja. Yang saat itu merupakan praktek keajaiban, karena sulit dicerna akal pikiran. Bahkan hingga saat ini sering dipertontonkan di tempat-tempat hiburan dan layar televisi terkait keajaiban yang mungkin bisa diasumsikan sebagai praktek ilmu hitam.
 Namun, baru saat ini munculnya klaim dari pemerintah yang menganggap praktik demikian bisa membuat warga resah. Sehingga perlu memunculkan pasal yang signifikan mengenai permasalahan tersebut sebagai langkah kuratif dan preventif dari akibat ulah santet yang selama ini banyak menyebabkan terjadinya kekacauan di masyarakat.
Secara mendasar rancangan KUHP santet memberikan perhatian terhadap warga. Tetapi disisi lain, juga akan menimbulkan masalah baru yang mengancam gerak-gerik masyarakat. Dan akan dijadikan ajang diskriminasi apabila terjadi perseteruan di antara warga. Sebab bisa saja warga yang tidak mengerti apa-apa, lalu dituding sebagai penyebab keresahan warga yang sedang dilanda penyakit. Dengan dalih, dirinya yang masih sehat sendiri. Begitu pula akan menjadi kasus brutal. Misalkan seorang pekerja baru saja sipecat bosnya, dengan dikatai yang tidak enak pula. Lalu tidak selang lama, si bos mati mendadak, atau perutnya tiba-tiba membesar. Kemudian, si pekerja itu dijatuhi pasal santet.
Sangat ngawur, semakin tak mengarah KUHP di Indonesia ini. Bisa saja rancangan pemerintah tersebut berujung dari semprawutnya urusan mereka dalam birokrasi. Karena, justru yang sering melakukan tindakan santet dan meminta bantuan hal-hal gaib biasa dilakukan orang-orang yang menginginkan nasib baik, atau menginginkan jabatannya naik. Seperti potensi yang dimiliki para birokrat.
Maka jika itu akan diberikan untuk rakyat demi mewujudkan masyarakat yang damai dan bersih dari main hakim sendiri terkait hal gaib tersebut, seharusnya dipertimbangkan lebih matang lagi, dan meninjau dari banyak sisi. Apakah itu lebih mendorong dari kerugian yang akan dialami oleh warga, atau memang benar bisa mewujudkan seperti yang direncanakan.
Jadi, pemerintah jangan asal menindaki pasal tersebut sebagai pasal yang sah, dan siap diberlakukan untuk masyarakat Indonesia, sebelum benar-benar mempersiapkan dasar yang lebih efektif, konkret dan arif menuju keadilan. Karena, wacana demikian sudah mendapat telaah dari berbagai kalangan dan menilai kalau langkah untuk mewujudkan UU santet merupakan langakah ngawur. Wallahu alam.
Penulis adalah KHOIRUL ANWAR AFA, Mahasiswa PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta, dan Pegiat di Al-Kitabah, Pamulang, Tangsel.    


Post a Comment

 
Top