Wacana Label Halal MUI
Oleh : Khoirul Anwar Afa
Semenjak munculnya produk pangan yang beredar di Indonesia harus menggunakan label halal,  para pengusaha pangan terdobrak harus berlomba-lomba untuk mendapatkan label tersebut. Pasalnya, menimbang masyarakat yang mayoritas muslim dan dari label halal akan memberikan indikasi bahwa produk yang sudah mendapatkan legalitas halal memiliki jaminan aman, serta terjamin pula gizi kesehatannya. Bagi masyarakat awam pasti akan mudah mengambil kesimpulan demikian ketika hanya melihat label yang bertuliskan “halal”.
Pembuatan label tersebut merupakan proyek bagi MUI. Meskipun dengan dalih, yang memiliki wewenang untuk memutuskan itu dan lebih mengetahui seluk beluk masalah halal dan tidaknya hanyalah kelompok tersebut.  Bisa dikatakan jika semakin melonjak angka pengusaha pangan di Indonesia, maka MUI akan kebanjiran job untuk sekadar memberikan label halal.
Mungkin tidak dapat dihitung dengan angka yang nyata jika membahas untung materi dari hasil memberikan label halal kepada seluruh pengusaha pangan atau yang tidak pangan. Karena kesimpulan yang diambil, bahwa dengan label tersebut, produk akan dapat tampil secara elegan meramaikan pasar. Dan, masyarakat konsumen juga begitu mudah terpikat hanya sekadar melihat label halal yang tertera. Bahkan, banyak iklan jasa yang menjadikan label tersebut sebagai faktor penguat untuk mendapatkan integritas dari masyarakat. Karena secara simbolik terbaca bahwa jasa yang menggunakan label halal MUI menjamin akan memberikan mekanisme yang baik.
Seperti yang diberitakan koran Tempo 13 maret lalu, bahwa MUI menerbitkan label halal untuk produk pangan dan yang tidak pangan sekitar 4000-6000 sertifikat. Dan persatunya dikenakan harga 250 rb hingga 4 juta.  Jumlah sertifikat dan nilai harga yang dipasang untuk sertifikat tersebut hanyalah yang terdata saja. Belum lagi jumlah label dan tarif label yang tidak terhitung. Karena, mengingat jumlah pengusaha di negara kita ini mencapai 3,7 juta orang atau setara dengan 1,56% dari jumlah penduduk yang mencapai 240 juta jiwa ini. Itu artinya, sertifikat yang terhitung sedemikian itu sangat jauh mewakili dibanding jumlah pengusaha.
  Jika melihat label halal yang ada di setiap produk, baik pangan maupun non pangan. Jumlah tersebut malah sangat jauh dari pengakuan ketua MUI yang memberikan label halal hanya sekitar 4-6 ribu pertahun. Dari program itu sebenanrnya sangat membantu untuk mensejaterakan anggota yang ikut berkecimpung dalam keanggotaan MUI. Karena melihat tarif pembayaran yang dikenakan dari peminta sangatlah relatif. Apalagi telah ditetapkannya sistem registrasi per dua tahun untuk memperbarui label. Meskipun menurut pengakuan ketua MUI, dari hasil tarif sertifikat halal tidak mencukupi kebutuhan operasional. Namun, secara matematis tidaklah masuk akal jika dari hasil semua itu masih kurang.
Begitu pula sistem seperti ini secara tidak langsung juga memberikan konstitusi tersendiri di balik kebebasan rakyat untuk berbisnis. Jika mereka tidak mampu membeli atau sulit mengakses untuk mendapatkan sertifikat halal, produk mereka tidak bisa leluasa tampil di pasaran umum. Atau bisa saja disalah gunakan oleh konglomerat yang memiliki usaha yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori halal, lalu dengan berbagai rekomendasi yang kuat, kemudian MUI memberikan sertifikat tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus sepatu dari tulang babi kemarin. Maka, untuk menyikapi hal itu, dari MUI sendiri harus memiliki standar kehalalan. Dan, apabila MUI benar-benar untuk rakyat, maka sebaiknya tidak memasang tarif.

Standar Halal

Memberikan label halal harus lebih efektif dan harus sesuai dengan data yang valid. Tidak hanya diserahkan kepada kelompok bagian peninjauan saja. Bahkan, hanya dari anggota MUI yang pengetahuannya mengenai status objek sangat terbatas. Sebab itu, maka sertifikasi yang dikeluarkan bisa saja tidak sesuai dengan data empiris yang sesungguhnya. Singkat kata, pandangan yang dihasilkan timbul dari persangkaan yang tidak sinkron.
Untuk menyikapi hal itu dengan menggunakan metode preventif, maka dari MUI sendiri seharusnya memiliki standarisasi untuk menyatakan halal. Dan statemen tersebut harus didukung oleh para ahli. Artinya, tidak mencukupi jika hanya dari anggota yang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai permasalahan tersebut.
            Jadi, sebelum justifikasi mengharamkan suatu produk baik pangan maupun non pangan, maka alokasi serta alasan yang rasional tentang keharaman produk tersebut sudah harus ditentukan. Serta pertimbangan yang matang untuk membenahi sebelum berani memunculkan klaim itu pada  masyarakat. Dan tentunya tidak untuk kepentingan pribadi yang hanya menguntungkan sepihak. Namun, pertimbangan tersebut harus disertai argumen-argumen yang dapat diterima.
Langkah demikian sangatlah perlu, menimbang banyak standarisasi yang selama ini malah justru mengundang propaganda masyarakat yang semakin memanas. Katakan saja ketika MUI memberikan fatwa haram pada rokok. Keputusan tersebut tidak membuat rakyat Indonesia semakin tenang. Namun, hanya mengundang porak poranda yang mengakibatkan masyarakat memiliki klaim bahwa MUI tidaklah tepat.
Karena, masyarakat menilai bahwa keputusan itu sama saja tidak mengarah pada pembenahan. Justru malah mengakibatkan petani tembakau akan tutup ladang. Mereka akan terancam kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang selama bertahun-tahun menjadi penopang utama untuk survive mereka. Maka, jika ditelisik hingga titik itu, tampaknya klaim tersebut kurang adanya pertimbangan yang benar-benar matang dan tidak memberikan solusi pada masyarakat.
 Sebab itu, masyarakat sampai kapanpun akan tidak mempercayai gagasan yang mewajibkan adanya label halal dari MUI. Permasalahannya di sisi lain, kekhawatiran masyarakat karena memandang banyak label halal yang disandang oleh produk-produk yang sebenarnya tidak termasuk dari kriteria halal yang masih seporadis. Akibat hal itu yang mengundang masyarakat lebih jeli untuk selalu menyoroti di balik sepak terjang majelis tersebut.
Bagitu pula, dalam MUI juga harus ada yang ahli di bidang kedokteran, hukum sosial atau di bidang musik. Mengingat semua profesi itu sangat berkaitan dengan objek yang dikaji. Agar, hasil kajian mereka bisa terarah dan lebih menampakkan sisi positif serta aspirasi rakyat. Jika masih saja mengandalakan hasil rasio atau tinjauan yang tidak matang, maka sebaiknya dibumi hanguskan saja statemen yang mengharuskan adanya label halal. Wallahu alam. 

Penulis adalah mahasiswa PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta dan Juga Pegiat yang aktif di pesantren penulisan Al-Kitabah Pamulang, Tangsel. 




 
Top