Oleh: Khoirul Anwar Afa

Pemerintahan baru, Jokowi-Jk sudah memutuskan kenaikan harga BBM pada tanggal 18 November atau lebih sepekan yang lalu. Meskipun melahirkan protes dari berbagai pihak, keputusan tersebut tetap menjadi sebuah pilihan yang terbaik bagi presiden. Dengan dalih akan mengalihkan subsidi pada arah yang produktif. Klaim pemerintah tampak kuat seiring megeluarkan tiga kartu atau Trisakti. Tujuannya untuk menambah kemakmuran masyarakat dalam ranah kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Serta beberapa infrastruktur yang akan segera dibangun, seperti tol laut, irigasi, dll.
            Secara umum gambaran alokasi pengalihan subsidi BBM ada penambatan pada langkah riil. Setidaknya rencana tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan masyarakat yang mulai kaget dengan terobosan ini. Kenapa tidak?. Bahan bakar yang menjadi sektor primer dari kebutuhan masyarakat akan semakin mahal dibeli. Itu sama halnya memancing harga semua barang akan ikut naik.  Tentu saja daya beli masyarakat yang tidak seimbang dengan pendapatan akan mengalami inflasi. Dan akibatnya menambah angka kemiskinan.    
            `Naiknya harga pangan merupakan dampak yang paling kentara memberatkan masyarakat. Bukan karena manipulasi pedagang. Hal ini diakibatkan secara otomatis dengan naiknya harga BBM. Terutama harga bahan pokok yang selalu merangkak naik. Misalkan harga cabai yang naik hingga mencapai 200%. Dan besar kemungkinan harga kebutuhan pokok lainnya akan mengalami hal yang sama. Begitu juga biaya transportasi kendaraan umum.
            Artinya, masyarakat dituntut berpikir lebih linear lagi untuk belanja memenuhi kebutuhan pokok. Bagi masyarakat yang berpenghasilan dari UMP kemungkinan masih ada toleransi dari pemerintah. Sedangkan untuk mayoritas lainnya masih berada di luar koridor titik terang. Ada sekitar 80% dari 28,8 juta penduduk miskin di Indonesia mengandalkan dari sektor lahan pertanian. Dan mereka menjadi buruh tani, seperti tandur, buruh yang menyiangi, dan buruh membersihkan. Penghasilan mereka tidak bisa diprediksi dengan rata-rata untuk memenuhi siklus distribusi belanja.  
Tidak Tepat Sasaran
Belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya, di era SBY yang mencoba mengalihkan subsidi BBM untuk rakyat melalui BLSM dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Alokasi itu belum tersalurkan secara menyeluruh pada lapisan masyarakat. Bahkan hanya digunakan oleh sekelompok oknum masyarakat yang berkepentingan.
            Kemudian dengan sistem penyaluran yang seperti pada BLT, diberikan pada masyarakat melalui kantor pos dan kantor kecamatan yang justru hanya mengundang pertikaian. Pasalnya masyarakat yang tidak sabar menunggu antrian akan berebut tempat untuk segera mendapatkan jatah pencairan dana BLT. Bahkan sampai banyak korban yang meninggal akibat sesaknya antrian.
            Hanya cerita mengerikan yang terjadi. Meskipun itu merupakan keputusan pemerintah, tetapi rakyat hanya menjadi imbas dari putusan yang tidak tepat. Selain itu, pendataan yang tidak merata masih sering terjadi. Sehingga masyarakat yang mendapat cairan dana hanya yang terdata, bukan karena kriteria.
            Dalam hal ini, masyarakat hanya melihat dan merasa dari kebijakan beberapa orang elit. Nasib mereka seolah dikendalikan oleh pemerintah. Tidak bisa memilih. Kecuali hanya bisa menerima keputusan. Bahkan sampai menganggap itu sebuah, “takdir”. Jika masih tidak ada pembenahan, maka peristiwa ini akan menjadi sebuah sandungan pemerintahan Jokowi-JK, yang dianggap sudah tidak labi merakyat. Oleh karena itu, untuk menjaga kinerja pemerintah yang lebih bijak harus ada bentuk evaluasi yang mendalam.
            Penilaian ulang atas dampak kenaikan harga BBM. Apakah membawa keberutungan untuk masyarakat, apa justru sebaliknya?. Dalam konteks ini, yang menjadi tinjauan khusus adalah masyarakat kecil. Tentunya penilaian ulang atas dasar transparansi, bukan karena tujuan politis. Di era SBY, pada Mei 2008 beliau menaikkan harga BBM, premium dari Rp. 4.500/liter menjadi Rp. 6.000/liter. Solar naik dari Rp. 4.300/liter menjadi Rp. 5.500/liter.
            Kemudian pada  Desember 2008 SBY menurunkan harga  premium dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500/liter. Harga solar dan minyak tanah tetap. Dua pekan kemudian, harga premium kembali turun dari Rp 5.500 menjadi Rp 5.000/liter. Harga solar juga turun dari Rp 5.500 ke Rp 4.800/liter. Harga minyak tanah tetap  Rp 2.500/liter. Pada Januari 2009, menjelang Pemilu 2009, SBY kembali  menurunkan harga premium dari Rp5.000 menjadi Rp 4.500 per liter. Besar kemungkinan penurunan harga BBM di era itu dimotori oleh politik sehingga beliau terpilih kembali sebagai orang nomor wahid di negara ini.
            Untuk kebijakan pemerintahan sekarang, Jokwi-JK, masyarakat tidak berharap ada motif politik dibalik semua kebijakannya. Penulis berharap slogan, “kerja, kerja, kerja” tetap menjadi falsafah sampai akhir jabatannya. Dan tetap amanah dalam mengemban harapan rakyat. Semoga. 
Penulis adalah Warga Pati Utara.


Nama : Khoirul Anwar Afa
 
Top