Oleh: Khoirul Anwar Afa
Kecerdasan
para cendekiawan terkadang masih jauh dari kafah. Mungkin itu suatu hal yang
wajar terjadi. Karena jiwa manusia yang tidak bisa luput dari kekurangan.
Tetapi, paling tidak, keilmuwan mereka yang sudah dianggap mumpuni bisa
memberikan aroma wangi pada seluruh lapisan.
Saya menyadari jika demikian itu
sifat manusiawi setiap orang. Saya tidak acuhkan mereka seorang ulama besar
atau kiai yang disegani. Tampaknya sekarang yang menjadi prioritas utama
bukanlah intelektual mereka yang terkadang bisa membuat orang terkagum. Tentu
karena kemahiran mereka terkait spesialisasi ilmu yang mereka kuasai. Adapula
yang polimorphis. Sebagaimana cendekiawan pada zaman perjuangan. Sebut saja Soekarno,
Natsir, Tan Malaka, Hasyim Asari, dll.
Mereka adalah tokoh-tokoh monumental
karismanya. Sampai sekarang rekam jejak perjuangan mereka masih selalu hidup,
dan selalu disegarkan oleh generasi penerus. Meskipun ada beberapa nilai merah
yang dikantongi sejarah atas para tokoh tersebut. Namun, secara umum kebaikan
merekalah yang lebih hidup dan selalu bergairah. Bukan kesalahan mereka sebagai
manusiawi.
Pepatah mengatakan, semut di kaki
gajah itu lebih tampak daripada di mata sendiri. Ibarat titik kecil yang berada
di tengah-tengah kertas putih. Sekecil apapun noda meskipun berada di dalam
lembaran yang putih akan tetap tampak meski dengan jarak yang jauh. Demikian sudah
menjadi hukum kehidupan.
Dibilang lumprah, iya. Tetapi
sebaiknya bukan seperti itulah yang dilakukan oleh para cendekiawan. Baju
mereka sebagai pewaris Nabi di bumi sangat diharapkan kontribusinya sebagai
orang baik baik. Setiap tutur katanya akan menjadi panutan umat. Dan ketokohannya
akan dijadikan bacaan oleh para orang-orang di sekitarnya.
Hanya saja, harapan yang meliu itu
tidaklah seperti gunung emas yang bisa santap saji. Harus ada prioritas utama
sebagai fondasi, usaha. Sebagaimana sebuah masjid gambaran al-Quran, lamasjidun
ussisa alattaqwa. Satu kata, “takwa” ibarat kata wajib yang selalu keluar
dai mulut mereka. Bahkan disertai dengan interpretasi yang tidaklah sewajarnya
orang awam faham.
Meskipun demikian, esensi tindakan
meraka belum pernah tergambar. Tampaknya mereka masih picik, memandang sebelah
mata pada sebagian orang. Dikira hanya orang-orang yang sepaham dengan mereka
yang benar, yang berada di jalan lurus dan dikasihi. Secara inti perilaku mereka
sudah menistakan pesan agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi. Maka saya
menganggap orang-orang yang seperti itu bukanlah membina revolusi wawasan. Melainkan
meracuni kecerdasan. Dan menginginkan alam pemikiran ini mati.
Seharusnya persaingan pemahaman ini
dijadikan indah, dijadikan sebuah monumen kekayaan agama dalam konteks ini.
Dunia pasti akan menyambutnya dengan baik karena akan lebih indah. Tidak saling
mengkafirkan. Tidak asal menuduh. Dan tidak segampang itu membuat peta
pemahaman. Semua akan menjadi satu. Semua menginduk pada sumber nas dan Hadis.
Entah kapan itu bisa terjadi. Saya berusaha
merangkul sana sini dianggap sebagai tidak punya pendirian. Saya mencoba mengutak-atik
apa yang saya baca diklaim liberal, berfikir ngawur. Tanpa dasar dan tidak bisa
dia pahami. Secara tidak langsung mereka telah menghapus perintah objektif. Menghakimi
pendirian orang jika hanya bersumber subyektif, itu bukanlah solusi maslahah yang
ada, melainkan hawa nafsu. Biarlah Tuhan yang menilai dan mengampuni dosa-dosa
mereka dan saya. Semoga.