Di tengah kesibukan membahas koalisi, urusan-urusan penting terkait kenegaraan seakan tertutupi. Masalah-masalah serius untuk kesejateraan rakyat bukan lagi menjadi trending topic. Seluruh media ibarat sepakat tidak menilik selain isu politik. Sedangkan masyarakat yang enggan dengan politik berkata “muak” dengan berita politik. Karena, masalah yang lebih membawa maslahat justru ditirikan. Kenapa tidak. Pemerintah tidak menyentuh tentang keadaan Indonesia yang sejak awal abad 15 hingga pertengahan abad 20, yaitu selama kurang lebih 4,5 abad, bumi Indonesia dikeruk habis-habisan oleh bangsa asing. Saat itu, Indonesia dikenal oleh dunia sebagai negara yang banyak memiliki hasil bumi berupa rempah-rempah yang sangat mahal, setara dengan harga emas. Selain rempah-rempah juga menghasilkan minyak bumi terbanyak, hingga mampu memenuhi kebutuhan minyak dunia, bahkan melebihi kebutuhan sampai harus dibakar tanpa guna setiap tahunnya. Terlebih saat dimulainya tanam paksa hingga berakhir di tahun 1877, yang disuburkan oleh airmata, keringat, ratap-tangis dan darah pribumi, sampai di negara penjajah (Nederland) segera berubah menjadi air madu surga untuk orang lain. Jutaan demi jutaan gulden mengalir ke dalam kas negara penjajah seperti air kehidupan menggerakkan kembali perdagangan, pelayaran, dan industri yang hampir beku, sehingga melipat gandakan penghasilan nasional. Negara penjajah saat itu menjadi sangat kaya raya, sampai 800 juta gulden uang yang tersisa dalam anggaran negara Nederland yang berasal dari kekayaan Indonesia. Pengerukan itu tidak berakhir sampai di situ saja, namun secara terus-menerus selalu mengalami kenaikan. Saat itu rakyat Indonesia memang sangat giat bercocok tanam, mengubah sawah-sawah mereka menjadi kebun-kebun kopi, tebu, nila dan tembakau. Bahkan, hutan-hutan ditebang dan tanah-tanah gundul dibalik. Dengan jerih payah rakyat, melimpah ruah hasil kekayaan bumi Indonesia. Namun, semua itu tidaklah dirasakan oleh rakyat. Nasib mereka tidak semakin membaik, malahan semakin terjadi kelaparan di mana-mana. Sampai saat ini pun, peristiwa itu tidak jauh ubahnya. Kolonialisme yang arogansi merampas hak-hak rakyat dengan nyata memang tidak ada. Tetapi, pengaruh sistem kapitalisme masih merajalela hingga membuat kemakmuran Indonesia semakin jauh. Semestinya dengan kondisi bumi yang subur mampu menghasilkan tanaman yang melimpah. Namun kenyataan yang ada justru terbalik, negara yang luasnya mencapai 1.919.440 km², dengan kualitas tanah yang subur, dari hasil bumi masih tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Karena semua hasil bumi yang menjadi kebutuhan pokok rakyat terus bergantung pada komoditi importir. Maka dalam hal ini Indonesia yang dijuluki negara agraris terpandang sebagai negara yang hanya bisa memasung dirinya dengan negara lain. Itu artinya Indonesia juga belum mampu bebas bergerak, belum bebas berkembang secara mandiri. Kenapa tidak? Misalkan keberadaan dan operasional PT Freeport Indonesia sejak 1967 hingga kini tak ubahnya mesin pencetak uang bagi perusahaan induknya, yakni Freeport McMoran di Amerika Serikat. Tambang emas Indonesia yang tercatat sebagai tambang terbesar dunia tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, keadaan buruk terjadi sama dengan kebutuhan makanan. Untuk memenuhi pangan saja, mulai dari beras, kedelai, dan daging sapi, negara sudah impor. Semua itu sangat nyata kalau kementerian yang berperan dalam hal tersebut masih gagap mengelola Indonesia. Atau, hanya menginginkan dari hasil semu yang merugikan banyak pihak, karena secara berlahan membunuh petani dalam negeri. Jika begitu, kementerian pertanian selama ini tidak memabaca dengan seksama bahwa barang-barang impor justru hanya mengkerdilkan produktivitas rakyat. Sehingga dengan sendirinya selalu menanamkan sikap konsumerisme yang menyebabkan kemelaratan. Pasalnya, devisa negara dihabiskan hanya untuk pulang pergi sehingga mengakibatkan negara krisis dan memelamahnya mata uang negara. Akibat ulah tersebut semua rakyat harus menderita. Konsumen yang menggantungkan hidupnya pada kebutuhan pokok, kini harus pasrah terhadap kebijakan pemerintah yang tidak jelas. Istilah Juggernaut atau ketidak jelasan terhadap problematika tersebut karena banyak pemerintah yang ingin berkuasa, dan semua jalan ditariknya sesuai tujuannya sendiri. Sehingga tampaklah egoisme yang menyebabkan kerusakan. Itulah sebabnya sampai kini masyarakat susah payah mencari kebutuhan pokoknya sendiri. Begitu selamanya yang terjadi di negara kita. Membeli kebutuhan turahan dari negara orang demi memenuhi kebutuhan rakyatnya. Itu sama saja dengan kondisi Indonesia pada saat menjadi negara jajahan. Yang harus susah payah mendapatkan bahan makanan sehari-hari. Dan terpaksa memakan makanan basi yang disediakan oleh penjajah, yang tidak ada nilai sehatnya, bahkan hanya menimbulkan penderitaan rakyat. Begitu pula saat ini, rakyat Indonesia sangat berpangku tangan demi menanti datangnya barang turahan tersebut. Jika itu kenyataannya, Indonesia belum pantas disebut negara merdeka. Karena penderitaan masyarakat terhadap bahan pangan masih saja meledak. Secara rasional, mengentaskan masyarakat dari bahan pangan saja masih tidak pecus, bagaimana mampu go internasional? Falsafah kemerdekaan hanya menjadi kenangan, dan tidak lain hanya dokumen pejuang-pejuang dulu. Pemerintah sekarang jauh dari harapan. Karena warisan orde baru menyebabkan terciptanya tradisi korupsi di negara kita. Sehingga penderitaan berkepanjangan mencekik leher rakyat. Untuk itu rakyat dan pemerintah segera harus sadar dan bertindak lebih cerdas lagi, agar segera mampu memisahkan Indonesia dengan huru-hara yang pelik ini. Waallahu alam.
 
Top